39. Apartemen dan Kopi

712 88 1
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Akhirnya gue berakhir keluar. Sedih banget rasanya karena gelar pengurung diri agaknya udah hilang dari gue😔.

Gue nggak tanya Gama bakal bawa gue kemana, tapi sekarang mobil Gama berhenti di parkiran basement sebuah gedung tinggi yang gue tahu sebagai gedung apartemen. Gedung ini ada juga di bumi A soalnya.

Gama turun dan gue pun ikut turun. Jadi ekor Gama sampe kami berhenti di sebuah pintu unit apartemen yang ada di lantai 8. Tenang, gue nggak naik tangga, kok, gue naik lift. Ogah banget naik tangga, kalau gue keringatan gue khawatir mandi lagi. Ogah, ya, mandi mulu (─.─||)

Masukin pin di pintu, suara tulalit bisa gue dengar. Gama buka pintu dan kami berakhir masuk. Heran, deh, katanya mau kenalin gue, tapi malah masuk apartemen. Sejak awal Gama emang orang nggak jelas.

"Ngapain di sini, Kak?" tanya gue ditengah langkah kaki masuk lebih dalam apartemen ini. Hm, meski gue belum menjelajah keseluruhan apart, gue tahu kalau apartemen ini luas. Interiornya bergaya kontemporer dan membawa kedamaian. Terutama bagi gue yang nggak suka ribet-ribet.

"Gue mau ketemu orang penting di sini," balas Gama.

Affakah Pak Presiden? Atau Pak Wakil Presiden? Jangan bilang Atta Hilalantar?! Oke, gue tahu, sih, nggak mungkin ketiga orang itu. Entahlah kenapa, tapi mereka terlintas aja di pikiran gue.

"Terus kenapa gue juga ke sini?" tanya gue. Iya, dong, tanya, gue lebih suka mengurung diri kalau urusannya nggak jelas begini soalnya.

"Kan gue udah bilang mau kenalin lo sama orang-orang," balas Gama. Ya- ya, tahu, sih. Namun, itu maksudnya bakal banyak temen-temen Gama yang ke sini? Lagian, ya, ini apartemen saha?

"Ini pertama kalinya, kan, lo ke sini?" tanya Gama yang buat gue mengangguk.

"Emangnya ini apartemen siapa, Kak?" Agaknya tahu pemilik tempat ini nggak akan buat gue rugi.

"Mama, kan, kasih apartemen sebagai hadiah pernikahan kita. Ini apartemennya. Yaa, karena kita nggak pindah, gue pindahin studio gue ke sini."

GUE PUNYA RUMAH?! 😱😱 Omegatt, ternyata gue kaya. Hm, rumah gue sama Gama, sih, sebenarnya, tapi jangan ngomong aneh-aneh, ya, biarin gue berbahagia dulu. "Kalau punya rumah sendiri kenapa masih tinggal bareng Papa, Kak? Gue lebih suka hidup damai tanpa Mbak Siska." Bodo amat, lah, ya, ngomong gitu. Lagian Gama udah tahu sikap gue yang sebenarnya.
Inilah gue, bukan Adela B.

"Waktu awal nikah gue nggak bisa turutin mau lo pindah ke sini, tapi kalau sekarang lo mau pindah, nggak apa-apa, kok, Del. Mau? Besok kita izin sama Papa," ucap Gama.

Hmm, jelas mau, dong💃💃. Iya, gue beneran mau pindah biar lebih damai. Namun, masalahnya gue nggak mau lari sekarang, gue perlu tinggal di rumah Gundopo lebih lama biar akses gue ketemu Kak Gea lebih mudah. Maka dari itu, dengan berat hati gue menjawab, "Nggak. Nggak usah pindah. Setidaknya untuk sekarang."

Meski gue bisa nangkap eskpresi tanya Gama, tapi setelahnya orang itu memilih mengangguk kecil. "Oke," ucapnya.

"Ah, iya, Del, nanti kalau tamunya udah datang, tolong bikin kopi, ya."

Kopi? Kopi? Bikinin kopi? Ekhem, oke, cuma kopi doang gue pasti bisa. Gue sering, kok, bikin jus atau teh sendiri saat di bumi A. Kopi juga nggak jauh beda, kan? Tinggal buka bungkusnya dan kasih air panas. Di iklan-iklan begitu soalnya.

"Hm," balas gue mendudukan diri di sofa yang ada. Baru aja duduk, suara bel udah kedengaran dan Gama tampak rapiin bajunya lalu melangkah cepat ke arah pintu. "Del, ayo ikut," ucapnya karena mungkin dia sadar gue masih duduk-duduk. Sepenting apa, sih, tamunya? Gama harusnya jelasin, dong.

Pintu dibuka. Seorang pria tua berjas dengan kumis tebal bisa gue lihat. Kepalanya botak dan dia pake kacamata. Dari hawa-hawanya, sih, dia pasti orang kaya.

"Selamat sore, Pak, selamat datang." Gama sopan banget. Mana dia senyum lebar lagi. Nggak mau hancurin reputasi Gama, gue pun tersenyum meski agak dipaksakan. Bingung woy ini ada apa.

"Silahkan masuk, Pak," ucap Gama mempersilahkan Pak Kumis masuk hingga mereka berdua berakhir duduk di sofa ruang tamu. Gue yang udah terlanjur menyanggupi bikin kopi pergi ke dapur. Cari-cari dimana bungkus kopi, tapi nggak juga ketemu. ಥ‿ಥ Gimana, nih?

Ini... ada beberapa toples isi bubuk hitam dan begitu gue buka dan cium baunya, bau kopi yang menyengat menusuk hidung. Gue icip sedikit kali── 😱😱😱 apa ini? Pahit banget. Tapi baunya bau kopi. Apa seduh ini, ya? Namun, gue rasa harus pake gula. Takarannya gimana? Bundaaaaa, anakmu nggak bisa seduh kopi!!!

Oke, tenang, Adela. Mari ambil dua gelas. Taruh gelas di meja, terus masukin kopi. Eh, tunggu, gue bisa searching, kan? Hehehe, ayo manfaatkan teknologi masa kini. Hp gue di... di... hp gue? Astaghfirullah, hp gue di tas dan tas gue ada di ruang tamu T_T.

Insting! Ayo manfaatkan insting aja. Manusia itu jenius soalnya. Hm, masukin dua sendok kecil kopi pahit ini. Terus gula pasirnya satu sendok biar rasa kopinya kerasa. Masak air sampai mendidih dan tuang air ke dalam gela── uh, kelebihan. Nggak apa-apa, deh, yang berantakan ini buat Gama. Sip, selesai. Icip dulu sedikit dan 👁️👄👁️.

Nggak bisa. Gue bisa bikin tamu Gama mendadak kehilangan mood. Hm, kalau gitu nggak ada cara lain. Pergi dari dapur, gue kembali ke ruang tamu. Lihat Gama dan Pak Kumis yang lagi ngobrol, gue tarik-tarik lengan kemeja pendek Gama dari belakang. "Kak, gue nggak bisa bikin kopi," bisik gue mastiin cuma Gama yang bisa dengar.

"Ah, hahaha, betul, Pak. Akan saya coba. Kalau begitu mari kita ke studio saya, Pak. Saya yakin saya bisa memuaskan Bapak."

Dengan begitu Gama dan Pak Kumis bangkit berdiri. Gama tuntun Pak Kumis ke suatu tempat dan gue tetap di sini. Sesaat kemudian gue kembali ke dapur, siapa tahu gue tiba-tiba jadi jenius kopi. Yahh, meski gue udah coba seduh kopi lagi, rasanya tetap bikin tenggorokan kecekik.

"Del."

Gue noleh ke samping, lihat Gama yang jalan mendekat ke arah gue. Begitu lihat kondisi meja bar, ekspresi gama berubah jadi nelangsa. Ya- ya, sorry, lagian suruh siapa kopinya kopi begitu? Kalau kopi instan gue yakin gue bisa.

"Apa kemampuan bikin kopi lo ilang juga, Del?" tanya Gama natap gue.

"Hm." Gimana, ya? Gama pasti anggap gue aneh, tapi persetan, nggak peduli juga.

Gama menghela napas dan mulai ngambil dua gelas baru. Dengan telaten bikin kopi sederhana dengan air yang sebelumnya gue masak. Tak perlu waktu lama, dia selesai. Wow, gue nggak mau belajar. Hohoho. Mending kopi instan aja nggak, sih?

"Mau ikut lihat studio?" tanya Gama dengan tangan yang bawa nampan yang diatasnya ada gelas kopi.

"Dapurnya? Gue harus beresin kekacauan gue." Malas, sih, harus beres-beres, tapi gimana lagi? Begini-begini gue itu sopan.

Tanpa diduga Gama malah senyum. Heeee, dia nggak kesal lagi, ya, gue mengacau? "Nggak apa-apa, nanti kita beresin bareng-bareng."

Oh, gue terima niat baik itu! Bukannya pengen lihat studio Gama, tapi gue lagi nggak mood beres-beres 🙏. Ambil alih nampan di tangan Gama, gue dan dia akhirnya melangkah ninggalin dapur (っ.❛ ᴗ ❛.)っ.

•••

24.04.2023

Anti Romantic [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang