43. Karma Itu Ada ಠ‿ಠ

675 102 2
                                    

Setelah dari kosan Naraya, gue pergi sarapan bubur di pinggir jalan. Setelah selesai gue pergi ke studio musik guna menikmati hobi dan kesendirian. Terus sekarang gue ada di taman. Cuma lihatin air mancur di depan dengan backsound gossip rombongan ibu-ibu senam. Hm, shock banget gue karena mereka lagi ngomongin anak-anak SMP yang katanya ketauan minum alkohol dengan seragam sekolah. Tragis banget, sih, negeri ini. Bisa-bisanya anak-anak SMP udah tahu minuman macam itu. Udah baunya nggak enak, haram lagi. Gue pernah cium baunya saat sepupu gue yang mirip Lee Jong-suk itu mampir ke rumah dalam keadaan mabuk. Sekedar informasi, pas dia ketauan, uang jajannya langsung dipotong 50%. Gue joget bahagia waktu itu. Abisnya dia ngeselin, sih.

Kata Gama gue harus kabarin dia kalau mau pulang. Namun, apa iya gue harus begitu? Taksi dan ojek ada banyak, kok. Hm, kalau gue langsung pulang Gama nggak akan marah, kan, ya? Lagian mana mungkin Gama bakal ada di rumah. Dia harusnya di kampus di jam-jam begini.

Drrttt drttt

(ー_ー゛) Kenapa bisa pas? Kenapa Gama harus telepon pas gue mikirin dia, sih?

"Halo, Del," sapa dia begitu gue jawab panggilan dari Gama.

"Iya, halo," balas gue.

"Lo udah selesai belum ketemu sama Narayanya?" Dari tadi juga udah selesai. Lagian, ya, udah berjam-jam lamanya sejak gue keluar apartemen tadi.

"Udah," balas gue singkat. Lagian, agaknya nggak perlu juga jelasin ke dia kalau gue ketemu Naraya cuma sebentar.

"Kalau gitu lo bisa ke sini nggak? Ke Yuu?" Yuu? Affah itu Yuu? Nama orang? Nama tempat? Atau... nama husbu? ( ╹▽╹ ).

"Yuu?" Iya, pada dasarnya kalau cuma nanya ke batin sendiri mana bisa dapat jawabannya.

"Cafe yang deket kampus itu," balas Gama. Yaaa, maklum, deh, gue mana tahu ada cafe namanya Yuu di dekat mantan kampus Adela B. Namun tunggu, gue nggak pernah tahu Adela B kuliah di mana? 😱😱.

"Ngapain gue ke sana, Kak? Mending pulang," ucap gue. Selain karena nggak tahu tempatnya, gue juga nggak mau kalau harus ke sana. Entah kenapa gue punya firasat buruk soal itu. Takut ketemu temen kampusnya Adela B, jeee. Nanti gue ngang ngong lagi.

"Gue jemput aja, ya? sharelock coba, Del."

Dia lagi maksa? Dih, padahal gue nggak mau. Kalau bilang gue nggak mau urusannya bakal panjang nggak, ya? Hmm...

Tutt

Gue matiin aja. Hehehe. Tenang, tenang, tenang. Sesaat setelah gue matiin telepon, gue kirimin Gama pesan, bilang gue sakit perut dan mau pulang aja. Jangan ditiru, ya, wahai para penggemar nasi, bohongin suami itu dosa <( ̄︶ ̄)>.

•••

Affakah ini yang dinamakan karma? Mana karmanya nyaris instan lagi. Sesaat setelah gue turun dari taksi, perut gue diserang rasa sakit yang sampe menembus punggung bawah. Punggung bawah apa, sih, namanya? Pokoknya sakitnya tuh berat, kayak sakit ditambah pegal gitu. Huhuhu, ini sakit yang nggak asing. Sakit saat dapet.

Meski nggak tiap dapet, tapi emang gue kadang ngalemin rasa sakit maksimal sehari saat masa itu. Nggak tentu, kadang hari pertama, hari kedua, hari terakhir, atau hari sebelum terakhir. Yah, emang nggak jelas. Gue biasanya mengurung diri, jadi kalau sakit begini nggak terlalu kerasa karena gue hanya rebahan di atas kasur, tapi sekarang gue harus naik tangga ༎ຶ‿༎ຶ. Halsuisseo diriku, semangat! Tangga doang, bukan panjat pinang 17 Agustusan :).

Emm─ huh... gue berhasil ke kamar. Namun, mood gue jadi jelek. Kalau gini ceritanya, jalan paling mudah adalah cuci kaki dan rebahan. Gue nggak peduli sama baju modis ini, gue cuma pengen mendaratkan punggung yang pegal diempuknya kasur. Kalau mood lagi jelek, entah kenapa gue suka ngerasa bibir gue kering dan susah buat melengkung ke atas meski pura-pura. Gue juga kesepian dan hati gue rasanya kosong. Kenapa gue ditinggalin? Kenapa gue sendirian? Ahh, perasaan buruk ini... gue muak.

Ceklek

Pintu kamar dibuka. Kalau tanpa pemberitahuan udah pasti itu Gama. Benar aja, gue bisa lihat dia lewat ujung mata.

"Del?"

Plis, jangan ganggu gue. Gue nggak bisa bercanda atau main saat ini. Kalau gue gerak sedikit aja, rasa sakitnya jadi bertambah. Gue merindukan bunda. Kenapa gue harus pisah sama bunda? Terus, kenapa sakitnya parah gini? Apa karena ini tubuh Adela B?

Gue nutup mata, tapi gue tahu Gama ada di sisi gue, semakin yakin saat gue ngerasa telapak Gama mendarat di kening gue.

"Nggak panas."

Gue... bukan demam.

"Perutnya sakit banget, ya? Lo pengen apa, Del?"

Gue... pengen sakitnya ilang. "Pengen sunyi. Gue nggak suka yang berisik." Setidaknya untuk sekarang.

"Kalau gitu gue tinggal mandi dulu."

Yah, itu lebih baik.

Apa yang harus gue makan sekarang? Maksud gue, apa obat yang harus gue makan? Gue nggak tahu kalau sakitnya separah ini. Bunda biasanya cuma kompres perut gue pake air hangat dan sembuh setelah beberapa saat. Berendam di air hangat? Ahh, gue... takut.

Jalan satunya-satunya cuma nunggu sembuh dengan sendirinya, ya? Huft, perasaan gue jadi aneh. Rasanya susah buat gue jelasin, tapi yang pasti gue pengen cakar kasur sekuat-kuatnya.

Huh...

Hah.. 

Adela, ayo rileks, inhale... exhale... inhale... exhale... bayangin aja kamar lo sebelumnya, bayangin usapan bunda dan jokes receh bunda saat gue sakit. Nggak apa-apa, sakitnya kecil kalau dibandingin sakit mental. Nggak apa-apa, ini hal yang wajar.

Del, tahu nggak bahasa Inggrisnya ikan sapu-sapu?

Salah, yang bener itu cleaning share fish.

Dulu garing, tapi sekarang jokes ala paruh baya Bu Rinjani jadinya lucu sampai gue pengen ketawa.

Gue rasa Gama udah selesai mandi. Gue ngerasa ada yang naik ke kasur soalnya.

Mungkin karena gue bilang gue mau sunyi, Gama sama sekali nggak bicara. Gue cuma ngerasa kalau mata dia tersorot ke gue sampai akhirnya setelah beberapa saat dia puk-puk bahu gue.

Gue... bukan bayi.

•••

25.04.2023

Komen apapun kalau niat. Rasanya bakal asik kalau denger cuap-cuap kalian soal Anti Romantic 💃💃

Anti Romantic [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang