59. Masa Lalu

470 75 8
                                    

Dingin...

Gelap...

Tangan dan kaki gue terikat.

Bu-bunda...

Ayah...

"Pemberitahuan pembatalan kontrak harus sampai pada saya dalam 45 menit atau putri Anda satu-satunya tidak bisa diselamatkan."

Kakek jahat yang waktu itu?

Argh, nggak. Bukan. Itu cuma masa lalu. Adela. Gue Adela. Gue udah 22 tahun. Sadar. Ayo, nggak apa-apa, Adela. Namun,... ahhh, sesak. Air? Gue tenggelam! Tolong, tangan Adela susah lepasnya. Bunda... Bunda... Bunda... airnya udah sampai mulut. Aaaa, Adela nggak mau!

Tenggorokan gue sakit! Ayah... kontraknya. Ayah... Ayah... aaaa, sakit!

Uhukk
Uhukk

A-ayah...

Dingin. Dingin. Tangannya Adela jadi sakit. Kakinya juga. Bunda... Bunda... Bunda.Bunda.Bunda.Bunda! Nggak mau!! Tolongin Adela, Bunda...

A-aahh bukan! Nggak. Bukan. Itu... bukan gue lagi! Gue Adela! Gue Adela! Gama tolongin gue! Dada gue sakit. Tenggorokan dan hidung juga. Ah, ada yang loncat. Kak Gea? Kak Gea gimana? Gama? Gama tolongin gue. Nggak mungkin. Nggak mungkin. Dia udah naik. Nggak kelihatan. Nggak kelihatan. Nggak keliatan. Nggak kelihatan!! Gama ninggalin gue!

"Polisi? Huh, dasar keras kepala! Tidak peduli dengan anaknya, ya?"

Bunda, airnya makin naik... Adela harusnya makan kue sekarang. Bunda... kaki Adela jadi berdarah. Napasnya juga jadi susah. Adela nggak bisa napas! Geraknya susah. Kakek jahatnya itu... airnya jadi tambah besar. Sakit. Semuanya sakit.

"ADELA!"

Eh? SADAR! Gue Adela. Gue Adela. Gue Adela. Nggak ada Kakek Jahat. Tenang. A-aah, nggak mungkin. Kesadaran gue udah terlalu... Azriel?

•••

(Author POV)

Dengan lollipop di tangannya, seorang anak perempuan dengan seragam sekolah dasar putih hijau berdiri di ujung gerbang sekolahnya. Anak-anak lain juga berhamburan, beberapa dituntun orang tua atau pengasuh mereka menuju mobil yang akan membawa mereka pulang.

Ini sekolah yang bisa dikatakan terpandang. Sekolah khusus anak-anak kaya karena biaya sekolahnya yang mahal. Itulah kenapa mobil-mobil mewah berjejer di sekitaran sekolah saat waktu pulang seperti ini.

Anak perempuan dengan lollipop tadi dengan tenang menunggu jemputannya. Menghiraukan sekeliling dan hanya sibuk dengan permen yang terus dia jilat. Bagaimanapun, dia bukan tipikal anak kecil yang heboh atau pecicilan. Dibanding teman-temannya, dia lebih banyak diam, hanya bercanda dengan teman terdekat, dan jarang berbuat kenakalan.

"Adela, benar, kan?"

Mendongak guna menatap seorang pria dewasa di depannya, anak perempuan itu langsung memalingkan muka karena sadar tidak tahu siapa orang yang barusan bicara.

"Om ini temannya ayah dan bunda kamu. Bunda kamu nggak bisa jemput dan minta tolong sama Om buat jemput kamu, Adela," ucap si pria dewasa berjongkok di depan Adela.

Sekali lagi gadis kecil bernama Adela itu menatap si pria dewasa. "Nama bunda dan ayah aku siapa? Kalau salah berarti Om ini orang jahat. Nggak boleh jahatin Adela, ayahnya Adela sayang banget sama Adela," paparnya.

Tersenyum lembut, pria dewasa itu menjawab, "Kamu pinter, ya?"

"Adela juara satu setiap hari."

Pria dewasa itu terkekeh renyah, mengusap kepala Adela dengan tangannya yang besar. "Bundanya kamu namanya Bu Rinjani dan ayah kamu Pak Agandi. Benar, kan? Terus namanya kamu Adela Novianka Agandi. Om ini kenal ayah kamu karena kami kolega. Kamu tahu apa itu?"

Mengangguk, Adela membalas, "Koneganya ayah itu yang kasih hadiah buat Adela."

"Kolega, bukan konega," ralat pria dewasa itu.

"Apa aja, deh, Om. Yang penting mereka kasih hadiah banyak ke Adela. Om belum pernah kasih hadiah, tuh, berarti bukan koleganya ayah."

"Adela mau hadiah? Om bisa beliin, loh, sekarang. Gimana kalau beli sambil jalan pulang aja? Mobil Om di sana," ucap si pria dewasa menunjuk mobil van hitam beberapa meter dari posisi mereka.

Tersenyum lebar, Adela jalan terlebih dahulu ke arah mobil yang dimaksud. "Yuk, Om. Adela pengen kue yang banyak."

•••

"Saya sebentar lagi sampai, Bos. Benar, anaknya sudah sama saya."

Menurunkan telepon yang sudah tak tersambung dengan siapa-siapa, pria dewasa bersetelan hitam yang duduk di sisi Adela itu menatap pada Adela yang kini tengah memeluk erat boneka pemberiannya.

"Perasaan Adela nggak pernah lewat terowongan ini kalau pulang. Sopirnya Om salah jalan, ya?" Menoleh pada si pria dewasa, Adela bertanya karena merasa asing dengan terowongan yang dilintasi mobil yang dia tumpangi.

"Kita jalan-jalan dulu sebentar. Di sana ada toko kue yang enak banget. Kamu, kan, mau beli kue yang banyak," balas si pria dewasa.

Satu tangannya merogoh saku kemeja yang dia pakai, mengeluarkan sebungkus permen susu, dan memberikannya pada Adela. "Ini mau nggak? Enak, loh, Om aja suka," ucapnya.

Dengan semangat, Adela mengambil permen itu, membukanya, dan memasukannya ke dalam mulut. Mengemut permen manis satu itu sebelum kemudian kepalanya terkulai begitu saja. Pelukannya pada boneka pun mengendur, lama-lama terlepas karena kesadarannya yang sepenuhnya hilang.

Tepat saat Adela kembali membuka mata, dirinya malah berada di tempat suram dengan kedua tangan dan kaki terikat. Mengedarkan pandang, dia sadar kalau dirinya tengah berada di dasar kolam renang yang kosong. Tempatnya terduduk agak basah, sangat kotor seolah sudah tak dirawat sangat lama.

Jantungnya tentu berdebar tak karuan. Meski masih kecil, dia tahu kalau situasinya saat ini bukan sekedar candaan. Memanggil-manggil om yang dia andalkan, yang muncul ternyata orang asing dengan tongkat yang membantunya berjalan. Dia sudah tua, Adela menafsirkan orang itu sebagai Kakek-kakek yang cucunya sudah delapan.

"Oho, kamu putri Agandi itu? Manis sekali," ucap si Kakek-kakek yang kini ada di tepi kolam. Menatap Adela yang sekarang sudah menangis karena ketakutan. "Anak sekecil ini harus terlibat dengan urusan orang dewasa, maafkan saya, Nak," lanjutnya. Mengalihkan tatapan dari Adela, dia mengangguk ke arah yang entah mana. sesaat setelahnya, dari keempat sisi kolam renang, semburan air muncul, mengisi kolam kosong ini dengan air yang sangat dingin.

Adela itu masih kecil, tingginya juga tak setinggi orang dewasa. Terlebih dia diikat saat posisinya tengah duduk selonjoran. Itu membuat air mampu dalam waktu singkat membuatnya tenggelam. Seperti saat ini, air sudah mencapai dadanya dan dia harus menengadah karena takut dan supaya hidungnya masih bisa mengambil napas. Air mata membanjiri wajah cantik anak itu, tangisan keras membuat tenaganya menjadi lebih cepat terkuras. Apalagi dia yang terus bergerak berusaha melepaskan ikatan pada tangan dan kakinya. Kenapa? Kenapa dia harus seperti ini? Yang dia pikirkan sekarang hanyalah ayah dan bundanya. Meminta tolong dengan tangisan keras yang bahkan sampai membuat batuk keluar dari mulutnya.

•••

09.05.2023

Errr, meski harusnya aku update tiap hari, tapi ada kemungkinan mulai besok aku nggak akan bisa update. Nggak, bukan, bukan karena bab selanjutnya belum ada, cuma, ya, ada sesuatu aja yang terjadi pada diri ini hingga mulai sekarang aku kemungkinan nggak akan aktif di manapun. Ini juga update siang-siang gara-gara masalah itu.

Dahlah, intinya jangan sampe pada kabur, ya, ceritanya nggak akan gantung, kok.

Vote komen kalau niat dan polow Instagramku meski nggak niat💃🌼

Ig : Esqueen_12


Anti Romantic [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang