68. Kamu Orangnya

468 72 3
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Fyuhhh

Gue kembali tenang. Emosi tertentu udah nggak membuat gue kewalahan lagi. Mungkin pegal, Gama melepaskan pelukannya meski tangannya berakhir bertengker di bahu gue. Dia natap gue. Gue natap dia. Lihat wajah berantakan dia yang sekarang basah gara-gara ini manusia satu abis nangis. Errr, gue juga nangis, sih. Dikit doang tapi. Iya, sedikit, kok. Beneran, deh.

Tangan Gama terlepas dari bahu gue, berakhir mendarat di pipi gue dan jempolnya mengusap sisa-sisa air mata di sana. Errr, bukannya harusnya dia hilangin air matanya dia dulu, ya? Bangga banget pajang pipi basah.

"Boleh tau artinya permintaan kamu tadi?" Setelah beberapa saat bungkam sambil tatap-tatapan, suara serak Gama akhirnya terdengar.

"Boleh bilang langkah pertama buat memperbaiki diri kamu?" Alih-alih jawab pertanyaan dia, gue memilih balik tanya. Aku-kamu, itu nggak sulit karena sebelumnya gue juga pake sebutan itu. Dulu, waktu acting.

"Apa?" tanya Gama.

Turunin tangannya dia dari pipi, gue membalas, "Mandi."

Gama... bau.

Entahlah dia ngapain aja atau tinggal di mana aja. Yang jelas gue 100% yakin bentukannya nggak akan gini kalau dia tinggal di rumah atau apartemen. Tahu, sih, ini udah malam, tapi, kan aneh kalau Gama tidur dengan kondisi kayak gini. Oke, iya, gue tahu gue juga jarang mandi, tapi gue cuma rebahan doang kerjaannya. Nggak kotor. Mungkin.

•••

Bunga matahari sangat cantik, mekar di waktu pagi. Daunnya hijau, bunganya kuning, memikat kumbang lalu. Yey💃💃.

Aneh, deh, rasanya. Aneh banget. Gue udah biasa tidur sama Gama, tapi sekarang ada yang beda. Setelah beberapa menit pura-pura tidur gara-gara gue merasa dilihatin Gama dan dia juga genggam tangan gue di dadanya, gue akhirnya buka mata dan disambut dengan wajahnya Gama. Dia udah lebih baik dari zombie, mata Mbah-mbahnya juga udah hilang. Sekarang sorotnya Gama malah kelihatan lembut dan dalam.

"Gimana tidurnya?"

Telentang dan menyamping. Kayaknya, sih. Gue nggak suka tidur tengkurap soalnya. Namun, nggak tahu juga, orang tidur mana bisa tahu.

"Nyenyak." Yah, Adela, pertanyaan yang Gama maksud pasti yang begitu.

"Mimpi indah?"

Saiya mimpiin Mawar, bukan Indah🙏.

"Nggak juga."

Oh, wow, sensasi merinding macam apa ini? Tulang punggung gue kayak dilewati siluman burung unta saat Gama bawa tangan gue yang dia genggam buat ditempelin ke bibirnya. "Makasih," ucapnya.

"Buat?"

"Biarin aku di sini," jawab Gama.

Biarin dia di sini, ya? Hmmmm, nggak usah terimakasih sebenarnya, gue juga bakalan nggak rela kalau ninggalin Gama. Oh, nooooo, gue semakin terang-terangan.

Soal cara minta maaf sama Adela lama, gue emang nggak nyiapin jawaban keren tertentu. Sejak awal, minta maaf sama orang yang udah nggak ada mana mungkin bisa, kan? Hal terbaik untuk mereka yang udah pergi adalah doa dan menjalani hidup sebaik-baiknya.

"Aku mau tanya sesuatu." Itu... gue. Selain masalah sikap Gama, ada satu hal yang menganggu pikiran gue sejak Adela B bilang gue mencintai Gama. Hal yang amat penting, menyangkut masa depan gue atau mungkin kami.

"Sebelum aku terlalu bahagia, sebelum semuanya terlalu jauh, aku mau tanya siapa yang kamu cintai? Adela lama atau..." Gawat, gue nggak sanggup beresin kalimat. Jujur, gue takut.

Gama kelihatan berpikir dan itu buat gue jadi gelisah. Yang Gama cintai harusnya Adela B, kan? Iya, dia selama ini tahunya gue Adela B. Apa gue hanya pengganti?

"Kamu. Aku menghormati Adela lama, aku kagum sama dia, aku bener-bener ngerasa dia wanita yang hebat. Aku juga menghormati kamu, mengangumi kamu, dan perasaan spesial yang susah aku rasain buat Adela lama. Cinta. Aku mencintai kamu, Del. Kamu, bukan orang lain."

"Kenapa seyakin itu?" Entahlah, meski mulutnya bilang gitu, tapi siapa yang tahu kalau Gama cuma salah sangka aja?

Gama berhenti genggam tangan gue, beralih usap kepala gue dan berkata, "Aku nggak bisa jelasin. Tapi aku nggak mungkin salah mengenali perasaan aku sendiri. Kamu orangnya, Del."

Katanya... cinta itu datang tanpa alasan.

"Dan, kalau kamu mau kepastian, ada beberapa hal tentang kamu yang sangat menarik buat aku. Hal yang nggak ada di Adela lama."

Banyak yang berbeda antara gue dan Adela B. Yang paling mencolok, gue nggak sebaik dia. Namun, apa yang menarik dari menjadi lebih jahat? "Apa?" tanya gue.

"Hmm..." Gama sok-sok'an berpikir keras dan gue tahu itu pura-pura. Kelihatan sengaja soalnya. "Kamu pemberani dan unik."

-_- Unik? Dia kira gue gajah bentuk jerapah? Gajah... bentuk jerapah?! Gue kayak nggak asing dengan itu.

"Kenapa berani dan unik?" Gue penasaran, loh.

Senyuman mencurigakan Gama bisa gue tangkap sebelum dia berkata, "Papa itu nyeremin. Selama ini cuma kamu satu-satunya yang berani lawan dia. Kalau unik... cewek macam apa yang bawa-bawa siput tetangga waktu adu mulut sama gerombolan cowok."

Gue nggak pernah bawa-bawa siput, tuh. Nyentuh aja nggak pernah. Gue agak geli sama dagingnya yang mirip bibir perokok aktif.

"Nggak inget? Di cafe waktu itu. Pas sama Lifa." Pas sama Mbak Nurul, ya? Oh, iya, waktu itu. Udah lama, loh, bisa-bisanya si Gama ini inget.

"Sekarang inget," ucap gue. Mengubah posisi menjadi telentang, gue bisa lihat langit-langit ruangan ini yang udah sering gue lihat. Omong-omong, asalnya gue nggak sadar, tapi ternyata gue pindah rumah sakit. Ini rumah sakit yang beda dari waktu gue adu mulut sama Pak Arya. Entahlah kapan pindahnya, gue mana tahu. Entah juga kenapa dipindahin. Gue rasa kondisi gue nggak seburuk itu sampe harus pindah ke RS yang lebih unggul. Apa emang parah, ya? Masalahnya kondisi gue itu diluar nalar.

"Soal Kak Gea..." masih dengan mata yang lihatin plafon, gue akhirnya menyinggung orang itu. "Meski dia adik kesayangan kamu, aku nggak bisa biarin dia gitu aja. Kak Gea melangkah terlalu jauh," ucap gue.

Perlu beberapa detik hening sebelum Gama membalas, "Aku kakak yang buruk kalau terus biarin Gea, Del. Aku juga nggak bisa terus biarin dia lakuin hal yang bakal dia sesali."

"Soal video, aku mau keluarga kamu dan Kak Ruby tahu kalau itu bukan Adela lama." Gue nggak mau orang-orang terus salah sangka. Terutama Mama Tia. Gue nggak mau dia terus dibodohi anaknya sendiri. Kalau Pak Arya... ah, sejujurnya gue nggak peduli dia mau ditipu siapapun juga. Namun, gue harus kasih dia makan fakta biar dia ngerasain apa itu malu.

"Aku juga sama, tapi perempuan di video nggak bisa ditemuin. Dia kayak hilang dari kota ini," terang Gama.

Apa dia cari perempuan asli di video? Ah, oke, lupakan dulu soal itu. Masih ada hal yang bisa dilakuin tanpa si perempuan asing. Noleh ke samping, gue berkata, "Tolong minta Kak Ruby, Azriel, Naraya, dan Kak Agam ke sini bisa, nggak?"

"Azriel?" Nada ketidaksetujuan bisa gue dengar dari suara Gama barusan.

"Hm, dia."

Omong-omong, GUE CAPEK DENGAN PEMBICARAAN SERIUS INI😤

•••

14.05.2023

Adela capek, aku pun capek mikirin cerita yang malah kepanjagan.

Ayo follow Instagramku agar aku senang💃

Ig : Esqueen_12

Anti Romantic [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang