Siapa Fajar?

512 22 4
                                    

Enam bulan berlalu. Selama itu juga Bumi hanya bertukar pesan dengan Atiqah. Waktu libur yang sempit, juga banyaknya pasien membuat Bumi tidak bisa leluasa pergi ke Ansan. Sedangkan Atiqah sama sibuknya. Terkadang bu dokter itu harus ke Busan, ke cabang lain.

Atiqah menganggap kedekatannya dengan Bumi hanya sebatas teman saja. Atiqah tidak mau gegabah. Kisahnya yang lalu menjadikannya lebih berhati-hati. Bumi belum lama dikenalnya. Latar belakang keluarganya pun Atiqah belum tahu. Atiqah takut seperti yang sudah ia alami. Keluarga mantan suaminya dulu tidak menerimanya. Hanya kakeknya saja yang sangat menyayangi Atiqah, sampai-sampai semua harta dilimpahkan padanya.

"Tiap hari galau terus," ledek Edo. "Fokus dong, fokus," sambungnya lagi. Bumi malas menanggapi. Semangatnya berkurang karena sudah lama sekali tidak bertemu Atiqah.

"Kasian gua liat lo begini mulu. Coba ajuin cuti barang sehari. Terus samperin tuh bu dokter," Edo memberi saran.

"Emang bisa? Gua belum ada setaun disini, tau sendiri lo sama Mr. Lee. Angker banget," Bumi galau.

"Belum juga di coba, udah nyerah duluan lo," seloroh Edo.

Bumi memberanikan diri untuk mengajukan cuti satu hari. Masuk ke sebuah ruangan yang cukup besar, ruangan Mr. Lee selaku komisaris rumah sakit itu. Duduk berhadapan, Bumi menjelaskan maksud kedatangannya ke ruangan itu.

"Maaf, Mr. Lee mengganggu waktu anda. Saya mau mengajukan cuti satu hari saja. Apakah bisa? Ada hal penting yang harus saya urus," ujar Bumi mangatakan maksud kedatangannya ke ruangan itu. Bumi masih belum terlalu lancar berbahasa korea, saat ini masih sering menggunakan bahasa inggris.

"Baik, saya akan berikan anda cuti satu hari. Tapi ada satu syarat," ucap Lee, mengajukan syarat pada Bumi.

"Syarat apa Mr?" tanya Bumi.

"Temani putri saya ke acara pernikahan sahabatnya. Akhir minggu ini," terang Lee, memanfaatkan keadaan. Bumi terlihat berpikir sejenak.

Tak apa pikirnya, hanya sekedar menemani saja. Yang terpenting ia bisa bertemu Atiqah dan mengatakan isi hatinya.

"Baik, Mr. Saya bersedia," jawabnya mantap.

Bumi keluar dari ruangan itu dengan raut wajah yang bahagia. Bayangan Atiqah membuka pintu apartemen terlintas dalam angan. Tekad untuk menyatakan cintanya sudah bulat. Esok pagi Bumi akan segera ke Ansan menemui Atiqah.

"Seneng banget tampang lo. Kayaknya lancar nih ijin cutinya," ledek Edo setelah melihat Bumi keluar dari lift.

"Besok gua ke Ansan. Sore ini gua pulang cepet, mau ke Mall. Bantuin gantiin gua jaga ya?" pinta Bumi. Sore nanti ia akan membeli kalung beserta liontin untuk Atiqah.

"Oke," jawab Edo singkat, turut bahagia dengan apa yang dirasakan temannya.

Bumi segera keluar dari rumah sakit, menyetop taksi menuju sebuah Mall besar di kota Seoul. Langkahnya mantap untuk segera menyatakan cintanya pada Atiqah. Memang semudah itu Bumi jatuh cinta dan melupakan kenangannya bersama Alsya dan Kahiyang.

Memasuki sebuah toko perhiasan terkenal dengan percaya diri. Seorang wanita cantik berseragam rapih menghampiri Bumi.

"Selamat malam, Tuan. Ada kah yang bisa saya bantu?" suara wanita itu sangat lembut dan gerak geriknya sopan.

"Saya ingin memberikan hadiah kalung beserta liontin ke seorang wanita. Bisa perlihatkan koleksi perhiasan yang kalian punya pada saya?" tanya Bumi.

Pegawai wanita itu langsung mengangguk, mempersilahkan Bumi untuk masuk ke dalam ruangan dimana ia akan ditunjukkan beberapa perhiasan.

"Ini beberapa koleksi dari toko kami, Tuan," meletakkan sekitar 10 kalung beserta liontin edisi terbaru.

