19. Kehilangan Paling Dahsyat

1.1K 144 4
                                    

Gue... meninggal.

Bunda dan ayah udah nggak gue lihat.

Gelap? Bukan, ini... apa?

"Adela."

Suara itu... Gama? Tunggu, sensasi ini? Pelukan? Dan... ada sesuatu yang bergerak di kepala belakang gue.

Gue... meninggal?

"Lo hidup, Del."

Gama lagi? Saat gue bergerak, rasanya sesuatu yang barusan ikat gue melonggar, gue sekarang bisa lihat Gama. Dia ada di samping gue, tidur menyamping, dan gue baru sadar kalau gue tidur berbantal lengan Gama. Mimpi, ya? Kenapa mimpi bisa sura── nggak! Sejak gue datang ke sini, mimpi gue selalu berarti kenyataan. Semalam gue udah tanya Gama soal dia yang jadi ketua OSIS dan soal Azriel yang nembak gue di kantin, itu semua kenyataan. Itu semua ingatan Adela B. Lalu tadi, tadi gue mimpi kembali ke bumi A, gue mimpi kalau gue meninggal satu bulan yang lalu. Kenyataan kalau gue ada di sini berarti nggak menutup kemungkinan kalau gue beneran meninggal di sana. Namun, gimana sama bunda dan ayah? Aah, gue harus apa sekarang? Gue mau kembali ke bunda dan ayah. Gue nggak mau hidup sebagai Adela B. Di sini nggak ada ayah, di sini Mbak Nurul berbeda, di sini semuanya asing bagi gue. Gue mau pulang, gue mau kembali.

"Seburuk itu, kah, mimpi lo?"

Saat Gama usap wajah gue, gue seolah ditarik kembali ke kenyataan. Membiarkan Gama hapus air mata yang gue rasa banjir, gue kebingungan dengan apa dan bagaimana gue harus hidup sekarang. Kenapa? Kenapa gue bisa berakhir di dunia ini? Kenapa gue bisa terpisah dari tubuh asli gue?

Mungkin karena air mata gue yang terus-terusan keluar, Gama kembali peluk gue dan gue nggak punya tenaga atau sekedar niat untuk menolak itu. Tepukan pelan Gama di kepala gue terasa cukup nyaman dan menenangkan. Benang kusut yang ada di kepala gue saat ini perlahan melebur, sedikit demi sedikit perasaan berat dan tak karuan yang melilit dada gue bisa teratasi.

•••

Udah tiga hari berlalu sejak gue meninggal waktu itu. Selama itu gue sama sekali nggak keluar dari kamar, bahkan nggak beranjak dari kasur kecuali untuk ke kamar mandi. Gue nggak mood untuk segalanya, ingatan tentang tangisan bunda dan kenyataan kalau gue nggak akan bisa balik lagi ke bumi A rasanya terlalu berat.

Mama Tia rajin mengunjungi gue, dia berusaha hibur gue meski dia nggak tahu penyebab semua semangat gue hilang. Ah, bukan nggak tahu, dari ucapannya dia ngira kalau gue teringat dengan bayi gue.

Untuk Gama, dia berangkat kuliah dan selalu pulang malam, saat pulang dia selalu paksa gue makan karena dua piring untuk sarapan dan makan siang selalu tak tersentuh di atas laci.

Ternyata, sedih itu buat perut jadi nggak lapar, ya? Gue merasa cukup dengan minum air aja. Rasanya sulit untuk gue. Terserah kalau gue dianggap lebay, beban, dan segala macam, gue baru aja merasakan kehilangan paling dahsyat. Gue kehilangan diri gue sendiri, gue kehilangan bunda dan ayah, gue kehilangan Mbak Nurul, dan segalanya yang gue dapat di dunia asal gue.

Gue sadar pintu kamar dibuka tapi gue nggak perlu untuk melihat siapa yang datang. Nggak peduli. Gue memilih tetap diam di balik selimut dengan perasaan dan pikiran buruk yang terus berkecamuk.

"Adela."

Aah, suara Gama. Gue benci saat Gama pulang, gue benci saat Gama ada di sini karena di saat itu kesendirian gue diganggu. Gama akan terus bertanya, Gama akan terus memaksa. Gue hanya ingin mengubur diri sendiri tanpa diganggu siapapun.

"Del, suka seblak, kan? Gue beliin lo sama Gea seblak."

Gue... hanya ingin sendiri.

"Bagun, yuk."

Bahkan saat gue kesal selimut gue dibuka, gue nggak memiliki tenaga dan mood untuk mengumpati Gama. Huh, apa bisa kurung gue di tempat sempit aja?

"Del, lo nggak mandi tiga hari ini?"

Itu... wajar.

"Nggak apa-apa, tapi turun, yuk, perjuangan gue setidaknya harus lo hargai."

Itu... bukan urusan gue. Buat bergerak aja gue nggak punya mood, apalagi buat makan seblak.

"Setidaknya tolong jangan super brengsek, Kak, Kak Ruby akan terluka kalau Kakak kayak gini. Abaiin aku aja, aku cukup dengan itu."

Gama menghela napas. "Saat gue berusaha jadi suami yang baik, lo minta gue berhenti, saat gue nggak peduliin lo dan kasar sama lo, lo selalu masang sorot terluka. Lo mau gue ngapain?" tanyanya.

"Menghilang. Atau hilangin gue aja."

Gue bisa lihat Gama mengerutkan alis. Gue hanya ingin terbebas dari kesadaran ini, Gam. Saat sadar, gue nggak tahu harus apa.

"Lo udah terlanjur masuk ke kehidupan gue. Terserah lo sekarang mau apa, tapi besok Mama nyuruh gue ajak lo jalan-jalan. Jangan nolak, Del, lo nggak seharusnya terus terpuruk."

Yah, setidaknya untuk sekarang Gama pergi dari hadapan gue.

•••

07.04.2023

Sabar, Del, ingat, bersama kesulitan ada kemudahan🙏.

Anti Romantic [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang