Gelisah

678 30 1
                                    

Karena sudah tidak nyaman dengan pembicaraan Bumi dan teman-temannya, Satria memutuskan untuk pergi dari restoran itu.

"Kenapa buru-buru, Pa?" tanya Hanna pada Satria saat mereka berjalan menuju lantai playground berada. Hanna digendong Satria agar mereka cepat sampai.

"Papa ada urusan penting sebentar," jawab Satria. Wajahnya kalut mengingat pembicaraan Bumi bersama teman-temannya tadi. Satria benar-benar akan menghubungi Kahiyang.

"Urusan apa sih sampe segitunya?" tanya Inggrid terlihat kesal. Satria tidak menjawab.

Setibanya di playground, Satria menurunkan Hanna lalu menyodorkan kartu pada Inggrid.

"Kamu urus semua!" -menyodorkan kartu- "hanna dengan Mama dulu. Papa pergi sebentar saja. Oke?" ujar Satria.

Hanna mengangguk, "oke, Papa," jawabnya.

"Pintar," puji Satria, mengusap kepala lalu mencium kening putrinya.

"Tunggu!" -menahan tangan- "aku nggak dicium?" tanya Inggrid. Semua mata menatap keluarga kecil itu. Satria tersenyum kaku dan terpaksa mencium kening istrinya. Adegan itu di abadikan oleh orang-orang yang menyaksikan.

"Papa, pergi dulu," pamit Satria.

Satria berjalan cepat ke arah toilet. Ia rogoh ponselnya sambil berjalan, menekan angka satu yang langsung terhubung dengan Kahiyang.

Dering pertama, kedua dan ketiga tidak digubris Kahiyang. Satria gelisah.

Satria tidak putus asa, ia mencobanya lagi.

"Angkat dong! Cepat! Ini penting! Sangat penting! Kamu harus tau!" ujar Satria setelah masuk ke dalam toilet, menutup closet lalu duduk diatasnya.

"Argh ... Breng*sek! Kenapa nggak diangkat-angkat?" Satria kembali kesal. Kenapa Kahiyang begitu sulit untuk menjawab panggilan dari dirinya.

Sudah tiga kali Satria menghubungi Kahiyang, namun panggilan itu tetap tidak direspon. Satria menyerah, memilih keluar dari dalam toilet.

Satria memutuskan untuk kembali ke playground lalu ia melihat Inggrid yang sedang dikerumuni wartawan. Satria memilih menghindar, ia tidak mau wajahnya tepampang di laman berita atau acara gosip.

"Papaaaa ..." teriak Hanna dari dalam playground yang hanya terhalang kaca besar. Inggrid yang ada disana pun dapat mendengarnya.

Satria tak bisa berkutik. Semua menatapnya. Kemudian ia lambaikan tangan sambil tersenyum. Satria merutuki dirinya sendiri.

"Ah, itu Satria. Suami saya," ujar Inggrid pada wartawan. Inggrid bangkit mendekati Satria. Awak media pun ramai mengabadikan momen itu.

Satria tersenyum kaku lalu membisikkan kata pada Inggrid. "Untuk apa kamu bawa mereka? Aku tau ini rencanamu! Ini alasan kamu ngotot untuk ikut. Iya?!" Satria mengeraskan rahangnya.

"Kentara banget ya? Ups, sorry. Aku cuma pengen Hanna juga Mami Papi seneng liat kita akur gini," ujar Inggrid lirih.

Mereka kembali diminta untuk berpose didepan banyak kamera wartawan.

"Kirimin hasilnya ke Arila," kata Inggrid pada salah satu wartawan yang sangat dekat dengannya.

"Siap," jawab wartawan itu.

"Aku bisa kirim foto-foto kita ke pela*curmu di London," gumam Inggrid sambil merapihkan kerah baju Satria.

"Jangan macam-macam! Kamu sungguh keterlaluan Inggrid!" Satria bersungut kesal. Niatnya untuk mengajak Hanna pergi justru di manfaatkan oleh Inggrid.

Satria tidak mau Kahiyang melihat potret mereka hari ini. Satria tidak mau Kahiyang semakin membencinya.

"Jadilah suami dan ayah yang baik untukku dan Hanna! Jangan membuat ulah! Akibatnya, kamu sudah tau!" ancam Inggrid. Satria menepis tangan Inggrid yang akan menyentuh dadanya.

"Masih banyak wartawan. Aku bilang jangan berulah! Nikmati sandiwara yang aku buat! Demi nama yayasan yang kamu miliki juga!" sambung Inggrid.

Sungguh, Satria benar-benar menahan amarahnya. Rasanya ingin meledak, tapi ancaman Inggrid lebih kuat. Satria tidak bisa berbuat apa-apa sampai ia bisa membuktikan kesalahan-kesalahan yang telah Inggrid lakukan.

Dengan hati yang kesal, Satria menggendong Hanna ke lobby Mall untuk menunggu mobil yang diparkirkan oleh petugas Valet. Hanna tahu Ayahnya sedang tidak baik-baik saja.

"Maaf, Papa," celetuk Hanna, masih dalam gendongan.

Satria mengerutkan keningnya. "Maaf untuk apa?" tanya Satria.

"Sepertinya Papa sedang marah. Maafin Hanna, Papa." ujar Hanna lagi.

Belum sempat Satria menjawab, Inggrid menginterupsi. "Papa sedang ada masalah di sekolah. Bukan karena Hanna," ucapnya. Satria mengangguk, mengusap pipi Hanna.

Petugas Valet datang bersama mobil milik Satria, kemudian mereka masuk ke dalam dan kembali pulang ke rumah. Hal pertama kali yang akan Satria lakukan adalah menghubungi Kahiyang lagi.

*****

Perbedaan waktu antara London dan Jakarta yakni tujuh jam. Jakarta lebih cepat tujuh jam dari waktu London. Kahiyang siang itu sedang mengikuti kelas sosiologi seni.

Sosiologi seni merupakan ilmu tentang sebuah kerangka analisa manusia-manusia yang berkaitan dengan aktifitas seni. Tinjauan utamanya tentang masyarakat sebagai penikmat, pemerhati, pengkaji, peneliti, konsumen dan pengelola seni.
'
Sumber : brainly.co.id (dewayuanggityaa)

Ponselnya bergetar dalam saku celana. Kahiyang merogohnya lalu melihat siapa yang menelfonnya. Nama Satria muncul. Kahiyang belum benar-benar menghapus nomor kontak Satria.

Kahiyang terus menatap layar yang menyala, sambil menggigit bibirnya gelisah.

"Untuk apa Satria menghubunginya lagi?" tanya Kahiyang dalam hati. Sungguh dilema, Kahiyang bingung.

"Kahiyang ..." seru Mrs. Ariana, dosen mata kuliah sosiologi seni.

Kahiyang terkejut, mangangkat kepalanya menatap Mrs. Ariana. "Emm ... Iya, Mrs," balasnya.

"Ada masalah?" tanya Mrs. Ariana. Beliau melihat Kahiyang yang menunduk dan gelisah.

"Emm ... Tidak, Mrs. Semua baik-baik saja," jawab Kahiyang, menampik. Padahal hati dan pikirannya kacau hanya karena Satria menghubunginya sebanyak tiga kali.

"Oke. Jadi, bisa kamu kembali fokus?" tanya Mrs. Ariana. Kahiyang mengangguk, kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku.

Mata kuliah itu berjalan kurang lebih selama dua jam. Kahiyang masih memikirkan sebab Satria menelfonnya untuk apa. Rasanya ingin buru-buru pulang ke apartemen dan menunggu telfon dari Satria.

Tanpa tahu, ada seseorang yang menguntitnya di belakang. Jarvas membuntuti Kahiyang diam-diam. Rasa penasarannya begitu tinggi, sejak di kelas tadi. Jarvas terus mengamati gerak gerik Kahiyang saat menunduk menatap layar ponsel.

"Keluar!" teriak Kahiyang. Ia tahu Jarvas mengikutinya setelah melihat dari pantulan kaca besar sebuah toko yang dilewati.

"Aku bilang, KELUAR! Atau kuteriaki rampok?" ancam Kahiyang.

Jarvas diam, ia memilih tetap bersembunyi di balik dinding. Kahiyang kesal, menghentakkan kakinya lalu berlari kencang ke arah apartemen.

"Psycho!" umpat Kahiyang sambil terus berlari.

Titik-titik keringat muncul di dahi, Kahiyang terengah-engah. Jarvas masih mengikutinya.

"Untuk apa mengikutiku?" tanya Kahiyang setelah sebelumnya mengelabui Jarvas. Kahiyang berbaur dengan segerombolan wisatawan yang baru saja keluar dari gedung penginapan.

Jarvas membalikkan badannya. "Aku cuma ingin tau dimana kamu tinggal. Itu saja," jawabnya.

"Jangan ganggu kehidupan pribadiku!" ujar Kahiyang tegas.

"Kenapa? Aku hanya ingin berteman saja," kata Jarvas, menyentuh lengan Kahiyang.

Kahiyang mengedikkan bahunya, tidak mau disentuh. "Apakah dengan menjadi teman, lalu kehidupan pribadiku harus kamu ketahui juga?" tanyanya.

Jarvas mengangguk, "tentu. Karena kalau sesuatu terjadi denganmu, aku bisa datang membantu," ujar Jarvas, mengutarakan apa yang di pikirkannya. Sejujurnya Jarvas memang khawatir.

"Terimakasih. Tapi aku bisa menjaga diriku sendiri. Kamu bisa pergi sekarang," usir Kahiyang.

To be Continued...

ScandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang