72. Pilihannya

431 76 2
                                    

"Morning."

Hal pertama yang gue dapetin sesaat setelah buka mata pagi ini adalah ucapan selamat pagi dari Gama lengkap dengan morning kiss dari orang yang sama. Nggak, tenang, cuma di kening, kok. Gue bakal banting dia sekuat tenaga kalau itu bibir jelek Gama mainnya mulai jauh.

Senyuman Gama mengembang, entahlah kenapa. Gue sekarang lagi bingung mikirin jerapah yang kepalanya ada di punggung. Kenapa, ya? Terus tadi gue ada ketemu sama seorang bapak-bapak buncit yang entah siapa. Dia pelihara selusin ayam, jual telurnya ke gue, dan gue beli itu. Namun, telurnya gede. Kayak telur burung unta. Gue nggak sanggup waktu makan satu biji telurnya ditambah sebungkus mie goreng instan. Jadilah gue berbagi sama Bu Rinjani dan entah gimana kelanjutannya. Hmm, kalau mimpinya nggak jelas macam gitu, pasti bukan ingatan, kan? Pasti bukan, deh.

"Mikirin apa, hm? Ada yang ganggu pikiran kamu?" Gue kembali ke kenyataan saat Gama tanya itu. Entah sejak kapan, itu si Gama udah usap-usap tangan gue yang dia genggam.

"Telur ayam yang paling gede itu... segimana?" Kenapa gue malah tanya itu, sih? Astaga, Del, kontrol mulut, oke? Pertama mikir, kedua bicara. Bukan sebaliknya.

"Sebesar ini mungkin," balas Gama menunjukan kepalannya yang lebih gede daripada kepalan tangan gue.

Entahlah kenapa, tapi pembahasan telur ayam berlanjut sampai beberapa menit. Berhenti saat telepon Gama berdering dan dia harus bangkit dari acara tidurannya.

Tiga hari lalu gue keluar dari rumah sakit dan sejak itu gue sama Gama tinggal di apartemen. Ayolah, setelah semua kejadian sinetron ini, mana enak kalau gue tetap tinggal di rumah Gundopo. Pstt, lagipula Gundopo sekarang bukan lagi Gundopo yang dulu.

Hmm, hari-hari gue berjalan baik. Sangat baik malah. Nggak ada plot sinetron lagi yang menghampiri hari-hari damai gue. Gama juga baik-baik aja, dia kelihatan ceria meski kejadian besar terjadi di keluarganya. Terus, apa, ya? A, yang paling sibuk adalah Mama Tia. Setelah kejadian di ruang rawat  waktu itu, dia melaporkan Pak Arya atas tindak KDRT ke kepolisian setempat sekaligus menggugat cerai dia. Kasian, loh, Mama Tia, dia diuber-uber wartawan ke sana ke sini. Poin lucunya, pernah suatu hari Mbak Siska sembunyi di ruang rawat gue gara-gara dikejar-kejar wartawan. Aneh banget nggak, sih? Maksud gue, dia harusnya lari ke tempat lain karena gue sama sekali bukan sekutunya. Namun, yah, waktu itu gue diemin aja. Mau cepu ke wartawan pun rasanya males.

Kata Gama, waktu Gama masih SMP, Mama Tia juga pernah gugat cerai Pak Arya, tapi berhenti di tengah jalan. Namun, kalau yang ini, gue rasa Mama Tia udah bulat sama keputusannya. Pak Arya sendiri entah gimana kabarnya, yang gue dengar dari acara gossip, dia sempat nggak hadir waktu dipanggil polisi. Entahlah sekarang udah pernah memenuhi panggilan apa enggak, gue nggak tiap saat nonton gossip soalnya.

OniGea. Antagonis utama dalam kisah gue. Hmm, Kak Gea kena gegar otak ringan setelah dianiaya sama ayahnya malam itu. Informasinya gue dapat dari Mama Tia sehari setelah malam itu. Segala macam fasilitas dia dibekuin sama Pak Arya sampai akhirnya Kak Gea cosplay jadi mahasiswi kere dengan lebam di seluruh tubuh.

Gue sempat bahas soal Kak Gea sama Gama, dia tanya apa yang seharusnya Kak Gea terima karena dia sendiri sadar kejahatan Kak Gea nggak bisa disebut ringan. Yang paling mengerikan adalah soal Lahana. Omong-omong, hubungan Gama-Gea jadi agak buruk setelah itu, Kak Gea dan Gama sama-sama saling menghindari karena luka masing-masing. Yah, meski begitu gue tahu, rasa sayang Gama tetap ada buat Kak Gea. Kelihatan soalnya waktu dia bicarain soal Kak Gea.

Nah, gue belum pernah ketemu sama Kak Gea sejak di rumah sakit. Dia nggak ada datang buat minta maaf atau apapun itu. Namun, Mama Tia datang dengan derai air matanya. Dia bersimpuh di depan gue. Iya, ber.sim.puh! Gue jelas buru-buru bangunin Mama Tia, tenangin beliau yang benar-benar kelihatan kacau dengan luka di wajah cantiknya.

Anti Romantic [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang