Kahiyang menghela nafasnya lega setelah melihat Jarvas pergi. Kakinya terasa lemas karena berlari. Kahiyang bergegas ke lantai atas menggunakan lift. Biasanya Kahiyang lebih senang menggunakan anak tangga.
"Huf ... Lelahnya," -melepas sepatu, lalu melempar tas- "sialan Jarvas! Kakiku lemas begini gara-gara dia," umpat Kahiyang, menghempaskan diri ke sofa panjang.
Kahiyang kembali teringat soal panggilan Satria tadi. Ia langsung menegakkan badan, merogoh saku celana. Benar saja, satu panggilan baru tidak terjawab dari nomor Satria.
Terus diam menatap layar ponsel, Kahiyang memilih menunggu panggilan berikutnya. Berharap Satria menghubunginya lagi.
Benar saja, hanya dalam waktu lima menit saja, panggilan dari Satria muncul. Kahiyang menggigit bibirnya, haruskah ia terima atau harus bagaimana.
"Argh ... Fu*ck you!" umpat Kahiyang, ia menyerah dan memberanikan diri untuk menerima panggilan itu.
"Halo," sapa Kahiyang.
"Akhirnya kamu angkat juga. Kamu kemana aja? Kenapa susah dihubungi?" cecar Satria, lega sekaligus senang mendengar suara Kahiyang lagi.
"Ada apa lagi? Hubungan kita sudah lama berakhir. Untuk apa lagi kamu hubungi aku?" tanya Kahiyang. Sejujurnya Kahiyang juga senang mendengar suara Satria.
"Ada hal penting yang harus kamu tau. Ini penting! Dan aku masih tetap sama, aku masih mencintaimu sampai kapan pun," ujar Satria.
"Nggak perlu bertele-tele. Aku nggak mau dengar lagi soal cinta-cintamu itu. Aku muak!" balas Kahiyang.
"Please. Tolong dengarkan aku dulu. Ini tentang laki-laki itu," ujar Satria, ia tidak mau menyebut nama Bumi.
"Laki-laki mana?" tanya Kahiyang dengan nada membentak.
"Dokter itu," -diam sejenak- "suamimu," ucap Satria, lalu kembali diam, mengepalkan tangannya.
"Suami?" Kahiyang bingung. Suami siapa? ia masih lajang.
"Ya, suamimu. Dokter muda itu. Dia akan pergi ke Korea dan akan mencari pacar disana. Aku nggak akan tinggal diam. Lebih baik sudahi hubunganmu dengannya. Jangan bodoh!" terang Satria dengan nada kesal.
"Bumi?" gumam Kahiyang, namun Satria masih dapat mendengarnya.
"Ya, suamimu itu! Sudahi hubunganmu dengannya! Suami macam apa yang berniat mencari pacar saat jauh dari pasangannya? Sinting!" Satria kembali mengeluarkan kekesalannya.
"Apa urusannya denganmu? Apa hakmu mencampuri kehidupanku? Cih ..." -berdecih, mengolok- "lalu apa kabar denganmu? Suami macam apa yang selalu menghubungi perempuan lain disaat istri sedang mengandung?" -Satria diam- "aku bodoh? Ya aku bodoh tapi itu dulu, saat aku dibutakan oleh cinta dustamu itu!" ujar Kahiyang murka.
"Sudah berkali-kali aku katakan, aku tidak pernah membohongimu. I really love you. Aku bersungguh-sungguh." akunya. Satria memang tidak pernah menghianati Kahiyang. Semua hanya salah paham yang telah Inggrid rencanakan. Satria dijebak oleh kelicikan istrinya sendiri.
"Bull*shit! Jangan coba menghubungiku lagi dengan bualan-bualanmu itu! Jangan campuri kehidupanku! Hubungan kita sudah lama berakhir. Aku menyesal sudah pernah menjadi selingkuhanmu! Stupid!" timpal Kahiyang.
"No! Jangan katakan kamu menyesal! Kenangan bersamamu sangat berarti untukku." tutur Satria. Mencintai Kahiyang adalah hal pertama yang baru dirasakannya selama ini. Mencintai seorang wanita dari hatinya, namun di waktu yang tidak semestinya.
Kahiyang diam, tertegun mendengar ucapan Satria.
"I really love you, i really miss you. Berkali kali aku berniat untuk pergi ke London, menemuimu. Tapi aku tau, kamu akan mengusirku. Aku tersiksa. Aku harus bagaimana?" -mengatur nafas- "saat mendengar laki-laki itu akan pergi ke Korea dan mencari pacar, darahku mendidih. Kalau aku tidak bersama dengan Hanna, sudah kuhabisi dia!" -meremas rambut- "aku mohon, berpisah lah. Kamu akan menderita. Aku tidak bisa hanya berdiam diri. Aku tersiksa dengan semua ini!" ujar Satria, memohon. Semua kegilaan yang ia rasakan membuatnya frustasi.
"Cukup! Aku lelah. Terimakasih sudah mengkhawatirkanku." kata Kahiyang, lalu sambungan internasional itu terputus. Kahiyang mengakhiri perdebatannya bersama Satria.
Kahiyang meletakkan ponselnya, menutup wajahnya lalu menangis terisak. Ucapan Satria benar, dirinya pun merasakan hal yang sama. Rasa cinta, sayang dan rindunya untuk Satria membuatnya frustasi.
Cinta, sayang dan rindu itu tidak salah. Situasi dan kondisi yang membuatnya salah. Pertemuan keduanya yang tidak tepat. Tembok besar itu berdiri sangat kokoh menghalangi.
Kesalah pahaman itu terus berlanjut entah sampai kapan. Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Satu notifikasi pesan dari nomor asing masuk ke dalam ponsel Kahiyang. Tangisan itu semakin menyayat hati kala pesan terbuka. Kahiyang sangat marah pada dirinya sendiri dan juga semakin membenci Satria.
Satu foto dimana Satria mencium kening Inggrid di Mall.
"Kamu pembohong! Aku bodoh! Aku bodoh!" memaki diri sendiri.
*****
Setibanya dirumah, Satria langsung masuk ke dalam rumah meninggalkan Hanna dan Inggrid. Menaiki anak tangga terburu-buru, kemudian masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam agar Inggrid tidak mengganggunya.
Satria berdiri tegap di depan jendela besar yang tertutup vitrase putih. Hari sudah gelap. Satria mencoba menghubungi Kahiyang lagi.
Panggilan pertama tidak membuahkan hasil. Kahiyang belum juga mengangkatnya. Satria menggeram kesal. Ia menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa tunggal, mengetuk-ngetuk lengan sofa sambil terus menatap layar ponsel dimana ada foto profil Kahiyang disana.
"Aku rindu. Aku ingin memelukmu," gumamnya.
Satria memutuskan untuk mencoba lagi. Dering pertama tak ada tanggapan. Begitu juga di dering ketiga. Satria putus asa dan akan mengakhiri kegilaannya itu dengan mengakhiri panggilannya pada Kahiyang.
Seakan semesta mendukungnya, Kahiyang menjawab panggilan di dering ke empat.
"Halo," suara Kahiyang terdengar.
Satria menghela nafasnya lega setelah mendengar suara Kahiyang. Suara yang selalu dirindukannya.
Dan perdebatan itu terjadi. Kahiyang sudah tidak mempercayai Satria lagi, sulit sekali untuk meyakinkannya. Satria kesal dengan sikap keras kepala Kahiyang. Kepala terasa akan meledak.
Puncaknya, Kahiyang mematikan telefon itu sepihak. Satria berteriak lalu melempar ponselnya ke atas ranjang, menendang sofa.
Inggrid mendengar teriakan Satria, lalu pergi mencari Arila di lantai dasar di ruang belakang.
"Arilaaaa ..." Inggrid berteriak. Para asisten yang sedang bersantai dan makan malam, terkejut mendengar teriakan Nyonya rumah.
"Mana Arila?" tanya Inggrid.
"Ada di kamarnya, bu," jawab Lastri, menunjuk kamar Arila dengan jempol kanan sambil menunduk.
Inggrid langsung ke kamar Arila, membuka pintu tanpa mengetuknya. "Arilaaa ..." berteriak.
Arila yang sedang rebahan, terlonjak dari atas kasur.
"Iya. Kenapa, mba?" tanya Arila.
"Mana foto-fotonya? Heru pasti udah kirim, kan?!" tanya Inggrid.
Heru adalah salah satu wartawan yang ada di Mall tadi.
"Sudah, mba. Ini," jawab Arila, menyodorkan ponselnya.
Inggrid menyerobot, lalu memilah foto mana yang akan dikirimnya.
"Selesai ... Dan boom, meledak. Hahaha ..." Inggrid tertawa puas. Rencananya untuk membuat Kahiyang cemburu berhasil.
Rencana itu langsung muncul saat mendengar pembicaraan Satria dan putrinya Hanna di kamar. Inggrid menghubungi Heru untuk menyebarkan info pada rekan wartawan lainnya soal dirinya, Satria dan juga Hanna ke Mall sore itu.
Rencana Inggrid benar-benar berhasil. Bukan saja Kahiyang, tapi semua orang kini tahu bagaimana harmonisnya mereka.
To be Continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Scandal
RomanceWARNING 21++ Terdapat adegan dewasa. Tidak diperuntukan anak dibawah umur !! Kahiyang Prasojo. Pelukis cantik berusia 20 tahun, putri sulung Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa dan Perilaku, dr. Rozi Prasojo Sp.KJ. Kisah cintanya dimulai sejak ia ber...