Di sini,
Di batas kota ini~~
Ingin kutuliskan surat untukmu~~
Biar engkau mengerti~~
Perjalanan hidupku~~
Di dalam menggapai cita-cita~~~~Hm, alhamdulillah untuk kesekian kalinya gue masih bangun dan hidup. Gue sama Gama betul-betul nggak pulang semalam. Setelah Gama masakin mie instan dengan ekstra telur, kami kembali tidur dan bangun-bangun subuh ini. Namun, hmmmm, gue kangen Pak Agandi. Gue keinget lagu lawas yang selalu diputer Pak Agandi. Gue ingat saat kecil gue dan ayah bunda pergi ke nikahan om gue dan sepanjang perjalanan Pak Agandi puter lagu-lagu jaman dulu😭😭😭. Gimana, nih, gue kangen bokap gue.
Omong-omong subuh ini gue dapet. Hm, kalau abis keguguran bisa haid lagi, ya? Tapi gue emang udah lama di sini, nyaris dua bulan (?) Apa lebih, ya (?) Ah, bodo, lah, karena absen sholat gue mending kembali memejamkan mata. Siapa tahu bisa ketemu ayah di mimpi, kan, ya? ಥ‿ಥ.
TAPI NGGAK BISA TIDUR!!
Wajar, sih, gue tidur awal banget semalam. Sekarang gue ngapain? Lihat Gama juga dia masih tidur. Hm, hm, him, ham, hum, joget badut? Nope, nanti gue bocor. Lagian gue nggak pernah joget badut kalau ada orang lain.
"Gam, Gam." Gue tusuk-tusuk lengan dia. Pengen gampar Gama biar langsung bangun, gue sadar itu nggak sopan •́ ‿ ,•̀.
Gama melenguh, perlahan matanya yang tertutup mengerjap. Menyesuaikan mata dengan pencahayaan, Gama akhirnya berkata, "Apa?" Suaranya serak, khas banget orang yang abis bangun dari tidur nyenyak.
"Beliin gue pembalut mau nggak?" Bukannya apa-apa, tapi gue pengen lihat seberapa jauh Gama bisa nurutin mau gue. Kalau di fiksi-fiksi, kan, cowok selalu ogah kalau disuruh beliin barang kayak gitu. Yang mau palingan cuma cowok yang udah jatuh cinta sama si protagonis. Nah, sekarang gimana sama reaksi si mantan antagonis satu ini.
"Pembalut, ya? Sebutin aja merk dan ukurannya. Gue nanti beli kalau udah pagi."
?! Kok mudah banget. Mana kayak profesional gitu lagi.
"Nggak perlu melotot, Del, Gea udah sering disuruh Gea beli pembalut," ucap Gama tutup mata gue pake telapak tangannya. Hih, Kak Gea bikin keseruan gue hilang aja. Bisa-bisanya suruh kembaran beliin pembalut, kayak nggak punya kaki aja.
"Gue hari ini mau ke kosan Naraya, Kak," ucap gue. Ngasih tahu aja, sih, biar gue kelihatan jadi istri yang berbakti. Bohong, deng.
"Lagi? Gue temenin boleh?"
"Nggak perlu." Ogah, jeeee, gue lebih suka sendiri.
"Lebih hemat kalau pergi sama gue." Masalahnya, si Gama ini kaya. Kekayaan Yang Mulia Arya aja udah banyak, ditambah hasil jual karyanya dia bukan sekedar satu-dua juta. Ongkos taksi bolak-balik nggak akan bikin Gama bangkrut.
"Pengen sendiri," balas gue jujur. Hohoho, kalau udah begini jangan maksa, Gama-kun.
"Yaudah kalau gitu. Tapi pulangnya bilang gue, ya? Biar gue jemput." Pengen banget, sih, gangguin gue. Namun, ya, gue memilih mengangguk biar cepat.
•••
Di sinilah gue berada di pagi yang mendung ini. Depan kamar kos Naraya yang pintunya sedikit kebuka. Kalau gini nggak mungkin zonk lagi, kan?
Ketok pintu kamar kos Naraya tiga kali, orang yang gue cari akhirnya memunculkan diri. Dari pakaiannya, sih, dia kayaknya mau keluar. Kuliah, kah?
"Ngapain lo ke sini lagi?" tanya Naraya jutek. Dia nggak ngerasa bersalah sedikit pun apa sama Adela B?
"Boleh masuk? Nggak enak kalau ngobrol di depan pintu." Mungkin gue kedengaran nggak sopan, tapi, hey, kalau sampai kami adu mulut di sini, nanti bisa malu sama para tetangga. Meski kadang kelepasan, tapi gue sungguhan nggak suka kalau jadi bahan tontonan. Berasa jadi doger monyet nanti ( ̄ヘ ̄;).
"Lo mending pergi, Del, gue muak lihat muka lo." Kejam syekalih itu lambe.
Naraya mau tutup pintu, tapi gue secepat kilat tahan itu pake tangan. "Kenapa bisa Kak Gama yang terlibat? Rencana lo?" (༎ຶ ෴ ༎ຶ) Gue nggak bisa jaga gaya bicara.
"Gama? Aah, mantannya Ruby. Kebetulan. Nggak lebih." Naraya terus berusaha tutup pintu, tapi gue juga terus berusaha tahan itu.
"Kalau kamu punya sedikit aja rasa bersalah, tolong kasih tahu aku, Ray. Apa itu rencana Kak Gea?" Langsung pada intinya aja. Gue benar-benar harus tahu soal itu.
"G-gea? Del, l-lo... lo..." Wow, nadanya mulai goyah. Jujur aja, sih, Naraya, ingat kalau kebenaran pada akhirnya akan terungkap. -by drama.
"Kamu ngancurin hidup dua keluarga yang nggak salah apa-apa. Kamu buat seseorang kehilangan masa depan dan mimpinya dengan ulah pengecut kamu itu, Ray. Pernah nggak, sih, kamu mikir perasaan dua keluarga itu? Gimana perasaan keluarga kamu kalau kamu ngalamin hal kayak aku." Memang cupu nyerang orang dengan keluarganya, tapi hal itu adalah cara paling ampuh. Bodo amat itu cara cupu atau bukan, gue hanya ingin Naraya jujur dan bisa ngakuin kesalahannya. Sebenci-bencinya dia sama seseorang, nggak seharusnya dia lakuin hal bejad kayak gitu. Ayolah, pemerkosaan bukan hal yang bisa disebut konyol. Itu masalah serius meski ditengah rusaknya generasi sekarang.
"Tolong, Ray, tolong bilang kenapa harus Gama? Kenapa harus Kak Gama yang masuk kamar itu hari itu?" tanya gue lagi.
"GUE NGGAK TAHU! Jangan ganggu gue lagi, Adela!" Naraya beneran teriak. Gue harap nggak ada tetangga yang keluar dan perhatiin kami.
Tenaga gue kalah dari Naraya karena orang itu berhasil banting pintu hingga tertutup. Nyerah? Oh, belum saatnya.
"Tahu nggak, sih, gimana perasaan aku saat tahu kamu jahatin aku, Ray? Aku sedih karena nggak peka lebih awal soal perasaan kamu. Harusnya aku sadar kalau kamu terluka setiap kali sama aku."
"Maaf, ya, Ray. Aku emang marah karena kamu jahat banget, tapi kamu tetap sahabat aku."
"Maaf juga tadi udah bicara kasar. Aku kebawa emosi karena kasian sama Kak Gama yang terlibat padahal dia nggak salah apa-apa."
Manfaatin Gama di situasi begini agaknya bakal bagus.
"Seperti yang kamu tahu, Kak Gama putus sama Kak Ruby. Itu salah aku. Harusnya aku diam aja saat tahu hamil, harusnya aku nggak ngaku saat Mama Tia dan Kak Gea datang ke rumah."
Kalau aja gue bisa nangis, pasti semuanya lebih bagus ಥ‿ಥ. Namun, semoga aja Naraya bisa luluh dengan ini. Harus, dong, harus luluh. Gue udah cosplay bagus sebagai Adela B.
Meski gue pake sepatu, tapi gue bisa merasakan sesuatu yang menabrak ujung sepatu depan gue. Menunduk, gue lihat setumpuk sticky note ada di sana. Yosh, kayaknya itu dari Naraya. Tanpa berlama-lama, gue pun merunduk, ngambil benda warna kuning dan hijau itu dan baca tulisan yang tertera di atasnya.
Maafin gue, Del. Gue sejak dulu sadar gue salah. Maaf.
Kalau gitu ceritanya, kenapa saat ketemu dia galak amat sama gue? Affakah itu yang dinamakan dengan malu mengakui? Namun, bagus, sih, harusnya emang begini. Harusnya Naraya sadar kalau perbuatannya itu keji. Penyesalan adalah siksaan paling berat yang gue sadari.
Lihat note selanjutnya, gue nggak bisa untuk nggak marah. Ada, ya, orang kayak gini? Gue bener saat bilang dia setengah nggak waras.
Hati-hati, Gea nggak sebaik yang kita kira.
Kalau lo pengen tahu kenapa Gama, itu ulahnya Gea. Kembarannya sendiri.
•••
24.04.2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Anti Romantic [END]
Fiksi Remaja"Astaga, adegan sinetron macam apa ini?!" Adela itu pengurung diri level tertinggi yang tidak berniat membuat kisah romansa di hidupnya. Sejak dulu julukannya adalah si 'anti romantic'. Dia cantik tapi malas mandi. Lalu, entah sebab apa si anti rom...