Epilog

815 83 30
                                    

Gue... kaya.

Iya, loh, beneran kaya. Gue sekarang bukan lagi menantu keluarga kaya raya, tapi istri manusia kaya raya. Yah, meski kekayaan ini bukan hasil jerih payah Gama, sih, tapi tetap aja kekayaan itu milik Gama.

Astaghfirullah, agaknya gue ini cewek yang suka harta.

Delapan bulan berlalu sejak kepergian Kak Gea. Mama Tia dan Pak Arya udah resmi bercerai beberapa bulan lalu dan kasus KDRT yang Mama Tia laporin juga berlangsung lancar. Pak Arya berakhir ditahan karena kekerasan yang dia lakuin ternyata nggak sesederhana itu. Mama Tia membeberkan segala macam kelakuan buruk Pak Arya selama pernikahan mereka soalnya, lengkap dengan bukti yang dia simpan rapi. 

Nah, yang paling menyenangkan dan membuat gue semangat adalah HARTA KEKAYAAN!! Gundopo, kan, kaya raya, harta bersama a.k.a harta gono-gini Mama Tia dan Pak Arya melimpah ruah. Jadi, Mama Tia dapat banyak, tuh, si harta gono-gini. Nggak lama setelah itu dia ngurus peralihan kepemilikan hartanya buat Gama dan Kak Agam.

Gini, deh, anggap aja ada 100% harta gono-gini Mama Tia, nah, 40% jadi milik Kak Agam, 40% dikasih ke Gama, dan 20% Mama Tia sumbangin ke yayasan amal tertentu atas nama Kak Gea. Kak Agam sama Gama juga turut menyisihkan 5% kekayaan itu buat yayasan amal atas nama Kak Gea. Jadi, kesimpulannya, gue punya 35% HARTA GONO-GINI MAMA TIA!! 35%, loh, 35%, itu banyak.

Whahh, gue── ekhem, maksudnya Gama jadi punya banyak properti. Dia juga punya secuil persen saham di perusahaan-perusahaan tertentu. Whahh, rasanya beda, loh, dengan pas gue jadi anak orang kaya. Kek, ada semacam kebanggaan tersendiri padahal gue nggak ngapa-ngapain.

Omong-omong, gue abis dari dapur barusan, abis masak. Iya, beneran masak. Tiga bulan ini entah kenapa gue berakhir ikut kursus masak sampai akhirnya gue bisa sedikit percaya diri kalau apa yang gue masak nggak akan berevolusi jadi racun.

Gue belum bisa masak yang repot-repot, sih, barusan aja cuma masak martabak mie doang. Yah, Gama-ssi, bertahanlah dengan masakan simple kelebihan asin itu beberapa saat lagi. Gama nggak protes, kok, meski kelihatan tertekan, dia selalu makan apa yang gue buat sampe beneran abis. Kalau gue males, dia sendiri yang biasanya masak. Mirisnya, masakan dia lebih manusiawi daripada punya gue. Kadang juga kami masak bareng meski gue cuma bagian icip-icip sama nyalain kompor doang.

Hm, gue membuka pintu kamar, berakhir lihat Gama yang lagi siap-siap di depan kaca. Errr, itu manusia satu kenapa dandanannya begitu? Dia mau menghadiri pesta opening galeri apa mau godain anak gadis orang? Whahh, jelek sekali.

Gama sukses lulus kuliah, dia sekarang beneran fokus sama impiannya karena nggak ada lagi yang protes dan kasih tekanan. Karirnya berjalan cukup lancar, nama pelukis Gama Arian dari Indonesia udah sedikit dikenal orang. Karyanya mahal, sih, biasanya dia jual ke luar negeri. Oh, oh, oh, bulan lalu Gama ikut pameran tertentu di Singapura dan karyanya menarik banyak perhatian.

Entahlah, gue rasa itu terlalu lancar. Apa Gama aslinya jenius? Nggak meyakinkan. Astaghfirullah, nggak boleh gitu.

Bisa gue lihat Gama senyum lebar saat gue masuk. Dih, sawan Anda? Bajunya benerin, kek. "Kak, mau pamer dada?" tanya gue nunjuk bajunya dia. Dia pake kemeja putih yang ada garis-garis samarnya, jas hitam turut dipilih sebagai pelengkap penampilan orang itu. Yang bikin picek mata adalah tiga kancing teratas kemeja yang terbuka.

"Kenapa? Keberatan?" tanya Gama sambil senyum-senyum nggak jelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kenapa? Keberatan?" tanya Gama sambil senyum-senyum nggak jelas.

"Nggak, tuh, cuma jadi jelek aja. Kayak orang aneh yang nggak punya kemampuan ngancingin baju," balas gue nggak peduli. Dahlah, nggak apa-apa, datang aja ke pesta pembukaan galeri besar yang isinya orang-orang hebat sambil pamer dada. Gue yakin Gama bakal diusir keluar dan berakhir malu.

Aarrghh!! Gue bilang gitu, sih, tapi kaki gue berkhianat dan malah mendekat ke Gama, ngancingin kemejanya dia seolah gue Bu Rinjani yang bantuin gue pake baju waktu masih SD kelas tiga.

"Padahal mau aku biarin. Keren tahu, Del," ucap Gama ringan sambil masang wajah jenaka.

"Jelek. Nanti kalau diusir, aku yang malu." Yosh, rapiin bajunya Gama selesai. Namun, waktu gue mau menjauh, Gama Arian ini malah lingkarin tangannya di pinggang gue.

"Kenapa malu? Kan, kamu bilangnya nggak mau ikut."

Ya, kan, siapa tahu ada yang kenalin Gama sebagai suami gue. Apa nggak mungkin, ya? Gue ini nggak punya nama besar soalnya.

"Malu aja bayanginnya," balas gue. Iya, loh, gue pasti malu kalau bayangin Gama diusir sekuriti.

Kecupan Gama mendarat di bawah mata kanan gue dan gue balas itu dengan getokan kecil di kepalanya. "Basah," protes gue. Whah, KDRT.

Bukannya sadar diri, Gama malah terkekeh aneh. Bawa gue bergerak halus ke kanan kiri tanpa ada tanda-tanda minggat dari posisi ini. Tangan gue naik, rapiin rambutnya Gama yang masih agak basah. Kita udah kaya, loh, Gam, keringin rambut, kek. Nggak akan rugi listrik, kok.

"Del?"

"Hm?"

"Kamu cantik," katanya kayak lagi godain anak SMA.

"Nggak pernah ada yang bilang aku jelek." Kalau dipikir-pikir bener juga. Gue ini nggak pernah dikatain jelek. Yhahh, inilah keuntungan mengurung diri, gue jadi terhindar dari hinaan para manusia.

"Masa iya kamu nggak punya mantan." Seneng amat nanyain itu. Gue udah kasih tahu, loh, kalau gue ini melajang sebelum tiba-tiba punya suami modelan Gama.

"Bohong dosa, Kak. Bohongin kamu dosanya double. Mungkin, sih," balas gue.

"Tapi kamu menarik, unik, baik, cantik, nggak macem-macem."

"Aku punya mantan sekitar 15 kalau nggak salah. Semuanya ganteng, kaya, baik, penyayang, lembut, perhatian, pokoknya sempurna." Ha.ha.ha. mampus. Gama jadi melotot, kan. Suruh saha nanya mulu.

"Mereka siapa aja?" tanya Gama cepat.

"WeTubers, aktor, penulis, pianis, dancer, gengster, presiden mahasiswa, tetangga, dan anak temennya Ayah. Terus ada juga orang terkaya nomor satu di dunia yang bilang kalau nikahin aku maharnya lima biji pulau, sertifikat kepemilikan separuh bulan, sertifikat kepemilikan  samudera Hindia, dan rumah lima tingkat." Tolonggg, geli banget gue nyebutnya (༎ຶ ෴ ༎ຶ). Gara-gara Gama, sih.

Wajah Gama yang asalnya kelihatan mendung berubah jadi kaya mau muntah akibat kalimat terakhir gue itu. Gerak kanan-kiri yang asalnya udah berhenti, kembali Gama lakuin dan dia berkata, "Besok kita nikah lagi. Maharnya semua sinar matahari yang masuk ke bumi."

Gue jadi ketawa geli. Astaghfirullah, dasar orang aneh.

•••

18.05.2023

Finally!!! Akhirnya sukses selesai. Aku nggak pandai bikin epilog, tapi semoga aja nggak mengecewakan.

Teruntuk readers sekalian, makasih, loh, udah mampir ke cerita ini. Semoga hal-hal baik menimpa kalian. Aamiin.

Sampai jumpa di karya selanjutnya. Follow akunku kalau kalian niat😉.

Salam hangat,
Esqueen💃

Anti Romantic [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang