06. Perpisahan Kami

1.9K 212 3
                                    

Hikseu, jujurly, rasanya sedih banget lihat Bu Rinjani dengan tampilan kayak gini. Maksud gue bukannya apa-apa, ya, gue nggak ada maksud buruk atau menyinggung pihak-pihak tertentu. Namun, Bu Rinjani yang gue kenal selalu fress dan tampak bisa menggapai apa saja. Nah, saat gue lihat Bu Rinjani dengan versi yang berbeda, gue sakit hati, dong. Gue ngerasa gagal jadi anak.

Singkat cerita setelah nangis sepuas jiwa, gue diajak bunda buat masuk, dijamu sedemikian rupa seolah gue adalah tamu. Hm, padahal, kan, gue Adela. Meski Adela A, sih. Namun, tetap aja harusnya Bu Rinjani B ini nggak tahu gue Adela A.

Omong-omong, setelah pelukan sama bunda, gue ngerasa kayak pulang. Benar, ya, kata anak senja, rumah itu bukan soal di mana, tapi siapa. Buktinya gue, rumah ini sederhana, jauh beda kalau dibanding rumah gue dulu, tapi semuanya nyaman. Terasa familiar selama ada bunda di sini.

Gue sekarang lagi duduk di meja makan. Di hadapan gue ada sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya. Agak kecepatan, sih, buat makan malam, tapi nggak masalah, gue juga udah rindu sama masakan bunda. Eh, tapi agaknya ada yang aneh. Maksud gue, ada sepiring nasi juga di hadapan bunda. Artinya kami akan makan malam bersama, kan? Kenapa bunda bisa begini, ya? Harusnya, kan, nunggu ayah.

"Bunda," panggil gue sepenuhnya memberikan fokus pada Bu Rinjani B yang 85% mirip sama Bu Rinjani A. 15% sisanya adalah selera humor dan kerandoman Bu Rinjani yang seolah ilang seperti akhlak Gama.

"Kenapa, Sayang?" tanyanya.

"Nggak nunggu ayah?" Mengingat Adela B udah nikah, kesempatan semacam ini berarti jarang. Nah, bukannya lebih baik nunggu Pak Agandi pulang dan makan bareng bertiga? Seperti di bumi A.

Namun, entah kenapa gue nangkap keterkejutan dari bunda. Dia menatap gue aneh, kemudian tanya, "Adela, kenapa kamu ngomong gitu?"

Heee? Pertanyaan tadi normal, kan?

"Emangnya kenapa, Bun? Kita, kan, harusnya makan bareng," ucap gue. "Apa ayah ada lembu──"

"Ayah kamu udah meninggal, Del."

Hah? Bunda pasti bercanda. Candaannya horor banget, sih, Bun. Mengapresiasi bunda, gue terkekeh kecil. "Bercandanya bunda nyeremin," komentar gue.

"Berhenti main-main Adela!" Loh, kok? Heee, kenapa Bu Rinjani marah-marah begini? Yang main-main, kan, bukan Adela.

Tanpa sakit hati sedikitpun, gue ketawa. Lucu aja karena bunda acting marahnya meyakinkan banget. Yosh, harusnya bunda jadi aktr── eh, jangan, deng, nanti Bu Rinjani terkenal dan gue susah ketemunya.

Brakkk

Baru saat bunda gebrak meja, gue terdiam. Lihat sorot mata bunda, gue sadar kalau marahnya itu bukan sekedar acting.

"Kamu ketawain kematian ayah kamu? Anak macam apa yang kayak gitu? Adela, ayah kamu mati 12 tahun yang lalu!"

Bunda pergi dari meja makan, ninggalin gue sendirian yang meski mood makan gue udah hilang, gue tetap ngambil sendok dan masukin nasi ke dalam mulut. Kenapa rasanya sakit, ya? Dada gue sesek.

Sepiring nasi telah habis gue telan, taplak meja di depan gue agak basah, menjadi alas bagi tetesan air mata yang entah sejak kapan netes di sana. Rasanya wajah gue hangat, gue juga kesulitan napas. Kayak ada sesuatu yang menghambat hidung gue bekerja. Parahnya gue juga nggak bisa berhenti terisak, dada gue sampai sakit karena itu. Ayah....

•••

Setelah menenangkan diri, gue menghadap bunda, meminta maaf, dan meminta bunda memberikan penjelasan soal kenapa ayah meninggal meski gue tahu itu bisa buat bunda terluka. Namun, gue tentu harus tahu tentang itu agar gue bisa bertahan di tempat ini.

Bunda tentu aja heran, tapi dengan seribu jurus nipu gue, gue berhasil keluar dari situasi berbahaya tadi. Nggak enak, sih, bohongin bunda, tapi masa iya gue harus jujur kalau gue Adela A dari dunia lain? Bunda bisa kejang berat kalau tahu.

Dari pembicaraan gue dan bunda tadi, gue akhirnya paham, paham kenapa Adela B seperti sekarang dan kenapa bunda nggak tinggal di rumah yang sama dengan bumi A. Titik dimana gue dan Adela B berpisah tidak sependek yang gue kira. Nyatanya kami sudah berbeda sejak hari kami dilahirkan. Titik perpisahan kami dimulai dari ayah. Usaha ayah di dunia ini tak selancar usaha ayah di dunia A. Di bumi B, perusahan yang ayah dirikan bersama teman-teman kuliahnya harus gulung tikar satu tahun setelah pernikahan ayah dan bunda. Sejak itu ayah terus berusaha untuk kembali bangkitin perusahaan meski pada akhirnya gagal. Saat usia gue 3 tahun, ayah divonis punya penyakit jantung, 7 tahun kemudian ayah nggak bisa bertahan dan pergi ninggalin gue sama bunda.

Gue di dunia ini bukan anak tunggal kaya raya Agandi, artinya kejadian buruk itu nggak terjadi dan itulah yang membuat Adela B sangat berbeda dari gue. Adela B tumbuh seperti anak kebanyakan, bukan anak yang dari kecil udah memikirkan supaya nggak usah keluar untuk kerja nanti. Itulah kenapa Adela B dipertemukan dengan Gama, jatuh cinta dengan Gama, dan bahkan terlibat insiden berat dengan cowok itu.

•••

30.03.2023

Anti Romantic [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang