Gue... ngerasa bersalah.
Bukan, bukan sama Gama, bukan juga sama Kak Ruby. Rasa bersalah ini gue sadari tertuju pada Adela B. Gue kepikiran apa Adela B setuju soal keinginan gue?
Yang gue tahu, gue itu jarang marah. Sejak dulu gue menghindari dunia luar lengkap dengan masalah yang bisa timbul. Kalaupun ada hal yang bisa memicu masalah bagi gue, gue cenderung menanggapi itu dengan santai. Namun, satu hal yang gue pahami, di titik di mana gue benar-benar marah, gue... akan berubah menjadi Adela yang egois. Adela yang hanya peduli dengan diri sendiri.
Sekarang, gue, Gama, Pak Arya, Mama Tia, dan orang yang meregoki pertengkaran gue dan Gama, Kak Ruby ada di satu tempat yang sama. Ruang tamu keluarga Gundopo.
"Om, Tante, apa semua ini? Adela... Adela itu..."
Yah, Kak Ruby nangis. Dia dengar semua yang gue katakan dengan baik. Katanya dia sengaja nunggu Gama di dekat gerbang rumah karena pengen kasih surprise ke dia. Namun, pada kenyataannya malah dia yang dapat surprise.
"Seperti yang kamu dengar, Ruby, Gama sudah menikah. Adela bukan keponakan saya, tapi menantu saya."
Sejak gue pertama kali ketemu Kak Ruby, gue sadar kalau Mama Tia nggak terlalu suka dengan dia. Sekarang Mama Tia bahkan dengan mudah dan tegas konfirmasi kenyataan yang Kak Ruby dengar.
"Ta-tapi gimana bisa, Tan? Gi-gimana, ah, Gam-gama, kan, pacar aku."
Yah, Kak Ruby, semesta dan Tuhan selalu misterius.
"By, ngobrol berdua dulu, yuk," ajak Gama yang saat gue lirik bawa tangan Kak Ruby ke genggamannya.
"Tetap di sini Gama, masalah ini harus kita selesaikan," ucap Pak Arya tegas. Ya, benar, masalah ini memang harus segera selesai.
"Seperti yang Kak Ruby katakan, Pah, Mah, aku minta Kak Gama buat ceraiin aku. Aku terlalu lelah dengan sikap Kak Gama, aku juga hanya hama di sini. Kak Ruby lebih pantas menjadi menantu Gundopo." Rasa bersalah gue pada Adela B akan gue tebus dengan membuat diri gue dan tubuh Adela B bahagia.
Mama Tia natap gue terluka. Maaf, Mah, tapi aku juga ingin bebas. Bebas juga membebaskan.
"Kenapa kamu sangat marah, Adela?" Ayolah Pak Arya, saya ini orang waras!
"Sejak awal, Kak Gama nggak pernah cinta sama aku, Pah. Maaf, tapi aku juga ingin memiliki pernikahan dengan cinta yang melimpah." Gue jujur. Gue nggak mau pacaran, gue nggak suka kisah romantis ala muda-mudi, tapi gue tetap berharap kalau gue menikah nanti, gue ingin suami yang bisa mencintai gue. Seperti Mas Azhar yang mencintai Mbak Nurul dan seperti ayah yang mencintai bunda. Gue ingin pernikahan yang bahagia.
"Perceraian adalah kecacatan bagi Gundopo. Namun, saya memang tidak pernah berniat membuat kamu tetap menikah dengan putra saya."
Yah, Pak, Anda lebih suka menantu yang bergelar dan dari keluarga terpandang bukan? Kalau gitu, Kak Ruby sudah cocok. Dia sedang menempuh pendidikan S1 Psikologi dan keluarganya sangat berkelas. Gue tahu itu dari diary Adela B yang membicarakan rasa insecurenya.
"Pah, Adela itu baik, dia sangat sempurna untuk Gama."
Sayangnya aku nggak sebaik itu, Mah. Maaf, tapi orang baik yang Mama bicarakan telah pergi entah kemana.
"Gama, kamu mau cerai dari Adela, Sayang? Kamu mau lepasin wanita luar biasa seperti Adela?" Mama Tia kali ini bawa pandangannya ke arah Gama yang hanya diam seolah lupa bagaimana cara berbicara.
"A-aku... nggak tahu, Mah," jawab Gama setelah beberapa saat seraya menundukan kepalanya.
Bagi Gama, ceraiin gue harusnya hal yang mudah. Semalam dia juga sempat menyinggung perceraian, kan? Namun, kenapa sekarang dia kayak gitu? Ayolah, lo sama sekali nggak peduli apalagi cinta sama Adela B, nggak ada yang harus diperjuangkan dari pernikahan ini.
"Adela, Mama mohon maafin Gama dan kami semua, ya? Urungin keinginan kamu itu," pinta Mama Tia. Dia bahkan pindah posisi. Dari hadapan gue, kini ke samping gue. Genggam tangan gue dan mengusap bahu gue lembut. Sebenarnya, apa yang Mama Tia lihat dari gue?
"Maaf, Mah, tapi untuk kebaikan semuanya, aku dan Kak Gama emang harus bercerai. Sejak awal pernikahan ini terjadi hanya karena kesalahan," papar gue sama sekali nggak berniat untuk mengubah pikiran. "Kak Gama, Kakak mau nikahin Kak Ruby, kan? Sekarang, ayo ceraiin aku."
Gama natap gue, entahlah, tapi sekarang dia jadi kayak orang linglung. "Del...," lirihnya. Jeda beberapa saat, Gama kayaknya bergulat dengan pikirannya. "Lo... bener," ucapnya.
"Pah, Mah, ini pernikahan aku. Maaf, aku nggak akan minta persetujuan kalian untuk ini. Pernikahan aku dan Adela hanya kami yang bisa merasakannya, jadi, biarin aku yang sepenuhnya ambil keputusan," papar Gama mantap. Sekarang gue bisa merasakan kalau Gama akan benar-benar ceraiin gue.
"Mulai sekarang...." Gue nggak tahu kenapa, tapi Gama malah berkaca-kaca, dia nyaris nangis saat menelan ludahnya dengan susah payah. "Mulai sekarang──"
"Gam, jangan."
Dari ruangan sebelah, Kak Gea jalan tergesa sambil melihat ke arah gue dan semua orang yang ada di sini.
"Del, sorry. Maafin gue, gue minta maaf. Maaf banget, Del, semuanya salah gue. Andai gue nggak cepat-cepat ambil kesimpulan, Gama nggak akan marah sama lo. Semuanya salah gue, Del, tolong, tolong jangan minta cerai dari Gama."
Gue kaget. Ya, tentu aja kaget saat Kak Gea bersimpuh di depan gue dengan air mata yang berderai. Daripada Gama, gue lebih nggak mengerti jalan pikiran Kak Gea. Maksud gue, ayolah, segala macam hal dia lakuin agar gue terlihat jelek di mata Gundopo. Dia lakuin itu supaya gue diceraikan, kan? Namun, saat gue yang memilih minta cerai, Kak Gea malah kayak gini. Maksudnya apa? Apa yang Kak Gea cari?
"Cuma lo kakak ipar yang gue mau. Gue mohon jangan cerai dari Gama, ya? Gue nggak akan bisa maafin diri gue sendiri kalau itu terjadi. Lo mau gue ngapain, Del? Mau gue sujud di kaki lo sekarang? Gue mau, Del, gue bisa lakuin itu kalau itu bisa bikin lo batalin keinginan lo tadi."
Gue spontan tahan Kak Gea saat dia beneran mau sujud di kaki gue. Suasana jadi aneh. Gama berdiri, dia berusaha tarik Kak Gea agar berdiri.
"Gam, Gam, lo jangan sampai ceraiin Adela. Gue yang salah, Gam, gue yang salah." Alih-alih berhasil ditarik berdiri, Kak Gea sekarang malah peluk kaki Gama. Gue beneran bingung, apa yang sebenarnya Kak Gea ingin capai sampai merendahkan dirinya kayak gini?
"Ge, jangan gini." Gama merunduk, berusaha buat Kak Gea ngelepasin kakinya.
"Gea..."
Kak Ruby shock. Gue bisa paham karena gimana pun hubungan Kak Gea dan Kak Ruby itu amat sangat damai dan tenang. Mereka udah kayak saudara dan emang harusnya mereka jadi saudara.
"Ruby...." Kali ini Kak Gea mengusap air matanya, beringsut mendekat ke arah Kak Ruby, dan menggenggam tangannya. Dia masih sama, bersimpuh di atas lututnya dengan Kak Ruby yang duduk di sofa di depannya. "Maafin gue, tapi gue nggak bisa bohong kalau Adela adalah kakak ipar paling baik," ucapnya.
Kak Ruby yang sesaat lalu berhenti nangis, kini kembali mengeluarkan air mata. Cintanya mungkin akan hancur, dia jelas sedih.
"Lo jahat, Ge," lirih Kak Ruby dengan bibirnya yang bergetar. "Kenapa lo giniin gue?" tanyanya.
•••
15.04.2023
Timpuk Mbak Ge ramai-ramai~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Anti Romantic [END]
Teen Fiction"Astaga, adegan sinetron macam apa ini?!" Adela itu pengurung diri level tertinggi yang tidak berniat membuat kisah romansa di hidupnya. Sejak dulu julukannya adalah si 'anti romantic'. Dia cantik tapi malas mandi. Lalu, entah sebab apa si anti rom...