73. Gea dan Pahlawan

416 65 3
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Gue nggak bisa bangun dari mimpi karena nyatanya hal yang gue hadapi sekarang bukanlah mimpi. Kak Gea betulan pergi. Dia memilih mengakhiri hidupnya. Meninggalkan Mama Tia, meninggalkan Pak Arya, meninggalkan Gama, Kak Agam, dan segalanya.

Gue berdiri di sini, tepat di depan pintu ruang jenazah yang tertutup. Di dalam sana ada Kak Gea, di dalam sana ada Mama Tia, Gama, dan Kak Agam yang suara tangisnya bisa gue dengar. Ini... rasa sakit, rasa tak rela, hinggap di hati gue. Gue nggak suka sama Kak Gea, tapi gue lebih nggak suka kalau Kak Gea meninggal dengan cara seperti ini.

Dari samping, gue mendengar suara langkah kaki, Pak Arya datang buru-buru dengan sepatu yang hanya terpasang di satu kakinya. Wajah yang biasanya menyeramkan itu kini hanya menunjukan duka dan kesedihan. Seolah nggak menyadari kehadiran gue, Pak Arya menerobos pintu, membuat pintunya terbuka hingga gue bisa melihat ke dalam ruang jenazah.

Tepat di arah pandang gue, di atas meja jenazah, tubuh Kak Gea yang hanya diperlihatkan dari bahu sampai kepala bisa gue lihat. Pucat. Putih. Kak Gea udah nggak bernapas. Kak Gea nggak akan lagi bergerak.

Suara jatuhnya sesuatu membuat gue melepaskan pandang dari Kak Gea. Di sana, di ujung meja Kak Gea, Pak Arya jatuh di atas lututnya. Tubuhnya bergetar dan sesaat kemudian raungannya bisa gue dengar. Bukan amarah, bukan kalimat menyebalkan ataupun angkuh yang sekarang keluar dari Pak Arya. Itu... tangisan. Tangisan terlampau menyedihkan karena tangis Mama Tia yang semula udah reda juga kembali pecah.

Kak Agam meraih tangan Kak Gea, kedua tangannya menggenggam tangan pucat adiknya itu. Wajah dia basah, kesedihan tergambar jelas pada wajah dewasanya. Lagi. Kak Agam kembali nangis saat dia membawa tangan Kak Gea ke pipinya.

Lalu... Gama, dia merosot di sisi meja Kak Gea, menahan tangis yang ingin pecah sampai dia harus mengembungkan pipinya dan meremas erat kaki meja.

•••

Malam ini di sinilah gue berada, di salah satu area santai rumah besar Gundopo. Lagi-lagi seorang diri dengan kotak hitam persegi dan selembar foto di tangan. Tas selempang biru, ponsel, jam tangan, dan tumbler yang juga warna biru.

Barang-barang itu punya Kak Gea yang ditemuin di TKP. Sesaat lalu polwan tertentu nyari orang yang namanya Adela buat kasih benda-benda itu. Gue rasa kenapa dikasih ke gue karena ada note kuning yang nempel di atas kotak hitam persegi yang tak lain kardus hp bertuliskan 'To : Adela'.

Agaknya Kak Gea beliin gue handphone dari hasil jual beberapa barang dia. Kata Bu Polwan, kotak hp ini ada di atas kasur, sisian langsung sama kaki Kak Gea yang menjuntai.

Gue memilih buka kotak hp yang udah nggak ada plastiknya ini, ngambil hp yang... yah, ini masih baru. Namun, sesuatu terasa mengganjal dan saat gue balikin hp, sebuah sticky note lain nempel di sana.

Pertarungan nggak akan selesai sebelum salah satunya mati, kan, Del? Bye-bye, Kakak Ipar. Emoji smile mengakhiri tulisan Kak Gea.

Gue meringis, agak merinding karena gimanapun juga gue sendirian di sini. Membongkar kotak hp karena siapa tahu ada note lagi, yang gue temuin ternyata nihil. Menyimpan kotak hp dan hpnya, gue beralih pada selembar foto yang katanya ditemuin tergeletak di lantai kosan. Polisi duga, foto ini adalah benda yang asalnya dipegang Kak Gea, dibawa Kak Gea sekarat sampai terlepas saat tangannya udah nggak lagi mampu memegang.

Gue memperhatikan foto itu, foto keluarga. Foto Gundopo saat Kak Gea dan Gama masih kecil. Mungkin sekitar 7 atau 8 tahunan. Senyum mereka lebar banget, pun dengan Kak Agam, Mama Tia, juga Pak Arya.

Membalikan foto, ada banyak tulisan di sana.

Tulisan pertama, barisan paling awal, tulisan yang beneran acak-acakan. Gue rasa ini ditulis saat Kak Gea kecil. Mungkin saat foto ini pertama kali dicetak. 

Gea dan 4 pahlawan

Yah, itu tulisannya. Namun, angka 4 di sana di coret dan di bawahnya ada tulisan lagi

Gea dan 3 pahlawan. (Mama suka nggak pulang, bukan pahlawan)

Tulisan itu juga masih acak-acakan, gue rasa ditulis nggak lama setelah tulisan pertama. Atau bisa aja berengan.

Lagi, angka tiga itu dicoret. Kali ini warna tintanya biru, bukan hitam kayak yang bagian atas. Tulisan yang ini udah pasti ditulis di hari yang berbeda meski tulisannya masih khas anak kecil.

Gea dan 2 pahlawan. (Papa suka mukul, bukan pahlawan)

Belum selesai, angka dua kembali di coret, di bawahnya ada tulisan yang jauh lebih rapi dan baik.

Gea dan 1 pahlawan. (Kak Agam sekolahnya jadi lama. Kalau sampai rumah juga belajar lagi. Nggak pernah main sama kami. Bukan pahlawan)

Lagi-lagi belum selesai, angka satu dan kata pahlawan dicoret dan dibawahnya ada tulisan lagi.

Gea dan keluarga.

Yah, selesai sampai di sana. Tulisan terakhir itu gue rasa ditulis saat Gama dan Kak Ruby mulai pacaran.

Hm, Gea dan keluarga, ya? Apa yang Kak Gea rasain saat dia nulis ini? Apa itu titik awal di mana Kak Gea menggila sampai mau bikin Adela B, Gama, Azriel, dan Kak Ruby menderita? Entahlah, Kak Gea udah nggak ada, pertanyaan itu nggak ada kesempatan buat terjawab.

Dari arah rumah, gue menangkap kehadiran seseorang, mendongak, dan Gama yang jalan pelan ke arah gue bisa gue lihat. Yah, wajahnya sembab, dia emang banyak nangis hari ini. Mengambil posisi duduk, dia peluk gue dari samping tanpa bicara apapun.

Beberapa saat hening, gue memutuskan bertanya, "Mama gimana?" Kondisi Mama Tia mengingatkan gue pada Bu Rinjani saat gue pulang ke bumi A hanya sebagai kesadaran dulu.

Melepaskan pelukan, Gama menjawab, "Mama nggak mau jauh dari Gea."

Yah, setidaknya dia pasti ingin terus sama anaknya sebelum pemakaman besok.

"Del," panggil Gama.

"Hm?"

Meski udah beberapa detik, tapi Gama yang manggil gue belum bicara apapun. Dia hanya menatap gue seolah cari keyakinan tentang sesuatu. Gue juga diam sampai akhirnya Gama bertanya, "Apa Lahana bakal marah kalau aku maafin Gea?"

Gue rasa Gama udah maafin Kak Gea. Yah, sebagai pribadi yang baik, memaafkan adalah hal yang benar. Gue sendiri juga bingung dengan apa yang gue rasain ke Kak Gea sekarang. Mungkin rasa kesal gue untuk dia sekarang tertutupi oleh duka. Mungkin, ketidaksukaan gue pada Kak Gea terbungkus oleh perasaan kehilangan. Gimanapun gue manusia, gue nggak mungkin biasa aja saat orang yang tinggal satu atap mendadak meninggal. Apalagi saat pertemuan terakhir kami benar-benar buruk.

Lalu, soal pertanyaan Gama barusan. Yah, Lahana itu anaknya, dia pasti menyimpan kebencian saat tahu Kak Gea orang dibalik meninggalnya Lahana. Namun, Kak Gea juga adiknya, ada segudang rasa sayang Gama buat Kak Gea. Mungkin kalau kejadiannya saat Lahana udah hadir, saat Lahana udah bisa keluarin kata Papa dari mulut kecilnya, saat Lahana udah saling menggenggam sama Gama, kebenciannya pada Kak Gea akan jauh lebih besar, konflik antara keluarga pun akan jauh lebih dahsyat daripada kemarin, dan untuk memaafkan Kak Gea akan jauh lebih sulit bagi Gama. Namun, nyatanya nggak gitu, Lahana meninggal saat Gama belum sempat melihat wujudnya, saat Lahana bahkan belum sempat membuka matanya. Dan... mungkin karena itu rasa sayang Gama mengalahkan kebenciannya pada Kak Gea. Saat pulang dari taman hiburan dulu, Gama mengatakannya sendiri kalau saat itu Kak Gea segalanya bagi Gama.

"Kalau Lahana nggak pergi, dia pasti tumbuh sebaik ibunya. Memaafkan Kak Gea bukan kesalahan, Kak, itu hal yang baik. Mungkin, dengan itu kamu bisa lebih lega." Pun dengan gue. Setelah ini, kalau setelah ini gue masih menyimpan ketidaksukaan atau bahkan kebencian pada Kak Gea, gue akan belajar caranya melebur itu. Caranya menghapus itu.

Terdiam sesaat, Gama berucap, "Makasih. Itu buat aku merasa lebih baik." Senyuman tipis Gama membuat gue jadi balas tersenyum.

Kak Gea, kalau kejadian di luar nalar seperti yang gue alami terjadi pada lo, gue berharap lo bisa menemukan pahlawan yang nggak akan pernah lo coret.

•••

04.07.2023

:)

Anti Romantic [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang