Seperti yang gue katakan ke Gama, sore ini gue pergi keluar rumah. Pergi keluar padahal baru dua minggu diam di rumah rasanya bukan gue banget. Namun, apalah daya, gue kangen Bu Rinjani dan Pak Agandi. Yah, meski mereka bukan orang tua gue yang asli, tapi setidaknya gue bisa lihat wajah mereka dan peluk mereka. Gue sebenarnya agak takut, sadar betapa bedanya gue dan Adela B, gue jadi takut kalau bunda dan ayah juga berbeda. Namun, gue harus cek untuk tahu bukan?
Di sinilah gue berada, tepat di depan gerbang raksasa yang tak asing bagi gue. Di lingkungan perumahan elit yang jelas aja penghuninya orang kaya. Sombong dikit cekrek.
Tangan kanan gue naik, pencet bel yang tersedia dan tanpa menunggu lama, gue bisa dengar suara dari intercome yang dipasang.
"Dengan siapa?"
Hehehe, itu bukan suara bunda atau ayah. Dari nada sopan itu gue rasa itu pekerja rumah.
"Ini aku, Adela," ucap gue memperlihatkan wajah pada perangkat yang mempermudah hidup itu.
"Adela? Temannya Den David bukan?"
Siapa David? Terus kenapa malah nanya gitu? Gue Adela woy, A.de.la, anak pemilik rumah. Masa iya gue dilupakan?
"Bukan. Aku Adela Novianka Agandi." Kalau gue sebut Agandi harusnya orang yang baru kerja sehari pun tahu gue anggota keluarga Pak Agandi.
"Aduh, Neng, maaf, Neng ini ke sini mau bertemu siapa? Bapak dan Ibu sedang tidak ada, Den David juga masih belum pulang. Apa Neng yang mau melamar kerja jadi susternya Den Aska, ya?"
Nani?
"Bi, maaf, ini rumahnya Pak Agandi, kan?" tanya gue memastikan firasat buruk ini.
"Pak Agandi? Bukan, Neng, ini rumahnya Pak Iskandar."
Astaghfirullah. Masa iya Pak Agandi pindah rumah?! Kok bisa? Huft, malu banget astaga T_T. Untung aja gue nggak ngaku jadi anaknya pemilik rumah.
"O-ouh, maaf kalau begitu. Saya permisi." ucap gue secepat kilat lari dari depan rumah besar ini. Hm, sekarang gue harus ke mana? Masa iya tanya Gama alamat rumah sendiri? Mau telepon bunda tapi gue pengen dor-in alias ngasih kejutan. Hm, gue juga nggak dapat ingatan Adela B soal rumah atau bahkan bunda. Kalau dipikir-pikir semua ingatan yang gue dapat start-nya sejak hari gue ijab qobul. Ingatan tentang rumah, orang tua, atau bahkan teman sama sekali nggak ada. Padahal itu juga penting.
Kayaknya gue emang harus hubungi Gama, deh. Keluarin ponsel dari dalam tas yang gue bawa, gue memilih telepon Gama karena kalau kirim dia pesan gue ragu dia akan balas atau bahkan baca. Ingat, si Gama itu bwengshake!
Tutt tutt tutt
Nah, kan, ditelepon aja nggak ngangkat-ngangkat. Pantang menyerah, gue telepon dia sekali lagi sampai akhirnya Gama jawab meski butuh beberapa waktu. Dasar, ya, sok sibuk.
"Apa?" tanya Gama sewot begitu panggilan tersambung.
"Kak, maaf," ucap gue alih-alih to the poin. Ya, gimana, ya..., namanya juga mendalami peran. "Aku... aku boleh minta alamat rumah bunda aku?" Ini pasti aneh banget. Masa iya anak lupa rumah emaknya. Lagian, Pak Agandi kenapa rumahnya bisa beda, sih?
"Saking pengennya lo telepon gue lo sampe tanya hal nggak masuk akal gitu? Adela, lo seobsesi itu sama gue?"
Dih, rasanya gue pengen banget teriakin Gama, hanya aja, nanti jadi nggak seru. Namun, obsesi, ya? Dari diarynya, Adela B agaknya emang sedikit ada rasa sama Gama yang tak lain tak bukan kakak kelas di SMA sekaligus cinta pertamanya. Oh, iya, gue sama Gama kurang lebih beda satu tahun.
"Nggak, Kak, aku beneran lupa alamat rumah bunda," balas gue. Jujur loh ini. Eh, bohong, deng, gue nggak tahu bukan lupa.
"Ck, ntar gue kirimin. Jangan telepon gue lagi!" ucap si Gama langsung matiin sambungan. Bagus, bagus, gue juga ogah terus teleponan sama lo.
•••
Jujurly, kalau disuruh jelasin pakai kalimat maka sekarang rahang gue jatuh menghantam tanah sekeras-kerasnya. Bukan secara harfiah, tapi gue betulan kaget plus susah percaya dengan apa yang ada di depan mata gue ini.
Rumah dan Bu Rinjani. Alih-alih lingkungan perumahan elit, Bu Rinjani kini tengah menyapu lantai di salah satu rumah lingkungan perkampungan. Bu Rinjani yang suka ngomong nggak suka daster, sekarang malah pakai daster merah yang agaknya udah keseringan di cuci. Wajah segarnya sekarang kelihatan lebih layu. Bu Rinjani di depan gue sungguhan beda sama Bu Rinjani yang gue kenal.
Ada perasaan aneh yang memenuhi dada gue, itu buat gue tanpa pikir panjang langsung lari ke arah bunda, menabrakan diri pada bunda tanpa peduli apapun. Entahlah, tapi gue sedih, teramat sedih. Bunda gue, Bu Rinjani kelihatan rapuh.
"Adela?"
Suaranya masih sama, suara yang gue rindukan.
"Kamu kenapa?"
Saat ini pikiran gue kosong, yang gue inginkan hanya nangis sepuasnya di pelukan bunda. Bun, kenapa bunda kayak gini? Kenapa bunda di sini? Apa yang terjadi sama bunda? Dan ayah..., Di mana Ayah? Adela... Adela rindu Ayah. Bun, Adela kangen bunda, Adela kangen diusap bunda. Bunda, Adela takut, semuanya terasa asing. Bun, Adela nggak kenal siapa-siapa di sini. Namun..., pelukan bunda sama nyamannya.
•••
30.03.2023
Satu kata buat ibu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Anti Romantic [END]
Teen Fiction"Astaga, adegan sinetron macam apa ini?!" Adela itu pengurung diri level tertinggi yang tidak berniat membuat kisah romansa di hidupnya. Sejak dulu julukannya adalah si 'anti romantic'. Dia cantik tapi malas mandi. Lalu, entah sebab apa si anti rom...