Back to Reality

767 36 0
                                    

Kahiyang mencari tempat duduk kosong setelah melakukan check in dan menyerahkan dua kopernya. Lalu ia duduk. Kaca mata hitamnya masih ia pakai. Sesuai keinginannya, ke bandara tanpa di antar keluarga. Kahiyang ingin menikmati kesendiriannya. Ia ingin benar-benar melepaskan semua. Kenangan singkat antara dirinya, Satria dan juga Bumi.

"Halo, Ma," sapanya pada Brisia.

"Sudah sampai?" tanya Brisia dari sambungan telefon.

"Sudah, Ma. Kahi lagi duduk, tunggu waktu aja," jawab Kahiyang.

"Hati-hati anakku. Selalu berdoa. Doakan Nenek cepat pulih agar Mama dan Nenek cepat ke London," ujar Brisia. Berat rasanya tidak mengantar putrinya ke bandara. Untuk pertama kalinya.

"Iya, Ma. Mama Papa juga jaga kesehatan. Dan soal Bumi, jangan pecat dia. Dia dokter yang pintar, andalan rumah sakit kita." ucap Kahiyang. Meskipun Bumi sudah menyakitinya dan berbohong pada Papanya, Kahiyang melihat dari satu sisi positif seorang Bumi.

"Iya ... Mama coba bicara dengan Papa nanti. I love you anakku," kata Brisia.

"I love you too, Mama," balas Kahiyang, menyeka sudut mata. Brisia benar-benar mampu menjadi sosok ibu kandung yang selalu Kahiyang rindukan.

Sambungan telefon itu berakhir. Kahiyang mengedarkan pandangannya ke sekeliling, lalu ia melihat seseorang yang dibencinya namun ia rindu.

Keduanya sama-sama terdiam. Tidak ada senyuman ataupun pergerakan sama sekali. Mereka mematung, seolah berbicara dengan pandangan mata.

Sungguh terlihat jelas, mereka sama-sama memiliki kerinduan yang sama besarnya.

Selama sepuluh menit mereka masih saling menatap. Hingga suara pemberitahuan penerbangan menuju London terdengar. Kahiyang memutus pandangan itu terlebih dulu, lalu bangkit dari duduknya. Kahiyang berjalan semakin jauh, sedangkan Satria tetap diam di kursinya dan terus memandangi tubuh bagian belakang Kahiyang.

Kakinya terasa berat untuk pergi. Kahiyang ingin berbalik lalu memeluk Satria, mengatakan semuanya. Namun ia urungkan. Kahiyang tetap berjalan menjauh memasuki garbarata.

Begitupun Satria, ingin mengejar dan memeluk Kahiyang. Namun ia tahu diri. Kekasihnya itu sudah menjadi milik orang lain. Tidak ada kecurigaan apapun saat melihat Kahiyang hanya seorang diri. Satria mengira Kahiyang pergi karena tuntutan kampusnya di London.

"Kalau bukan karena kabar itu, kamu masih di sisiku," ujar Satria, mengingat insiden pingsannya Inggrid dan membuat semua semakin runyam.

"Aku batal nikah, Mas. Tapi aku nggak bisa. Kamu punya keluarga yang harus kamu bahagiakan. Aku anggap kejadian lalu nggak pernah terjadi." gumam Kahiyang, menatap ke arah jendela pesawat yang akan bersiap untuk take off.

Mereka berpisah malam itu. Pesawat yang membawa Kahiyang terbang ke benua Eropa sedangkan Satria pergi ke benua Australia.

Setiap perjalanan hidup akan membawa ceritanya masing-masing. Entah itu bahagia atau pun kecewa. Nyatanya Kahiyang dan Satria sama-sama menyimpan kenangan itu. Bibir dapat berucap, mengingkari tapi hati tidak bisa dibohongi.

Cinta yang salah di situasi yang salah pula. Kahiyang yang masih belia, menjadikan cerita itu sebagai pengalaman masa muda. Agar ia selalu ingat bahwa sesuatu yang dimulai dengan kekeliruan, akan berakhir dengan kekecewaan.

Meski tangannya tak sanggup menggenggam dan memeluk Kahiyang, namun rasa itu masih ia simpan dalam hatinya. Tidak bisa dipungkiri pesona gadis muda yang angkuh seperti Kahiyang, sulit untuk ditepis dan dilupakan.

Satria ingin menenangkan pikirannya ke negri Kanguru. Negara yang sempat ia tinggali beberapa tahun untuk mencari pengalaman dunia kerja, sebelum memutuskan kembali ke Indonesia, mewarisi yayasan milik orang tuanya.

Dan untuk kali ini Satria kembali dengan alasan lain. Berkali kali Hanna merengek untuk ikut, tapi Satria menolaknya secara halus.

"Papa cuma sebentar disana. Hanna bisa telefon Papa. Kapan pun," ucapnya pada sang putri yang sedang dipelukan.

"Kenapa harus pergi jauh? Kenapa Hanna nggak boleh ikut, Papa?" rengeknya lagi.

"Papa ada urusan penting disana. Hanna juga masih belum pulih betul. Papa janji, nanti kita liburan berdua. Mau?" Satria berusaha membujuk putrinya agar tidak terus merengek ingin ikut.

"Janji?" tanya Hanna. Satria mengangguk, menautkan jari kelingking.

Sore harinya Satria berpamitan pada Hanna lalu pergi seorang diri tanpa diantar sopir atau pun bertemu dengan istrinya, Inggrid. Kepergiannya hanya Hanna dan pengasuh yang tahu. Inggrid lebih sering di rumah orang tuanya. Sudah tidak ada kepedulian di antara mereka.

Rumah tangga macam apa yang dijalani hanya untuk keuntungan satu pihak saja?. Satria masih berdiam diri karena melindungi Kahiyang. Ia tidak ingin Kahiyang terseret dalam masalah rumah tangganya bersama Inggrid. Terlebih kekasihnya sudah menjadi istri orang lain, pikirnya.

Untuk saat ini Satria memang kalah. Ia mengalah. Namun dalam ketenangannya Satria sudah mempersiapkan sesuatu yang akan ia ungkapkan nanti. Meskipun Kahiyang sudah tidak mungkin ia miliki karena sudah menjadi istri seseorang, Satria tetap akan melakukan rencananya itu. Rumah tangganya bersama Inggrid sudah tidak bisa diselamatkan lagi.

Hari demi hari, minggu pun sudah berganti. Kahiyang menyibukkan diri di kampusnya untuk mematangkan pameran seni kontemporer yang akan diselenggarakan di Indonesia yang yayasan milik Satria menjadi salah satu promotornya.

Kahiyang begitu ulet, teliti dan fokus. Sampai tidak menyadari ada laki-laki berkebangsaan Jerman memandanginya terus. Kahiyang sedang duduk di kantin sendirian. Meneliti setiap berkas-berkas di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menggenggam sandwich.

(dialog menggunakan bahasa inggris)

"Lihat siapa?" tanya Bryan pada Jarvas. Bryan dan Jarvas sama-sama di satu jurusan dengan Kahiyang. Bryan berasal dari Inggris, sedangkan Jarvas berasal dari Jerman. Mereka berdua tidak satu tim dengan Kahiyang dalam proyek itu.

"Kahiyang ..." jawabnya. Masih terus memandangi Kahiyang.

"Masih aja kamu suka dia? Udah lah, dia bukan cewek gampangan. Udah banyak yang tau kalau dia susah di ajak kencan. Cari yang lain. Move on brother," ujar Bryan.

"Justru itu. Karena dia bukan cewek gampangan, jadi bikin aku makin penasaran," timpal Jarvas. Rasa penasarannya pada Kahiyang sudah cukup lama.

Awal pertemuannya di lobby kampus. Jarvas sedang menunduk menekuni ponselnya lalu menabrak Kahiyang yang sedang membawa beberapa peralatan melukisnya. Dan brakk .... Semua tercecer.

"Stop! Pergi lah. Aku bisa sendiri," ucap Kahiyang  saat melihat Jarvas akan membantunya membereskan kekacauan itu. Kahiyang tidak suka ada yang menyentuh barang-barang miliknya.

Jarvas menegakkan badannya lalu mengedikkan bahu dan berkata, "Oke ..." Jarvas pergi tapi sesekali ia menoleh ke belakang lalu berhenti dan berbalik. Jarvas memotret Kahiyang yang sedang memunguti kuas dan barang lainnya.

"Sombong tapi cantik," gumamnya.

"Siapa?" tanya Bryan yang tiba-tiba saja datang merangkulnya. Kemudian ikut menatap kemana temannya itu melihat.

"Cewek asia itu?" tanyanya, lalu Jarvas mengangguk.

Setelahnya Jarvas semakin bahagia karena mereka sering satu kelas. Meskipun sama sekali tidak pernah dalam satu tim saat pembagian tugas.

Ponsel Kahiyang bergetar di atas meja. Jarvas menghampiri lalu mengetuk meja itu. Kahiyang mendongak.

"Ponselmu bergetar," menunjuk ponsel Kahiyang.

"Lalu?" tanya Kahiyang karena Jarvas masih tetap berdiri di samping mejanya.

"Jangan terlalu sibuk dengan tugas pameran itu. Makan yang cukup dan jangan sampai terlambat. Perutmu bisa sakit," ujar Jarvas, meletakkan satu botol vitamin untuk Kahiyang lalu pergi.

Kahiyang heran dengan kedatangan Jarvas yang tiba-tiba itu, dan memberikan satu botol vitamin.

Kahiyang mengangkat vitamin itu, memasukkannya dalam tas. Kemudian pergi meninggalkan kantin.

Satu panggilan tak terjawab dari Bumi, Kahiyang hiraukan.

To be Continued ...

ScandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang