Entah ini bisa disebut kabar baik atau nggak. Sesaat setelah gue menamatkan buku diary, ingatan milik Adela B hadir di kepala gue. Tak semuanya, ingatan itu melompat-lompat. Namun, satu hal yang pasti, ADELA B, KENAPA LO MENYE-MENYE GINI?! Lo itu pada dasarnya gue juga, kan? Kita terpisah karena pilihan berbeda yang kita ambil di suatu titik. Namun, nande? Wae elo malah kayak pemain sinetron azab begitu? Mana masalah lo banyak banget lagi. Lebih banyak dari total kekayaan Pak Agandi. Bercanda, bercanda.
Oh, iya, ada satu hal penting. Kejadian ini satu minggu yang lalu, Adela B jatuh dari tangga dan keguguran. Di rumah sakit Adela B ngadu kalau dia didorong sama... pokoknya entah siapa, gue nggak dapat bagian itu, tapi kayaknya orang itu orang penting bagi si Gama. Makannya saat Adela B ngadu, Gama marah besar. Tampar Adela B dan pergi ninggalin rumah sakit. Nggak balik-balik sampe Adela B pulang dan bahkan sampai Adela B jiwanya terbang entah kemana. Dari sepenggal cerita aja udah kerasa vibes film azabnya, kan? Wahai Adela B, andai engkau pembunuh bayaran, pasti ceritanya lebih seru.
Ceklek
Bunyi itu buat gue yang asik menjelajah ingatan Adela B noleh ke arah pintu. Menemukan seseorang yang wajahnya udah gue kenal. Masang wajah datar so keren dan masuk gitu aja ke kamar sambil lihatin gue sinis. Punten, ya, saudaranya Delta, tatapan sinis kayak gitu nggak mempan ke gue.
"Cewek rendahan."
Hahaha, saya ini cewek mahal loh, Maz, puluhan cowok saya tolak waktu SMA dan kuliah. Tiba-tiba ide cemerlang terlintas di kepala gue yang jenius ini. Oh, oh, oh, gue, kan, selama ini diam di rumah tanpa ada orang yang bisa gue jahilin, ya? Gimana kalau gue jadiin si Gama Bwengshake ini kelinci percobaan? Hm, ide bagus. Maka dari itu, gue sekarang turun dari kasur, deketin si Gama yang mau masuk ke pintu lain yang kayaknya kamar mandi. Gue mencoba senyum sebaik mungkin, entah gimana bentukannya, tapi gue rasa bagus. Semoga aja. "Kak Gama pulang juga. Kak Gama nginep di mana aja?" tanya gue suuuupperrrrr lembut. HAHAHA, SORRY ADELA B, GUE REBUT DULU PERAN CEWEK MENYE-MENYE PUNYA LO.
Gama masang wajah preman. "Pergi, tukang fitnah!" katanya.
Gue menunduk. Pengen ketawa sebenarnya, tapi ayo Adela, semangat! Ini hal yang langka! "So-soal itu... aku nggak bohong, Kak," ucap gue sempurna.
"Nggak usah ngeles! Gara-gara lo Gea nggak mau pulang!"
Gea, Gea, Gea? Ah, adik kembar si Gama. Adik ipar gue dong, ya? Heee, jadi dia yang dorong Adela B sampe keguguran?
Gue harus nangis ini, tapi gue nggak tahu tekniknya. Maka dari itu gue hanya memasang wajah sendu, menatap Gama terluka, kemudian berkata, "Aku yang salah, Kak, maaf aku udah buat Kak Gea nggak pulang."
"Bagus kalau sadar diri," ucap Gama sebelum masuk ke kamar mandi. Membanting pintu super keras tapi gue nggak kaget wleee.
Oke, berhubung gue bosan di kamar dan rasanya malas dengerin suara mandi Gama, gue akhirnya memilih keluar. Melapisi piyama dengan jaket rajut warna hijau dan dapur yang ada di lantai satu yang menjadi tujuan gue akhirnya kelihatan.
Menurut ingatan Adela B, Gama itu ternyata kaya raya. Sebelas dua belas sama Pak Agandi. Ingatan itu diperkuat dengan rumah ini yang luas dan mewahnya menyaingi rumah gue, isi kulkasnya juga banyak. Namun, gue cuma mau ambil apel sebiji doang. Lapar sebenernya, tapi gue sedikit nggak enak kalau makan gitu aja. Gimanapun gue pada dasarnya ada di rumah orang. Ngambil apel aja hitungannya udah nggak tahu malu. Haram nggak, sih? Kalau Mbak Nurul pasti tahu jawabannya.Mbak Nurul, gue bakal balik lagi nggak, ya, ke tubuh asli gue? Jujur, gue agak takut dengan ini. Gue nggak mau pisah sama bunda dan ayah gue. Namun, kalau terus mikirin itu, gue pasti semakin terpuruk. Gue pengen bertahan meski dunia ini asing bagi gue.
"Adela."
Suara pria? Gue menoleh ke sumber suara, melihat pria... emm, mungkin usianya awal 30an yang gue tahu sebagai Agam. Nggak usah tanya tahu dari mana, ingatan Adela B buat gue sedikitnya tahu dan nggak ngang-ngong
"Pagi, Kak Agam," sapa gue ramah.
"Gama udah pulang?" tanya pria Agam ini. Dia itu abangnya Gama. Anak tertua keluarga ini.
"Udah, Kak, baru aja. Sekarang lagi mandi," balas gue mendudukan diri di kursi apa, sih, namanya? Itu, loh, yang ada di depan meja panty. Oh, oh, gue inget, stool!
Agam ngangguk-ngangguk kecil. "Oh, bagus kalau gitu. Gea juga udah pulang semalam."
"Heh."
Sentakan monster macam apa itu? Noleh ke samping, perempuan yang pakaiannya kayak istri-istri Presdir di drama korea bisa gue lihat. Hm, ini masih subuh, loh, kenapa dia pakai baju kayak gitu? T_T Wajahnya asem, nggak enak dipandang. Buruknya gue nggak tahu siapa dia. Dia nggak ada di ingatan Adela B yang gue terima.
"Kamu goda-goda Mas Agam? Dasar nggak tahu diuntung! Udah dapat Gama masih mau rebut Mas Agam dari saya?"
Punten, Teh, gue cuma duduk sambil makan apel doang.
"Siska, jangan bicara kayak gitu. Adela cuma duduk doang." Whahh, pria Agam ini belain gue? Sip, ingatan Adela B ternyata bener. Pria Agam ini orangnya waras.
Namun, Siska? Bininya pria Agam, kah? Hm, pria Agam emang harusnya udah nikah, sih. Bisa-bisanya nggak ada ingatan tentang Mbok──, maaf maksudnya Mbak Siska di kepala gue.
"Iih, Mas Agam kenapa malah belain cewek ngeselin itu, sih? Harusnya Mas belain aku," rengek Mbak Siska mirip banget sama pemeran antagonis sok imut yang sering muncul di FTV pagi. Gue nggak suka nonton, tapi pernah sekali gue nonton karena nggak ada kerjaan. Kebetulan ada yang perannya mirip banget sama Mbak Siska. Jadi nostalgia, deh.
"Makannya kalau mau dibelain jangan centil kayak monyet gitu." Astaghfirullah, Gue malah kelepasan bergumam kayak gitu. Semoga aja nggak kedengaran.
"Apa, Del? Ada yang mau kamu bilang?"
Gue spontan menggeleng tegas. Big no Kak Agam, bibir gue cuma kurang rapat.
•••
29.03.2023
Ada orang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Anti Romantic [END]
Teen Fiction"Astaga, adegan sinetron macam apa ini?!" Adela itu pengurung diri level tertinggi yang tidak berniat membuat kisah romansa di hidupnya. Sejak dulu julukannya adalah si 'anti romantic'. Dia cantik tapi malas mandi. Lalu, entah sebab apa si anti rom...