Ansan

513 17 0
                                    

"Gimana pengalaman terakhir kamu di Zimbabwe?" tanya Bumi. Atiqah sedang di apartemen Bumi.

"Menyenangkan. Meskipun dalam keadaan serba kekurangan, mereka selalu tersenyum. Aku mendapatkan banyak ilmu kehidupan disana. Sesulit apapun yang terjadi di hidup kita, tetaplah tersenyum," terang Atiqah, kembali teringat bagaimana hancurnya dulu saat berpisah dengan putranya Aziel. Atiqah sekuat tenaga untuk bangkit. Membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Bumi mengangguk-anggukan kepalanya, mengerti. Ia pun teringat bagaimana usahanya untuk sampai di titik ini. Bagaimana ketamakan dan keegoisan orang tuanya.

"Kalau dokter Bumi, bagaimana? Ada pengalaman seru apa yang sudah pernah dirasakan?" tanya Atiqah lalu menyeruput tehnya.

"Pengalaman seru ya? Emm ..." -berpikir- "sepertinya bukan pengalaman yang seru. Hanya menchalenge diri sendiri," ujar Bumi, mengingat dulu memberanikan diri menangani seorang Menteri.

"Tapi memang harus begitu. Kita sebagai dokter harus berani mengambil langkah berani. Kalau enggak, ya kita nggak akan pernah maju," sahut Atiqah.

Obrolan mereka terus berlanjut sampai sore hari. Hari itu kebetulan Atiqah dan Bumi sama-sama libur. Mendapatkan teman seprofesi dan kebangsaan yang sama, pembicaraan mereka nyambung-nyambung saja. Semua hal di bahas.

Selama dua minggu, hubungan Bumi dan Atiqah semakin dekat. Karena satu gedung apartemen, terkadang Bumi datang ke apartemen Atiqah hanya untuk sekedar makan mie ramen. Banyak hal yang mereka bicarakan. Bumi takjub dan terpesona dengan banyaknya pengalaman Atiqah menjadi relawan.

Dan hari ini, hari terakhir Atiqah dan tim berada di Jinsilhan Hospital. Esok pagi mereka harus sudah pergi ke Ansan. Ada rasa sedih di hati Bumi. Kedekatannya selama dua minggu ini memberikan kesan yang mendalam. Belum sempat mengatakan cinta, karena Bumi pikir masih terlalu cepat dan terburu-buru. Bumi takut hubungan yang sudah terjalin, merenggang.

"Hati-hati di jalan. Ini untukmu," Bumi menyodorkan paperbag berwarna pink.

"Apa ini? Repot-repot banget. Tapi makasih banyak lho," ucap Atiqah tersenyum. Ia akan membukanya nanti di bus.

"Kabari aku kalau sudah sampai," pesan Bumi. Atiqah mengangguk. Seakan dunia hanya mereka berdua saja, yang lain tidak dianggap. Edo saja yang berdiri di samping Bumi seperti kasat mata, tak terlihat.

"Ehem ..." Edo berdehem, bermaksud agar dua makhluk di sampingnya itu tersadar bahwa banyak pasang mata yang terus melihat mereka berdua.

Bumi meringis, menggaruk kepalanya. "Maaf," ucapnya pada Edo.

"Kalau udah jatuh cinta emang dunia serasa milik berdua," bisik Edo. Bumi kembali tersenyum.

Atiqah dan tim sudah masuk ke dalam bus, Bumi dan Edo masih setia berdiri di lobi rumah sakit. Bumi berdiri tepat di samping jendela dimana Atiqah duduk di barisan ketiga.

"Cie ditinggalin kekasih hati. Udah langsung merana gitu," ledek Edo di ruangan Bumi. Bumi sedang menekuni ponselnya, tidak mendengar perkataan temannya.

"Huh ..." Bumi menghela nafas kasar. Baru beberapa jam Atiqah pergi tapi Bumi rasanya ingin ikut menyusul ke Ansan.

"Kenapa lo?" tanya Edo, melihat Bumi yang tidak bersemangat.

"Gua susulin ke Ansan aja apa gimana?" tanya Bumi pada Edo yang duduk di seberang mejanya.

"Nyusulin Atiqah?" Bumi menganggukan kepala.
"Sinting! Dia baru setengah jam pergi. Kerjaan lo disini juga banyak. Mau di pecat, lo?" Bumi menggelengkan kepala. "Yaudah, disini aja dulu. Weekend nanti kan bisa kesana. Jangan sekarang." Bumi menganggukkan kepala pasrah. "Ngangguk geleng doang dari tadi. Lemes banget. Sarapan dulu ayok?" Edo menarik Bumi bangkit, mengajaknya ke cafetaria rumah sakit.

Hari yang sangat di nanti Bumi, hari liburnya tiba. Bumi sudah bersiap sejak subuh tadi. Pukul 07.00 Bumi akan pergi ke Ansan menggunakan subway atau kereta. Perjalanan memakan waktu kurang lebih 1,5 jam dari pusat kota Seoul dengan melintasi sungai Han.

Perjalanan menuju Ansan, menyuguhkan pemandangan lahan pertanian bersanding dengan gedung-gedung bertingkat tinggi. Areal pertanian di sepanjang kanan dan kiri menjadi pengobat lelah perjalanan yang terkadang jika ramai harus rela berdiri.

Turun dari kereta di Stasiun Ansan, penumpang harus naik satu lantai kemudian keluar ke pinggir jalan raya di sebelah kanan stasiun.

Ansan hanyalah kota kecil yang terletak di sebelah selatan kota Seoul. Nama Ansan tidak seterkenal Seoul, Busan, Pulau Jeju atau pun pulau Nami. Namun kota di provinsi Gyeonggi itu, sangat dikenal oleh orang Indonesia yang pernah tinggal disana. Di kota itu terdapat banyak sekali rumah makan Indonesia. Pelayannya pun dari Indonesia. Sangat tepat Atiqah dan Tim relawan berada di cabang rumah sakit di Ansan. Mereka tidak sulit untuk mencari makanan indonesia saat ingin. Minimarket Asia pun ada disana. Letaknya di depan Universitas Internasional yang terbilang cukup besar di kota itu.

Setelah keluar dari stasiun, Bumi mengirimkan pesan pada Atiqah. Mereka sudah membuat janji bertemu. Bumi pikir hanya berdua saja. Ternyata Atiqah membawa turut serta Indi. Bumi sedikit kecewa saat melihat Atiqah melambaikan tangannya di perhentian bus. Atiqah dan Indi baru saja turun dari bus.

"Sudah lama menunggu?" tanya Atiqah pada Bumi.

"Belum. Baru aja keluar," jawab Bumi sambil menunjuk pintu keluar kereta bawah tanah.

"Ooohh ... Syukurlah. Eh iya, aku bawa Indi, nggak papa kan? Biar lebih seru kita jalan-jalannya," ucap Atiqah tanpa tahu jika Bumi sedikit kecewa. Maunya Bumi, hanya berdua saja tapi Atiqah tidak peka. Indi tersenyum kikuk. Sejujurnya Indi tidak mau ikut, namun Atiqah memaksa.

"Iya," jawab Bumi.

Akhirnya mereka bertiga berjalan-jalan ke pusat kota. Atiqah mengajak Bumi ke rumah makan Indonesia. Memesan beberapa makanan yang sudah lama tidak mereka makan. Rasanya ingin sesekali makan makanan Indonesia, tidak melulu kimchi.

Rindu pada tanah air pasti ada. Apalagi rindunya Atiqah pada putra semata wayangnya, Aziel. Menggunung. Liburan musim panas nanti, Aziel akan datang bersama kakak mendiang suaminya dulu, yang mengasuh putranya di Amerika.

Pesanan nasi gudeg komplit, nasi goreng spesial beserta ayam kampung goreng, nasi soto surabaya dan tiga gelas es teh manis siap disantap.

"Ya ampun, udah lama banget nggak makan gudeg," ujar Atiqah menatap nasi gudeg komplit pesanannya. Bumi senang melihat Atiqah seperti itu. Kecantikan alami dengan semua kesederhanaan yang di miliki. Meskipun kaya raya, Atiqah tidak berpenampilan berlebihan, sangat sederhana.

"Aku juga udah lama nggak makan soto," sahut Indi, nyengir. Merasakan kuah yang bercampur dengan bubuk koya, gurih sedap. Indi sama bahagianya.

"Saya juga," ujar Bumi ikut-ikutan. Menyendok nasi goreng spesial ke dalam mulutnya.

Pertemuan itu berlanjut sampai ke apartemen Atiqah. Apartemen yang cukup dekat dengan rumah sakit. Apartemen mirip kondominium, hanya ada lima lantai saja. Apartemen Atiqah berada di lantai empat.

"Maaf ya, tempatnya kecil. Nggak sebesar di Seoul kemarin," ujar Atiqah setelah membuka pintu.

"Nggak masalah, namanya juga kota kecil. Pasti beda sama kota besar. Tapi nyaman kok. Asal semua berfungsi dengan baik. Iya, kan?" ucap Bumi. Atiqah mengangguk.

"Mau minum?" tanya Atiqah.

"Boleh," jawab Bumi, mendaratkan bokongnya ke sofa panjang berwarna cream.

Atiqah pergi ke dapur kecilnya, membawa satu gelas air putih. "Minum dulu. Pasti capek, habis jalan jauh dari shuttle bus," menyodorkan minum. Atiqah duduk di samping kanan Bumi.

To be Continued...

ScandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang