(Author POV)
Hujan deras turun secara tiba-tiba di malam hari ini. Pengunjung kedai ramen yang sudah datang sebelum hujan memilih berdiam diri lebih lama di tempat ini karena mungkin terlalu malas untuk membiarkan tubuh mereka basah oleh hujan.
Di balik counter table, seorang perempuan dengan celemek hitam bertuliskan nama kedai berukuran kecil di bagian atasnya menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma yang menyeruak sebelum dia menghembuskannya sekaligus. "Bau hujannya sampai ke sini," ucapnya.
"Bau hujan matamu, yang kecium cuma bau ramen aja tuh," sahut perempuan lain dari belakangnya.
Terkekeh kecil, perempuan pertama membalas, "Kalau dicoba, bau hujannya juga kecium, kok."
"Hm, SSA, suka-suka Adela," balas perempuan kedua yang kini telah berpindah posisi ke samping Adela.
Sesaat setelahnya dua orang perempuan dari luar tampak terburu-buru ke tempat ini, menepuk-nepuk lengan dan badannya sendiri guna menghempaskan air hujan sebelum mereka benar-benar masuk ke tempat ini.
Dengan senyum yang timbul, Adela berucap,"Selamat datang, Kak, mau makan di sini atau dibawa pulang?"
"Di sini aja, Mbak," balas salah salah satu dari perempuan itu yang membuat Adela menyodorkan buku menu.
Memilih-milih singkat, dua orang pelanggan itu menyebutkan apa yang ingin mereka pesan. Menerima bayaran, memberikan setruk dan kembalian, Adela tersenyum manis begitu membiarkan dua pelanggan pergi dari hadapannya.
"Huh...."
Helaan napas yang dia dengar membuat Adela melirik ke sampingnya. Tempat di mana sahabat sekaligus rekan kerjanya berdiri. "Kenapa, Ray?" tanyanya.
Naraya, perempuan itu tersenyum kecut sebelum membalas, "Wajah gue separah itu, ya, Del? Dua orang tadi lihatin gue nggak enak banget."
Ahh, kalimat seperti itu lagi. "Yang jerawatan bukan cuma kamu, Ray," ucap Adela.
"Lo yang cantik dan mulus nggak akan ngerti apa yang gue rasain, Del." Menegarkan dirinya, Naraya membentuk senyum terbaik yang dia miliki. "Dahlah, gue ngambil pesanan dulu," paparnya menepuk bahu Adela sebelum menghilang ke belakang.
•••
"Argh, kemarin hujan sekarang panasnya minta ampun. Cuaca punya masalah apa, sih?" Menempelkan es krimnya yang masih berbungkus pada leher, Naraya tak henti-hentinya mengeluhkan soal cuaca siang ini.
Di sampingnya, Adela tertawa kecil, menjilat es krim yang baru saja dia buka sebelum membalas, "Sabar, Ray, sabar. Lagian di sini lumayan sejuk, kok, banyak pohon soalnya."
"Tapi panasnya tetap nggak masuk akal," rengek Naraya membuka es krimnya.
Kini, dua perempuan itu tengah berada di taman, memandangi danau buatan milik kampus tempat mereka menempuh pendidikan seraya menikmati es krim guna mengisi waktu di sela-sela waktu luang sebelum menghadiri kelas 30 menit mendatang.
"Ah, iya, Del, lo katanya satu SMA, ya, sama Gea Rurian anak fakultas hukum," tanya Naraya tiba-tiba.
Mendengar nama Gea, Adela berhenti menjilati es krimnya. Gea, ya? Nama itu membuatnya nostalgia. "Iya, kenapa gitu?" jawab dan tanyanya.
"Nggak ada hal penting, sih, cuma akhir-akhir ini gue sama dia beberapa kali ngobrol."
Adela menganggukan kepalanya. "Jauh, ya, kamu mainnya sampai ke fakultas hukum," ucapnya.
Naraya menggidikan bahu. Setelahnya ekspresi aneh muncul di wajah bulatnya. "Astaga, gigi gue ngilu." Menekan rahangnya, dia kembali berbicara setelah lebih baik. "Kami ketemu di luar kampus. Dia emang asik, ya? Anaknya nggak membeda-bedakan. Meski gue jelek dan jerawatan dia ramah banget asli sama gue," paparnya.
"Kak Gea itu primadona waktu SMA. Sekretaris OSIS dan mayoret kebanggaan. Aku juga sempat ngobrol sama Kak Gea waktu SMA. Kak Gea emang ramah banget."
"Hmm, lo mau ketemu? Gue janjian main akhir pekan ini," tawar Naraya yang membuat Adela tanpa pikir panjang menggelengkan kepala.
"Nggak, nggak. Aku ngerasa nggak enak sama Kak Gea."
Naraya mengerutkan alisnya. Bingung dengan apa yang Adela katakan. Ingin bertanya pun tanpa diduga seseorang datang menghampiri mereka.
"Hai," sapa orang itu, Gea.
•••
(Adela POV)
Hm? Apa iya rasanya angin begini? Ada istilah belaian angin, kan, ya? Sejelas ini, kah? Maksud gue, gue kan ada di taman. Kak Gea mana, nih? Ah, nggak, bukan, gue barusan mimpi, ya? Iya, deh, itu mimpi. Gue ngerasain hangatnya selimut soalnya.
Hah, gue masih hidup. Eh, udah mati deng. Tunggu, sejak tadi apa, sih, yang gerak-gerak di kepala gue. Nggak mungkin ada ular, kan? Hehey, ini rumah Gundopo, loh. Bodo amat, deh, gue mau tidur lagi. Gue pengen tahu kelanjutan cerita di taman kampus itu. Lagian apa, sih, malah bangun di saat-saat terpenting. Tadi, kan, muncul Kak Gea, siapa tahu dari sana gue bisa nangkap segala macam maksud dan tujuan Kak Gea jadi orang paling nggak jelas yang pernah gue temuin.
Tu-tunggu! Hukum? Kak Gea anak hukum? Gue baru ngeh T_T. Negeri ini dalam kondisi bahaya omegat. Maksud gue, Kak Gea mau jadi apa dengan sekolah hukum? Jaksa, kah? Hakim? Nope, nopeee, big no🙅! Gawat kalau orang licik macem Kak Gea jadi begituan. GAHHH! Kak Gea kerja di perusahaan Gundopo aja, deh, lebih meyakinkan. Atau jadi diplomat aja. Iya, jadi yang begitu aja. Jangan sampai Kak Gea jadi jaksa😭. Astaghfirullah, gue merasa jahat. Maaf-maaf, pemikiran spontan itu ◉‿◉.
Gara-gara mikirin masa depan negeri, kantuk gue jadi ilang. Tapi ini sejak tadi apa, sih? Beneran ada yang elus-elus kepala gue ini, mana barusan selimut gue dibenerin lagi. Entah kenapa hati gue jadi dag dig dug. Ayolah, Kawan, selain sama Bu Rinjani dan Pak Agandi gue nggak pernah diginiin.
Oke, tettttt! Tinggal buka mata aja apa susahnya coba? Yosh, Adela, sekarang buka mata lebar-lebar. Jangan malah buka sedikit aja.
"Del, lo bangun?"
Oh, nooooooooooo. Gama?! Apa? Ngapain? Kenapa dia malah tungguin gue tidur sambil elus-elus pala? Gue ini harusnya diceraiin ༎ຶ‿༎ຶ.
Gue bangun sekaligus dan awww, sial banget sekarang T_T. Pas gue bangun ini kepala malah nabrak dagunya Gama (╥﹏╥).
Gue sama Gama sama-sama mengaduh kesakitan. Fyi, gue bangunnya sekuat tenaga tadi.
"So-sorry." Gimanapun gue ini salah.
"Nggak apa-apa. Lo, apa sakit?" Ya, jelas sakit, lah, kalau nggak sakit ngapain tangan gue sekarang mendarat di ujung kepala.
"Lo ngapain di sini?" tanya gue setelah rasa sakit konyol ini reda. Gue sempat lirik jam tadi, ini jam 01.12, tengah malam, dan Gama dengan sangat mencurigakan ada di sini. Sejak gue lihat dia di kolam tadi, gue nggak ketemu dia lagi sampai gue tidur entah jam berapa.
"Del," panggil Gama. Nadanya nggak kasar, nggak dingin juga. Itu nada Gama kalau lagi mode protagonis. Setelahnya nggak ada angin nggak ada ujan, dia nyodorin hpnya ke arah gue dan gue mau nggak mau terima itu. Lihat layar hp yang nampilin room chat antara dia dengan Kak Ruby.
"Ruby putusin gue," ucap Gama yang dari suaranya kedengaran sedih. Heeee, meski begitu, apa urusannya sama gue?
"Terus? Itu urusan lo, bukan gue." Tolong ingat kalau gue ini lagi marah sama orang tolol satu ini. Tunggu, pesan ini dikirim jam sembilanan. Eh? Pagi tadi, kah? Apa ini alasan Gama nangbrut di kolam tadi? Wahh, dia ini beneran bucin sama Kak Ruby. Makannya, harusnya lo itu gugat cerai gue secepatnya tadi.
"Gue diputusin Ruby. Gue terluka, gue sedih, Del. Tapi rasanya gue akan tambah terluka dan sedih kalau ngelepas lo juga."
Sshhh. Merinding. Punggung gue merinding😱. Apa-apaan dia ini?
•••
16.04.2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Anti Romantic [END]
Teen Fiction"Astaga, adegan sinetron macam apa ini?!" Adela itu pengurung diri level tertinggi yang tidak berniat membuat kisah romansa di hidupnya. Sejak dulu julukannya adalah si 'anti romantic'. Dia cantik tapi malas mandi. Lalu, entah sebab apa si anti rom...