Bumi mulai memindai mana yang menurutnya paling cantik saat dipakai Atiqah nanti. Kalung dengan liontin berbentuk bumi, menarik perhatiannya. Kebetulan yang tidak di sengaja, liontin itu sama seperti namanya.

"Saya ambil yang ini saja," ucap Bumi, menyerahkan kalung itu.

"Baik,"

Pegawai wanita itu memasukkan kalung beserta liontin ke dalam kotak yang diberi pita. Kemudian memberikan tagihan total pembelian. Dengan santainya Bumi merogoh kocek cukup banyak untuk sebuah perhiasan mahal. Baru kali ini juga Bumi memberikan hadiah pada seorang wanita. Dulu saat bersama Alsya, Alsya yang selalu mengeluarkan uang untuknya.

Bumi tidak memberi kabar pada Atiqah jika ia akan datang esok hari. Mereka hanya bertukar pesan seperti biasanya. Sangat kebetulan sekali, besok Atiqah libur dan tidak kemana-mana. Kesempatan yang tidak datang dua kali. Semesta seperti mendukung rencananya.

Mata sulit untuk terpejam, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 1 malam. Bumi masih memikirkan kata-kata apa yang akan ia sampaikan pada Atiqah. Tidak seperti dirinya yang biasanya, Bumi kehilangan sikap percaya diri dan kepintarannya dalam berbicara. Atiqah mampu membuat Bumi benar-benar berbeda.

Matahari terbit tepat di jam 6 pagi. Bumi sudah bangun dan mandi. Cukup dengan toast dan kopi untuk sarapan pagi ini. Pandangannya hanya tertuju pada paperbag berwarna hitam dengan logo toko perhiasan mewah di atas meja makan.

Bumi bersiap untuk pergi ke Ansan setelah selesai sarapan. Kali ini Bumi menaiki taksi online untuk sampai di kota kecil itu.

Jangan tanya perasaannya saat ini bagaimana. Jantungnya berdegup cukup kencang dan gelisah. Berharap Atiqah akan menerima kedatangannya dan juga menerima hatinya.

Meskipun seorang janda beranak satu, Atiqah begitu istimewa. Bumi menepis anggapan remeh soal status janda. Atiqah janda bukan sembarang janda. Selain kaya raya, cantik, pintar, dan dermawan, kesederhanaannya juga menjadi nilai lebih seorang Atiqah.

Urusan reaksi orang tuanya nanti, Bumi tidak mau ambil pusing. Toh yang menjalani dirinya sendiri. Mau sampai kapan terus diatur oleh orang tuanya? Bumi laki-laki dewasa, memiliki karir dan pilihan hidupnya sendiri.

Taksi itu berhenti di lobby apartemen. Bumi masuk ke dalam, memencet bel pada nomor apartemen Atiqah yang ada di lantai 4. Karena tidak sembarang orang dapat langsung menggunakan lift di gedung itu.

"Siapa?" tanya Atiqah dari layar interkom.

"Aku ... Bumi," jawabnya.

Atiqah terkejut dengan kedatangan Bumi pagi itu. "Kok bisa? oke oke ... Naik aja dulu," suara Atiqah terdengar gugup.

Bumi tersenyum, lalu bergegas masuk ke dalam lift setelah pintu kaca penghalang terbuka otomatis setelah Atiqah memberikan akses untuknya.

Paperbag di tentengnya di tangan kanan. Bumi mengangkatnya ke depan wajahnya, tatapan bahagia. Sebentar lagi ia akan menyatakan cintanya.

Langkah kaki berayun ringan. Bumi terus meyunggingkan senyumnya. Tersisa dua pintu apartemen lagi, ia akan bertemu dengan Atiqah.

Bumi kembali memencet bel, lalu pintu terbuka.

"Hai ..." sapa Atiqah dengan senyuman manisnya.

"Hai ..." balas Bumi gugup.

"Ayok masuk," ajak Atiqah. Bumi mengangguk, masuk ke dalam melewati Atiqah.

Saat Bumi melepaskan sepatunya, terlihat sepatu pria berwarna putih di samping sandal milik Atiqah. Bumi mengernyitkan alisnya, bertanya dalam hati.

"Ada tamu lain?" tanya Bumi sambil mengedarkan tatapannya pada ruang santai yang terdapat sofa panjang dan televisi.

"Ah ... Iya. Ayok, sini aku kenalin sama Mas Fajar," menarik Bumi ke arah dapur.

'Mas Fajar? Apa kakaknya? Tapi Atiqah bilang dia anak pertama? Lalu siapa Fajar?' bergumam dalam hati.

To be Continued...

ScandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang