Seumur-umur gue hidup, gue nggak pernah membayangkan akan ada saat dimana gue tidur di depan toko tutup dengan beralaskan kardus. Namun, lihatlah sekarang, gue merapatkan punggung pada tutup toko, duduk selonjoran dengan Elfan dan bocil cewek paling kecil yang mendaratkan kepala di kedua paha gue. Di sisi kanan gue ada dua bocil yang tiduran dan setelahnya Mbak Nurul yang duduk kayak gue dengan Ilham di sisinya. Mereka semua udah tidur tapi gue nggak bisa tidur. Hanya merasakan angin yang masuk ke blok ini dan itu dingin.
Beberapa bocil jadiin kardus sebagai selimut, tapi gue yakin itu nggak banyak berpengaruh untuk hangatin badan mereka. Selama ini gue selalu tidur di kasur yang empuk dan nyaman. Selimut tebal selalu ada kalau gue kedinginan dan AC siap sedia kalau gue kepanasan. Ternyata selama ini gue itu amat sangat beruntung.
"Lo belum tidur?" Suara Mbak Nurul kedengaran meski kecil. Dia mungkin sengaja karena nggak mau buat para bocil terganggu.
"Nggak bisa tidur, Mbak," balas gue pelan juga.
"Bisa dimengerti, lo pasti selalu tidur di tempat yang nyaman."
Gue tersenyum kecil. "Iya. Mbak juga sebelum ke sini tidur di tempat yang nyaman juga, kan? Kenapa Mbak pergi dari rumah?" tanya gue.
"Lo..."
"Mbak mungkin nggak inget, tapi aku kenal Mbak lebih dari yang Mbak duga," papar gue sebelum Mbak Nurul bertanya lebih jauh.
"Yang lo kenal itu... Nurul?" tanya Mbak Nurul agaknya nyambung.
Gue pun mengangguk. "Iya, aku kenal Mbak Lifa sebagai Mbak Nurul. Percaya nggak percaya, kita itu teman baik di tempat yang jauh banget." Gue bahkan nggak tahu bumi A ada di mana. Hm, entah kenapa, tapi gue ngerasa kalau Mbak Nurul nggak apa-apa dengar soal keberadaan gue yang nggak biasa.
"Lo pasti setengah tidur," balas Mbak Nurul yang buat gue menyimpulkan senyum.
"Anggap aja begitu," ucap gue.
Jujur, gue kedinginan. Malam hari di luar ternyata sedingin ini, ya? Gue nggak pernah tahu karena gue nggak pernah ikut acara kemah saat sekolah.
Tubuh gue ngerasa dingin, itu fakta, tapi hati gue merasakan kehangatan yang belum pernah gue rasain sebelumnya. Apalagi saat gue nggak sengaja elus rambutnya Esti, bocil cewek yang ada di dekat gue. Rasa rindu menyeruak, melihat mereka gue merindukan bumi A dan masa kecil gue. Bu Rinjani juga... sering elus kepala gue ಡ ͜ ʖ ಡ.
•••
"Kak Deldel."
"Kak Deldel."
"Kak, oiii."
Ergh, suara dari dimensi mana itu? Gue lagi sibuk nyusun skripsi ini. Mie gorengnya udah abis lagi, masa iya gue harus nyeduh lagi? Minta Bu Denok aja kali, ya? Hm, mie goreng~~~ (つ✧ω✧)つ
"Adela bangun."
"Kak Deldelllll."
Awww, sakit pipi gue. Tunggu, bocil? Ahh, dia bocil semalam. Esti, ya? Aws, kedua pipi gue baru aja ditarik bocil satu itu. Ini... di mana, ya? Tunggu, hm, hum, ham, ah, pasar! Eh, pasar?! Astaghfirullah, bener, gue, kan, tidur di pasar.
Jam! Jam! Jam! Gue nggak kesiangan sholat subuh, kan?! Noooooo.
"Kak Deldel bangun, udah jam satu ini. Orang pasar udah siap-siap.
Jam satu? Jam satu siang?! Bohong! Mana mungkin gue tidur selama itu (・(ェ)・)
"Del, sorry kalau lo masih ngantuk. Di pasar emang gini, dari tengah malam udah ada yang nganterin barang."
Te-tengah malam?! Jangan bilang sekarang jam satu diri hari?! Omegatt, gue ngapain bangun tengah malam begini?
"Gue sama anak-anak bantu angkut barang dulu. Lo tolong anterin Esti sama Elfan ke toilet, ya? Bisa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Anti Romantic [END]
Teen Fiction"Astaga, adegan sinetron macam apa ini?!" Adela itu pengurung diri level tertinggi yang tidak berniat membuat kisah romansa di hidupnya. Sejak dulu julukannya adalah si 'anti romantic'. Dia cantik tapi malas mandi. Lalu, entah sebab apa si anti rom...