Atiqah si Janda Kaya

594 21 0
                                    

Alarm ponsel Atiqah berbunyi tepat pukul 06.00 pagi. Karena jetlag, Atiqah memilih tidur setelah sampai di apartemen. Sedangkan teman-teman relawan lainnya sudah sampai di Korea dua hari sebelumnya. Para relawan bukan hanya dari kalangan dokter saja. Perawat, juga bidan turut ikut di dalamnya. Semua berasal dari Indonesia, dari berbagai daerah.

Karena Atiqah jam terbangnya lebih tinggi dibanding relawan lainnya, ia ditunjuk sebagai perwakilan teman-teman relawan.

Hari itu, Atiqah terbang seorang diri ke Korea Selatan. Atiqah dijemput di bandara oleh utusan dari rumah sakit, lalu mengantarkannya langsung ke apartemen. Atiqah benar-benar mengantuk. Ia memilih seharian untuk tidur. Dan membuatnya terlambat bangun pagi itu.

Atiqah terburu-buru mandi, berpakaian, serta memoles wajahnya sedikit lalu turun ke lobi tanpa sarapan terlebih dulu. Perutnya lapar karena tidak ada satupun makanan yang masuk ke dalam perutnya selain makanan di pesawat kemarin.

Jam di pergelangan tangannya terus-terusan dilihatnya saat di dalam lift. Atiqah cemas, takut terlambat. Hari pertama perkenalan tidak boleh gagal begitu saja. Taruhannya adalah nama baik negara dan teman-teman yang lain.

Tting...pintu lift terbuka. Atiqah berlari kencang saat matanya melihat sebuah taksi berhenti tepat di depan lobi apartemen, menurunkan penumpang. Bumi pun berlari setelah membuka pintu tangga darurat, ia melihat taksi yang sama.

"Hei, aku duluan," seru Atiqah, menggunakan bahasa inggris.

Atiqah dan Bumi sama-sama memegang handle pintu taksi.

"Hei, aku duluan," balas Bumi dengan bahasa yang sama.

"Aku dulu!" ujar Atiqah kesal, mendorong Bumi lalu masuk ke dalam taksi dan dengan cepat meninggalkan Bumi yang diam tertegun.

"Huh ... Jinsilhan Hospital, please," ujar Atiqah pada sopir taksi.

Sopir menjawab dengan anggukan saja. Beruntung sopir yang membawanya menuju rumah sakit sudah paham betul dengan kondisi ibu kota Korea Selatan yang padat di pagi hari dan malam hari. Sopir tahu jalan mana yang lebih cepat untuk sampai ke Jinsilhan Hospital.

"Aku masih di jalan. Maaf ya, aku bangun kesiangan. Kena jetlag, pusing kepalaku," keluh Atiqah pada Indi di telefon. Sesama dokter relawan yamg sudah sampai di rumah sakit bersama relawan lainnya.

"Pantesan, aku telfon dari subuh nggak di angkat-angkat. Astaga ... Atiqah," ujar Indi.

"Maaf ya, Indi. Sampaikan permohonan maafku buat temen-temen yang lain. Kalau memang nggak memungkinkan, kamu yang gantiin aku maju ke depan. Semoga aku sampai tepat waktu," ucap Atiqah, merasa bersalah.

"Oke, bisa diatur ..." jawab Indi. Panggilan berakhir.

Atiqah terus memandang sepanjang jalan yang dilewati. Sudah tidak ada gedung tinggi, berganti dengan komplek perumahan elit yang biasanya ia tonton di drama korea.

Sangat beruntung, Atiqah tidak terlambat. Ia dijemput Indi di teras lobi.

"Untung udah dateng. Ayok masuk! sebentar lagi petinggi rumah sakit masuk ke ruangan," terang Indi, mengajak Atiqah berjalan melewati meja informasi.

Rumah sakit Jinsilhan, salah satu rumah sakit besar di Seoul. Serta memiliki beberapa anak cabang di seluruh Korea dan pulau Jeju. Atiqah dan teman-temannya ditempatkan di kota Ansan, dimana cabang itu rumah sakit khusus ibu dan anak.

Sebelum berpindah ke Ansan, Atiqah bersama tim manjalani pelatihan terlebih dulu selama dua minggu di Jinsilhan Hospital.

Atiqah dan Indi menghampiri teman-teman yang lain, yang sudah duduk di barisan tengah. Atiqah duduk di sisi paling kanan yang tersisa empat kursi kosong. Dua kursi di dudukinya dan Indi. Dua lagi dibiarkan kosong.

Tiba-tiba datang dua orang memakai jas putih khas dokter, duduk di sampingnya. Saat itu Atiqah sedang membalas pesan putranya, Aziel Danurdara.

"Excuse me ... " ujar Bumi menganggukan kepala pada Atiqah yang sudah duduk terlebih dulu.

"Silahkan," balas Atiqah dengan bahasa indonesia tanpa sengaja. Lalu mengangkat wajahnya menatap Bumi.

Bumi dan Atiqah sama-sama terkejut saat saling bertatapan.

"Kamu ..." ucap keduanya bersamaan. Bumi adalah pria yang didorongnya ketika berebut taksi, tadi pagi.

Dan pada saatnya mereka berdua maju bergantian untuk memperkenalkan diri. Kini Atiqah tau siapa Bumi, dan begitu sebaliknya. Akhirnya mereka berkenalan, juga saling mengucap maaf soal kejadian pagi tadi.

Karena Bumi orang baru di rumah sakit itu, ia diminta untuk ikut bersama dengan rombongan relawan melihat setiap sudut rumah sakit Jinsilhan.

"Manis, pintar juga menarik," gumam Bumi saat berjalan di belakang Atiqah, berkeliling rumah sakit.

"Siapa, dok? Dokter Atiqah?" tanya Rudi, salah satu dokter relawan di tim Atiqah. Bumi tidak ingat kalau ada orang lain di sampingnya.

Bumi meringis, lalu menggaruk belakang kepalanya. "Dokter Atiqah janda kaya. Anaknya di Amerika," bisik Rudi.

Bumi terkejut, "Atiqah seorang janda dan punya anak?" batinnya.

"Dia nikah muda. Usia anaknya saja sudah 10 tahun," sambung Rudi. Bumi semakin terkejut. Di zaman yang sudah modern seperti sekarang, masih ada wanita yang memilih menikah muda.

"Kok diem aja, dok? Kecewa ya?" tanya Rudi karena tidak menerima tanggapan dari Bumi.

"Enggak. Saya cuma heran aja. Masih ada cewek yang mau nikah muda," ujar Bumi.

"Nggak masalah kan, dok? buktinya dia bisa jadi dokter sekeren ini. So, nikah muda nggak menghalanginya jadi orang sukses," ujar Rudi.

"Iya, saya setuju. Dia wanita yang mandiri," puji Bumi.

"Dan kaya," sahut Rudi lalu tertawa. Atiqah menengok ke belakang. Rudi langsung mingkem,  memberikan tanda maaf dengan kedua tangannya. Sedangkan Bumi tersenyum kecil.

Hari sudah menjelang siang. Mereka semua dipersilahkan untuk istirahat makan siang di cafetaria khusus karyawan rumah sakit.

"Dokter Bumi mau bergabung makan siang dengan kami?" tawar Atiqah, iba.

Kasihan sekali jika Bumi duduk di meja yang terpisah seorang diri. Pikir Atiqah. Toh mereka semua satu bangsa dan satu tanah air.

"Ya, saya mau," jawab Bumi langsung tanpa berbasa-basi dulu. Rudi tertawa keras mendengar jawaban Bumi yang lugas.

"Kenapa sih? Dari tadi ketawa terus, dokter Rudi nih," tanya Indi.

"Enggak. Nggak ada apa-apa. Maaf, dok," jawab Rudi.

Bumi mengekori Atiqah saat mengantri makanan. Lalu Rudi berbisik padanya. "Pepetttt teruss," ledeknya kemudian menutup mulutnya lagi. Bumi hanya menggelengkan kepala, heran dengan kelakuan Rudi.

"Dokter Bumi duduk disini saja," ujar Indi, menarik kursi di sampingnya. Bumi menurut karena di sisi kanannya ada Atiqah.

"Wah ... Pak dokter diapit dua dokter cantik," celetuk Rudi, kembali berulah.

"Dokter Rudi bisa aja. Pengen ya?" kini Bumi yang membalas ledekan itu. Semua tertawa lalu berhuuuuu pada Rudi.

Atiqah menggelengkan kepalanya. Si tukang jahil dan bibir lemes, selalu ada saja tingkahnya. Satu-satunya dokter laki-laki diantara 5 dokter relawan. Maskot tim mereka.

To be Continued...

ScandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang