(Author POV)
Dihukum untuk hormat pada sang saka saat nyaris tengah hari memang sangat menyebalkan. Ayolah, panasnya terlalu luar biasa, bisa membuat orang yang belum sarapan pingsan seketika.
Untungnya seorang siswi yang kini tengah mengalami hukuman itu sangat taat pada sang bunda dan telah sarapan sebelum berangkat ke sekolah pagi tadi. Namun, yah, meski perutnya sudah terisi, tapi panas tak bisa dihalau dengan itu. Keringatnya sudah banyak menetes dan setelah kurang lebih 25 menit berdiri, kakinya mulai kelelahan.
Di menit ke 27, seseorang menghampirinya, lebih tepatnya bergabung dengan dia dan hormat pada sang saka. Dia adalah seorang siswa, siswa yang berada di urutan kedua sebagai lelaki paling populer di sekolah ini. Gama namanya, Gama Arian Putra Gundopo, seorang ketua OSIS yang entah kenapa malah dihukum padahal dia siswa yang taat juga ketua OSIS yang kompeten.
Meski penasaran, tapi siswi yang telah terlebih dahulu hormat tak berani untuk bertanya. Dia yang bukan siapa-siapa tentu saja tak berhak untuk melakukan itu.
Lima menit berlalu dengan keheningan, tapi sesaat setelahnya tanpa mengalihkan pandangan dari bendera, siswa bernama Gama itu membuka mulut dan berkata, "Lo nggak capek?"
Tidak ingin terlalu percaya diri hingga langsung menjawab pertanyaan yang dia dengar, gadis yang sama-sama hormat di sana memilih tak langsung menjawab hingga akhirnya Gama kembali membuka suara.
"Gue ngomong sama lo," ucap pria itu.
Si gadis menoleh ke samping, membuat hormatnya beralih dari bendera pada sosok Gama yang lebih tinggi darinya. "Aku?" tanyanya.
"Cuma ada lo di sini," jawab Gama yang tetap pada posisi tegapnya. Menghadap sang saka dengan tangan yang hormat sempurna.
Kembali menghadap ke depan, si gadis membalas, "Sedikit capek, sih, Kak."
"Kenapa dihukum?" tanya Gama mengubah topik pembicaraan.
"Lupa ngerjain pr," balas siswi itu gamblang.
Untuk beberapa detik, hening kembali membungkus mereka sampai akhirnya giliran si siswi yang bertanya, "Kakak sendiri kenapa di hukum?" Bagaimanapun dia betulan penasaran soal itu.
"Tidur di kelas," balas Gama jujur.
Lagi-lagi berhenti sampai di sana. Keduanya tidak bisa atau mungkin tidak mau berbincang lebih lama. Lagipula mereka sebelumnya tidak pernah saling bicara. Sama-sama asing kecuali fakta kalau si gadis tahu nama lelaki di sampingnya.
Satu menit... dua menit... lima menit... sampai sepuluh menit berlalu dengan hening dan terik matahari. Gama menurunkan tangannya, menoleh ke samping, kemudian berkata, "Lo punya dua pilihan, berubah jadi manusia bakar atau ikut gue bolos."
Mendengarnya, pelototan tak bisa ditahan oleh si gadis. Bolos? Ketua OSIS macam apa yang mengajak murid untuk bolos?!
"Gue emang ketos, tapi ini kali pertama gue dihukum dan gue nggak sanggup," ucap Gama seolah paham yang menjadi pikiran siswi di sampingnya.
"Tapi Kakak besok bisa dihukum lagi," ucap siswi itu memberitahu.
Alih-alih mengurungkan niat, Gama malah tertawa sebelum membalas, "Besok hukumannya pagi-pagi dan gue bisa lebih semangat."
"Gimana, lo mau tetap di sini atau ikut gue?"
Mempertimbangkan sesaat, gadis itu akhirnya memutuskan. "Ikut Kakak aja boleh?" tanyanya.
Gama mengangguk, mengedarkan pandangan ke sekitar, lelaki itu berkata, "Ayo." Seraya membawa kaki jenjangnya berjalan cepat meninggalkan lapangan.
Kini tembok belakang sekolah ada di hadapan dua remaja itu, melihat sekitar yang sepi, Gama tahu ini adalah peluang bagus untuk melarikan diri dari hukuman menyebalkan itu. "Gue biasa nangkap anak-anak bandel lari lewat sini," ucapnya. "Harusnya gue juga bisa keluar dari sini."
Mengangkat tangan, dia mendaratkan telapak tangan pada bagian atas tembok, melompat beberapa kali sampai akhirnya dia berhasil memanjat. "Tunggu di sana, gue pinjem bangku dulu," ucapnya sebelum melompat dan menghilang di sisi lain tembok.
Memilih percaya, si gadis yang ikut dengan Gama itu menunggu beberapa saat. Namun, sudah lebih dari lima menit dia menunggu, Gama tak kunjung kembali. Takut tertangkap oleh guru ataupun anggota OSIS, gadis itu memilih menyerah dan pergi. Namun, bunyi gedebuk yang nyaring, membuatnya menoleh ke arah tembok lagi, menemukan sebuah bangku tergeletak di sana.
"Lo masih di sana, kan?" Itu suara Gama dan suaranya membuat si gadis mengembangkan senyum manis. Oh, rupanya Gama tak meninggalkannya.
"Masih, Kak," sahut gadis itu.
"Bagus. Sekarang lo bisa naik, kan?" tanya Gama yang diangguki si gadis yang tak sadar kalau Gama tak melihat anggukan itu.
Mendekat ke arah tembok, gadis itu memposisikan bangku hingga berdiri, naik ke atas bangku, dan membawa tangannya ke atas tembok. Mendorong tubuhnya sendiri dengan kaki, dia sukses naik meski membutuhkan usaha lebih. Saat dia sudah siap melompat, seruan bernada tinggi sukses mengagetkannya. Menoleh ke belakang, dia menemukan seorang guru yang tengah melangkah cepat seraya menunjuk ke arahnya. Sial sekali, itu guru yang memberikannya hukuman!
"Cepat lompat!" Desak Gama di bawah sana.
Menyakinkan diri, gadis itu akhirnya melompat, sukses mendarat meski kakinya sedikit sakit. Dia belum siap untuk bangkit, tapi Gama telah terlebih dahulu meraih lengannya dan membawanya berlari dengan tawa yang keluar dari mulutnya.
"Hahaha, ternyata seru juga jadi pihak yang dikejar," ucap Gama terus memacu kakinya.
Di belakangnya, gadis yang dia bawa memusatkan seluruh pikiran dan perhatiannya pada sosok Gama. Memperhatikan punggung tegapnya yang dilapisi kemeja putih dan vest abu-abu, dia dibuat bingung dengan perasaan aneh yang memasuki dadanya.
Saat sudah cukup jauh dari tembok sekolah, Gama menghentikan kakinya. Melepaskan tangannya dari tangan si gadis dan membalikan tubuh agar bisa menghadap gadis itu. Dadanya naik turun, napasnya sedikit memburu, meski senyuman tercetak di wajahnya yang tampan.
"Oh, iya, nama lo siapa?" tanya Gama masih belum menstabilkan napasnya. Dia mengulurkan tangan, mengajak gadis di depannya untuk berjabat.
Di tengah napasnya yang memburu hebat, gadis di depan Gama tetap menyambut uluran tangan itu, sesekali membungkuk karena lelah, dia akhirnya bisa berkata, "Adel... Adela. Huh, Adela Novianka Agandi."
Gama mengangguk kecil. "Lo mungkin udah tahu, gue Gama. Gama Arian," ucapnya. "Panggil aja Kak Gama atau cuma Gama, Adela."
•••
31.03.2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Anti Romantic [END]
Подростковая литература"Astaga, adegan sinetron macam apa ini?!" Adela itu pengurung diri level tertinggi yang tidak berniat membuat kisah romansa di hidupnya. Sejak dulu julukannya adalah si 'anti romantic'. Dia cantik tapi malas mandi. Lalu, entah sebab apa si anti rom...