66. OMONAK!

493 84 7
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Uhh, tenggorokan gue rasanya kering. Akhir-akhir ini setiap kali gue bangun tidur, tenggorokan gue pasti nggak enak. Nyaris sakit bahkan. Hmhmhm, tapi nggak apa-apa, gue masih hidup soalnya. Apakah ini yang dinamakan hidup untuk kali ketiga? Apa sebenarnya gue punya skill immortality, ya?

Mata gue udah terbuka sekarang, eh, sejak tadi, deng. Lirik ke arah sofa, Mbak Nurul dan bocil Elfan juga udah bangun. Yah, mereka biasa bangun tengah malam, sih, mungkin mereka udah bangun dari lama. Mungkin, ya, gue bukan dukun soalnya (。•̀ᴗ-)✧

Semalam, nggak lama setelah Gama pergi, Mbak Nurul datang dengan Elfan di sampingnya. Gue yang panggil dia, minta tolong Mbak Nurul buat temenin gue sekaligus buat usir Gama kalau-kalau dia nekat datang tanpa bawa cara buat minta maaf sama Adela B yang udah nggak ada.

Jujur, sih, gue agak sakit hati── stop, stop, stopeeee🙅!! Jangan dulu bahas cinta. Gue malu. Gue barusan mengenang pengakuan gue sama Gama dan ಥ‿ಥ KENAPA BISA GUE BILANG GITU?! Oke, lupakan! Pergi! Hus! Hilang dari pikiranku wahai ingatan jelek.

Ini jam 07.20, pintu kamar gue dibuka dan pramusaji lengkap dengan trolinya memasuki ruangan ini. Menyapa dengan hangat dan mulai menyajikan sarapan buat gue. Tenang, Mbak Nurul dan Elfan juga dapat. Gue jadi iri, mereka bisa pesan apapun yang mereka mau, tapi gue harus makan sedikasihnya. Patah hati ini༎ຶ‿༎ຶ.

"Wahh, enak, ya, jadi Kak Deldel, makanannya datang sendiri." Itu... Elfan. Semalam, waktu datang juga dia ngomong sesuatu yang buat gue pengen jungkir balik.

Woah, kalau aku sakit kayak Kak Deldel, tidurnya di tempat kayak gini juga, ya?

Kayak── sedih banget gue waktu dia ngomong gitu. Bagi dia yang terbiasa tidur di atas kardus bekas, kasur rumah sakit pasti kelihatan mewah. Padahal, bagi gue ini cuma brankar sempit doang. Maksudnya, ya, oke, ini bisa dipake buat tidur dua orang, tapi, kan, biasanya kasur yang gue pake di rumah ukurannya lebih dari ini.

Semalam gue sempat tawarin Elfan buat tidur sama gue, dia udah semangat mau naik, tapi Mbak Nurul cegah itu. Dia bilang Elfan kotor, nggak baik kalau tidur sama gue. Astaga, padahal gue beneran nggak keberatan. Namun, yah, Mbak Nurul tetap bersikeras hingga Elfan akhirnya tidur di sofa aja sama dia.

"Lo kenapa masuk rumah sakit?" Setelah acara sarapan udah selesai, Mbak Nurul tanya itu. Dia lagi ada di sisi kanan gue, lagi lihat luar dari kaca jendela. Elfan sendiri udah keluar, entahlah dia ke mana. Padahal masih kecil, tapi keluyuran seorang diri udah biasa buat anak itu. Mbak Nurul juga nggak kelihatan khawatir.

"Tenggelam," balas gue. Entahlah ini bohong apa jujur, gue emang tenggelam soalnya.

"Kenapa minta gue ke sini? Ada suami lo, kan?"

Gue jadi meringis. Errr, nggak biasanya Mbak Nurul B kepo soal gue. "Ada masalah dikit," balas gue dan untungnya Mbak Nurul nggak tanya lebih lanjut. Dia malah asik perhatiin keluar jendela dan gue sendiri milih baca buku. Siang nanti gue disuruh belajar jalan. Rehabilitasi bahasa kerennya dan gue cukup bersemangat. Ayolah, meski gue suka rebahan, tapi kalau lemes tiap jalan, gue ogah juga. Lagian gue harusnya nggak kenapa-kenapa, tapi bisa-bisanya jadi gini. Astaghfirullah, nggak boleh nyalahin keadaan.

Gue dengar pintu dibuka dan OMONAK! Jantung gue kayak didobrak dari dalam karena ada Gama di sana. Masih pagi, loh. Jujur, gue agak grogi. Gimana, ya? Aneh aja rasanya. Kek, kek, kek, ah, pokoknya gitu!

"Maaf, Mbak, boleh tinggalin aku sama Gama sebentar? Maaf banget aku nyuruh, tapi kalau aku panggil Mbak, Mbak masuk lagi, ya?" Gue beneran nggak enak bilang gitu, tapi gue benar-benar butuh bantuan Mbak Nurul.

Tanpa ngomong apa-apa, Mbak Nurul keluar sampe gue beneran hanya berdua sama Gama. Oh, gawat! Atmosfernya jadi aneh. Hawa-hawanya jadi dingin, loh, affakah tempat ini penuh Mas Pocong? Astaghfirullah.

Sepeninggalan Mbak Nurul, gue lanjut baca buku. Bahkan, meski Gama udah duduk di tepi ranjang pun gue tetap baca buku. Sebenarnya bukan baca, sih, cuma lihatin. Susah, heh, mana bisa gue baca kata-kata di buku ini kalau gue aja lagi deg-degan. Bukan gara-gara Gama, tapi gara-gara apa yang dia bawa. Maksud gue, kalimat apa yang dia bawa.

"Sarapannya abis?" Dasar orang Indonesia! Suka banget basa-basi.

"Lo demensia? Lupa apa yang gue bilang semalam?" Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah, maafin Adela, Ya Allah yang jutek sama suami. Kalau nggak gini gue takut selamanya Gama bakal terjebak. Gini, loh, maksud gue, masalah video bisa aja gue lupain setelah kasih dia rekaman, setelah dia tahu kalau Kak Gea dalangnya. Namun, apa dengan itu selesai? Apa dalam lima tahun ke depan situasi yang mirip nggak akan terulang? Kalau terulang dan Gama masih merespon itu seperti sekarang, gue yang akan rugi. Siapa yang tahu perasaan gue tumbuh sedalam apa dalam lima tahun, bisa gawat kalau hati gue yang serapuh kaca ini hancur berantakan.

"Soal rekaman──"

"Gue cuma mau denger cara lo minta maaf sama Adela lama, bukan bahas rekaman atau apapun itu." Memotong kalimat Gama adalah jalan ninjaku! Rasengan!

Gue masih lihatin buku, jadi gue nggak tahu gimana respon dia, tapi kayaknya dia sedih, deh. Sowry, Gama-kun, gue juga sedih harus sampe begini gara-gara Anda. Argh! Kalau aja gue nggak ci-ci- cin── CINOR LESTE!! Pokoknya gitu, deh! Kalau gue nggak punya perasaan mengerikan ini sama Gama, semuanya pasti lebih mudah. Gue nggak akan peduli apapun soalnya kalau gue masih Adela satu tahun lalu.

"Cara minta maaf sama Adela lama, aku rasa..." Oh, wow, pake gantung-gantung segala.

"Dengan bahagiain kamu?" Gue tahu, dia pasti nggak yakin dengan jawaban itu. Gue nangkap nada tanya soalnya.

Gue menutup buku agak keras, akhirnya natap mata sayunya Gama. "Gue mau dibahagiain sebagai Adela baru, bukan Adela lama. Jawaban lo barusan cukup kurang ajar." Gue bisa bahagia sendiri buat Adela B.

Gama kayaknya kaget, dia pasti ngerasa bersalah sekarang. Ya, gimana, ya? Dia pasti bingung caranya minta maaf sama orang yang udah nggak ada.

"Kalau nggak tahu caranya, pergi dari sini. Gue nggak punya tenaga buat teriak manggil Mbak Nurul dan minta dia seret lo, jadi, kalau lo peduli sama gue, pergi baik-baik bisa, kan?" Gue bohong, sih, gue kayaknya mampu buat teriak. Namun, malu kalau beneran harus teriak. Semoga aja Gama ini pengertian.

Senyuman tipis Gama bisa gue tangkap, tangan kanannya naik, agaknya mau usap kepala gue, tapi malah berhenti di udara. Kembali turunin tangan, dia berdiri. "Aku pergi dulu. Fokus sama pemulihan kamu, ya?"

"Hm." Affakah gue sebenarnya cewek kul? Respon gue hm doang, loh, hm doang.

•••

14.05.2023


Kalau aku menemukan 5 biji komentar panjang di sini tentang cuap-cuap kalian soal Anti Romantic, besok aku double up (~ ̄³ ̄)~
---

Ayo follow Instagramku agar aku senang.

Ig : Esqueen_12

Anti Romantic [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang