20. Kalau Kak Gama Hidup Kembali

1.1K 131 1
                                    

Yah, semuanya terjadi begitu aja. Gue nggak bisa terus diam di atas kasur karena Gama dan Mama Tia. Sekarang, dengan 0% niat, gue ada di dalam mobil. Katanya ini jalan-jalan biar kondisi gue bisa lebih baik.

Hanya memperhatikan keluar jendela, perasaan kosong yang gue rasakan semakin membesar. Saat itu, saat gue masih di bumi A, gue pernah melewati jalan ini sama bunda dan ayah. Saat kuliah gue juga pernah melewati jalan ini sama Mbak Nurul.

"Sebenarnya apa yang lo lihat dalam mimpi waktu itu?"

Suara Gama terdengar, dia yang duduk di samping gue dan harusnya sibuk menyetir malah bicara.

"Kematian. Gue. Bunda. Ayah," balas gue tanpa mengalihkan mata dari jalanan.

"Huh, gue bingung. Gimana caranya biar lo semangat lagi, Del?"

"Entah, gue nggak tahu."

Rasanya buruk. Gue ngerasa jadi orang yang buruk. Namun, gimana lagi? Masalah perasaan nggak bisa gue kendaliin.

Mobil Gama rasanya semakin menyisi, sesaat kemudian mobil ini berhenti. Suara halus sabuk pengaman Gama yang dibuka bisa gue dengar.

"Hadap sini, Del."

Menuruti kata Gama, gue bisa lihat dia juga menghadapkan dirinya ke arah gue.

"Apa yang lo mau hari ini?" tanya Gama.

"Enggak ada," balas gue karena memang itulah kenyataannya.

"Pasti ada. Lo itu manusia yang masih hidup."

Tapi gue udah mati...

"Ketemu ayah, bunda, dan Mbak Nurul," jawab gue karena mereka yang paling mendominasi pikiran gue selama ini.

"Oke. Sekarang ke rumah lo berarti," putus Gama. Namun, saat dia mau nyalain mesin, gue cegah itu. Nggak, gue akan menggila kalau ketemu bunda di saat begini.

"Jangan, Kak, tolong. Kita ke tempat lain aja," ucap gue.

"Ke mana?"

"Terserah Kakak."

Argh, diri gue, gue ingin diri gue yang dulu kembali lagi!

•••

Taman... bermain? Huh, tempat yang mengingatkan gue sama ayah.

Gama udah turun dari mobil. Sekarang dia memutari mobil dan buka pintu di samping gue. "Turun, Del," titahnya yang hanya bisa gue turuti. Bagaimana pun gue yang bilang terserah Gama mau ajak gue ke mana.

"Ruby sama Gea suka yang beginian. Lo juga, kan?"

Entah, meski ayah adalah pemilik dari beberapa taman hiburan, tapi gue hanya pernah sekali ke tempat semacam ini. Terlalu menakutkan, dunia luar terlalu menakutkan.

Kami berhasil masuk ke taman hiburan setelah menukar tiket dengan gelang yang sekarang melingkar di tangan kiri.

Tepat setelah masuk, ada sebuah toko aksesori dan Gama masuk ke sana. Pilih-pilih topi dan tanpa lama beli itu. Dia pakein topi warna hitam ke kepalanya sendiri, kemudian topi warna putih dia pasang di kepala gue. Cukup berguna, tapi gue nggak peduli.

"Nggak asik lo. Ini tempat kebahagiaan beterbangan, Del. Senyum, ayo senyum." Gama yang emang lebih tinggi dari gue, mensejajarkan tinggi kami dengan menekuk kakinya.

Percuma, meski gue berusaha, gue nggak dalam keadaan untuk bisa senyum.

Menyerah, Gama kembali tegak, tepuk-tepuk ujung topi gue, kemudian tuntun gue pergi dari depan toko. Seolah budak tak berdaya, gue hanya memilih ikut Gama tanpa mau protes apa-apa. Argh, diri gue! Gue mau kembali ke setelan pabrik. Gimana caranya?

"Lo suka apa?" Di depan, Gama tanya dan gue hanya natap punggung berlapis outer hitam trendynya.

"Biasanya buat pemanasan naik yang ringan-ringan."

Gue menghentikan langkah dan itu buat Gama juga berhenti. Dia noleh ke belakang tanpa melepaskan genggamannya.

"Kak, boleh tanya sesuatu?" Kembali pada diri gue sendiri adalah prioritas.

Gama menghadapkan seluruh tubuhnya ke arah gue dan itu membuat dia akhirnya melepaskan tangan gue. Sedikit menengadah, gue bertanya, "Kalau Kak Gama sekarang meninggal dan hidup lagi di dunia yang sama sekali berbeda, apa yang akan Kakak lakuin?" Kembalinya diri gue, gue harap Gama bisa memberi tahukan caranya.

Meski butuh jeda beberapa detik, Gama akhirnya jawab, "Pertama, gue nggak mau mati sekarang. Tapi kalau semisal itu kejadian dan gue tiba-tiba hidup lagi di dunia yang berbeda, hm, gue, ya, akan tetap hidup. Awal-awal pasti sulit, tapi kalau gue menyia-nyiakan itu gimana gue bisa minta maaf sama jutaan orang yang ingin hidup bebas tapi punya keterbatasan. Berbaring di ranjang karena sakit, orang-orang yang nggak bisa menikmati waktu luang karena tuntutan dunia, orang yang harus menebus kesalahan mereka dengan berdiam di balik tembok atau jeruji, dan lain-lainya. Selama gue hidup, menikmatinya adalah tugas gue."

Selama gue hidup, menikmatinya adalah tugas gue, ya? Selama gue hidup, menikmatinya adalah tugas gue. Menarik napas dalam, gue menghembuskannya perlahan lewat mulut. Oke, Del, ayo senyum! Lo harus kembali meski sulit.

Sampai beberapa hari lalu gue juga menikmati itu, gue bahkan bermain peran seolah masuk ke tubuh orang lain hanyalah lelucon badut. Yah, gue akui, gue melakukan itu karena takut. Gue melakukan itu agar bisa menghibur diri dan bertahan. Namun, saat ledakan kenyataan telah sampai di otak gue, gue kesulitan. Namun, nyatanya gue masih hidup, gue masih diberikan hak spesial untuk menginjak tanah, melihat langit, rasain angin, dan hidup bebas. Hak yang diinginkan jutaan orang tapi tak bisa mereka dapatkan. Yhah, ternyata gue bodoh, hal semacam itu aja sulit untuk gue pahami meski gue selalu membanggakan title gue sebagai penonton, pembaca, dan pendengar kisah fiksi dari berbagai belahan dunia. Hah? Transmigrasi? Itu... hal yang lumrah.

Gue membenarkan topi, kali ini gue yang raih tangan Gama, berlari di depan dia dengan perasaan yang mulai lega. "Hal pertama yang harus dilakukan itu... komidi putar!"

•••

07.04.2023

Anti Romantic [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang