50. Keinginan

514 85 3
                                    

"Kenapa kalungnya nggak ada?"

Ugh, apa iya gue takut? Masa iya gue takut sama Gama, sih? Big no, nggak mungkin. Sama sekali nggak mungkin. Meski suaranya jadi kedengaran berat dan nyeremin, tatapan matanya jadi dingin, Gama nggak mungkin buat gue takut.

"Del, jawab gue."

Arghh, kenapa pake nelen ludah segala, sih, gue?! Gama pasti tahu. "Ka-kamar, Kak. Di- kamar." KENAPA PAKE TERBATA WAHAI DIRIKU?! Ayolah, dia cuma Gama, kenapa dia bisa bikin takut sampai jantung gue dag dig dug?

"Kenapa dilepas?" tanya Gama. Oy, oy, oy, gue lupa pasang abis copot perekam tadi. Namun, kan, mana bisa jawab gitu ke Gama.

"Del?"

"Gue mandi dan kalungnya copot. Lupa pasang lagi. Maaf." Kenapa minta maaf, Adelaaaaa? (༎ຶ ෴ ༎ຶ). Mana pas minta maaf itu gue pake nunduk segala lagi. Cih, gue baru sadar setelah kejadian.

Huft, wajah Gama akhirnya menjauh. Tarik napas, buang napas, tarik napas, buang napas. Berasa nonton film horror astaga, tapi, yah, meski Gama udah baik, penyakit nggak jelasnya masih belum ilang. Lihatlah, abis masang muka nyeremin, dia sekarang malah senyum ramah. "Lupa, ya? Gue kira sengaja." Manusia satu ini berakhir gandeng gue, bawa gue jalan dan gue cuma manut gitu aja. Ngekorin dia hingga kami berakhir ke kamar. Hm, bau kamar emang paling menakjubkan. Bikin nyaman.

Gama dudukin gue di sofa dan bertanya, "Di mana, Del?" Maksud dia itu... kalung, kan?

"Nakas dekat cermin," jawab gue nggak mau repot ambil sendiri. Enak aja, kalau udah disuruh duduk, ya, nikmatin aja yegeye.

Dapat apa yang dia cari, Gama kembali lagi, mendudukan diri di samping gue dan entahlah, secara alami kami jadi saling hadap-hadapan.

"Tahu nggak hari ini ada kejadian apa?" Maaf maaf aja, nih, ya, saiya ini bukan pengguna ilmu hitam yang bisa tahu segala hal lewat bola sihir. 

"Nggak tuh," balas gue.

"Hari ini gue berhasil ngabaiin Ruby sepenuhnya meski tadi kami hanya berdua."

Heeeee, affakah artinya sebelumnya Gama nggak bisa abaiin Kak Ruby? Meski udah umumin kalau dia nggak lajang lagi? Whahh, dua jempol buat kekuatan cinta.

Namun tunggu, Kak Ruby belum nyerah, kah? Apa yang dia rencanakan? Dia mau buat Gama cinta mati sama dia abis itu ditinggalin? Katanya dia mau balas dendam sama gue dan Gama. Heeee, apa beneran gitu? Gue nggak peduli, sih. Tapi balas dendam mainin perasaan Gama sebrutal itu apa nggak terlalu kasihan, ya, si Gama? Apa gue harus bersyukur karena tekad Gama kuat? Ah, mola mola mola, belum tentu juga, kan, tebakan gue benar.

Hmm, buat kebaikan Gama apa gue harus bantuin dia? Dia udah baik sama gue, bukannya gue harus balas budi? Namun, sebelumnya Gama antagonis, harusnya gue nggak ngapa-ngapain, kan? Kebaikan Gama cuma sebatas penebusan kesalahan masa lalu aja. Kalau gue bantuin dia nanti skornya jadi 1-0.

"Lo nggak ngerasa kasihan sama Kak Ruby, Kak? Maksud gue, gimanapun dia korban di cerita kita." Entahlah, pertanyaan itu terlintas gitu aja di kepala gue.

Sorot mata Gama jadi berubah. Gimana, ya? Kalau dilihat-lihat, matanya memancarkan rasa sakit meski kayaknya dia ini berusaha tutupin itu. Menggelengkan kepala, Gama menarik kedua sudut bibirnya.  "Ruby itu baik, baik banget. Dia tipe orang yang hangat sama siapapun, nggak pernah beda-bedain orang, dan selalu bantu siapapun yang kesulitan. Dia nggak perlu rasa kasihan gue, gue yakin dia pasti akan ketemu sama cowok yang jauh lebih baik daripada gue," paparnya.

Yah, gue tahu Kak Ruby emang baik. Dia bahkan pernah bantuin gue saat gue di cafe waktu itu. Waktu sama Mbak Nurul dan terlibat sama cowok-cowok meresahkan.

Anti Romantic [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang