"Apa ada yang salah, Yang Mulia?" tanya Leo bingung sekaligus takut.
Dia tidak pernah melihat Terence melompat dari balkon ruang kerjanya selama berteman dengan pria ini. Terlebih lagi dengan wajah menyeramkan seolah akan membunuh siapapun yang tertangkap oleh matanya. Leo yakin kalau akan ada orang yang mati setelah ini. Dan, tentu saja orang itu adalah Leo. Haha...
Terence diam. Dia masih menatap Leo dengan dingin. Lupakan sejenak soal persahabatan mereka yang sudah terjalin cukup lama. Terence tidak akan membiarkan seseorang menyentuh 'miliknya'.
Ah, benar juga. Miliknya? Memangnya gadis di depannya ini siapa? Benar! Walaupun hanya pernikahan di atas kontrak, tapi Key tetaplah istri Terence yang sah. Jadi, Key adalah 'milik' Terence.
"Jangan nengganggu bunga yang dimiliki orang lain!" kata Terence tiba-tiba sembari melirik Key.
Leo menatap Key sekilas. Lantas, tersenyun dan menganggukkan kepalanya beberapa kali. Leo tahu apa yang dimaksud oleh Terence. Sepertinya, ada yang sedang jatuh cinta di sini. Apakah Terence sadar akan perasaannya itu? Ah, mustahil kalau Terence tidak sadar. Pria ini pasti sadar. Namun, berusaha sebaik mungkin untuk terus menolak kenyataan yang ada.
Terence kan sangat gengsi. Selain itu, Terence tidak tahu bagaimana cara mengekspresikan dirinya.
"Baiklah! Saya mengerti! Selamat menikmati waktu anda dengan sang bunga, Yang Mulia," Leo membungkukkan badannya, "Kalau begitu, saya pamit undur diri."
Leo melangkah pergi. Key yang sama sekali tidak mengerti dengan arti percakapan kedua pria itu refleks berteriak setelah menggerakkan kepalanya, "Bagaimana dengan ajakan makan malamku?" tanya Key.
Terence menatap Leo dingin. Sementara, yang ditatap memutar kepalanya pelan. Leo meneguk ludah. Tubuhnya pucat. Apalagi ketika dia melihat ekspresi Terence yang terlihat seperti akan membunuhnya. Ekspresi itu bahkan lebih menakutkan dibandingkan saat Terence yang berada di dalam medan perang.
"Maaf, Yang Mulia Ratu! Tapi, saya harus melatih para ksatria baru."
Wajah Leo jadi semakin pucat ketika tatapan Terence padanya berubah jadi semakin dingin. Itu pasti karena wajah sedih Key. Baiklah! Mari buat kalimat yang lebih baik demi menjaga kepala dan badannya agar tetap menempel.
"Jadi, mari pergi lain kali!" kata Leo dengan senyum di wajahnya.
Tatapan Terence jadi semakin dingin. Leo berubah bingung dan takut. Sialan! Sebenarnya Leo harus menjawab seperti apa agar Terence tidak melempar tatapan menyeramkan seperti itu padanya? Ini benar-benar menyeramkan. Rasanya Leo lebih baik selamanya berada di medan perang dibandingkan berdiri di depan Terence selama 3 detik.
"Ah, saya lupa jika saya akan jadi sangat sibuk..."
Kepala Leo menoleh. Pria itu buru-buru melanjutkan ucapannya ketika melihat Terence yang menarik pedangnya.
"Tapi, saya rasa Yang Mulia Kaisar punya banyak waktu. Bagaimana kalau anda makan malam bersama dengan Yang Mulia Kaisar saja." kata Leo dengan suara yang bergetar.
Terence mendadak tenang. Tangannya mendorong pedang yang hendak dia keluarkan. Leo bernapas lega. Sementara, Key menoleh. Menatap Terence yang berdiri di depannya.
Key sejenak lupa kalau pria berwajah papan ini ada di sini juga.
"Aku rasa suamiku ini sangat sibuk. Jadi_"
"Aku punya banyak waktu." potong Terence.
Key menatap Terence bingung. Pria ini bahkan tidak pernah masuk ke kamar lagi setelah 'malam pertama' itu. Setiap kali ditanya, jawabannya selalu sama. Terence memiliki terlalu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Pria yang bahkan tidak punya waktu untuk menyapa istrinya ini, kenapa tiba-tiba saja jadi punya banyak waktu? Apa dia seorang pejabat negara sekarang?
"Baiklah! Biar saya pikirkan kembali." kata Key.
Terence mengangguk pelan. Leo buru-buru melangkah pergi sebelum Terence berubah pikiran.
"Kak Vivi!" teriak seseorang yang Key kenal.
Key dan Terence menoleh. Kompak menatap Alcides yang berlari menuju Key. Begitu jaraknya sudah dekat dengan Key, Alcides langsung memeluk kedua kaki gadis yang seharusnya dia panggil dengan sebutan 'bibi' itu.
"Ada apa, Alci?" tanya Key.
"Apa Kak Vivi punya waktu untuk main bola bersama-sama?" tanya Alcides dengan tatapan penuh harap di wajahnya.
Key mengangguk. Dia hanya punya 2 jadwal hari ini. Satu jadwalnya sudah diselesaikan pagi tadi. Dan, jadwal terakhirnya akan segera selesai. Hanya pertemuan biasa dengan bangsawan untuk membahas pembangunan panti asuhan di kekaisaran untuk anak-anak korban perang yang masih tertinggal.
"Kak Vivi punya banyak waktu. Tapi, dua jam lagi. Selama menunggu Kak Vivi, bermainlah dengan kakak pelayan, ya." kata Key sembari mengusap rambut merah muda Alcides lembut.
"Baiklah! Alci akan main dengan kakak pelayan." kata Alcides dengan senyum lebar di wajahnya.
Ini aneh.
Dulu, Terence akan merasa kesal ketika melihat Alcides hanya dekat dengan Key. Tapi, entah mengapa sekarang Terence malah merasa senang.
"Mau main dengan paman juga?" tanya Vivi sembari menunjuk Terence dengan kedua tangannya.
Alcides menatap Terence yang langsung memalingkan wajahnya. Terence lemah akan kontak mata. Makanya dia langsung memalingkan wajahnya ketika ditatap oleh Alcides. Rasanya juga akan seperti itu ketika ditatap oleh Key sekarang.
Alcides menggeleng pelan. Dia tahu kalau pamannya tidak jahat atau pun membencinya. Tapi, Alcides masih perlu waktu untuk jadi lebih dekat dengan Terence.
"Tidak apa-apa." kata Terence. Tentu saja dengan wajah datar.
Sebagai paman yang selalu memperhatikan setiap hal kecil tentang keponakannya, Terence tahu jika Alcides sedang merasa tidak enak padanya karena sudah menolak. Tapi, juga tidak bisa menerima tawaran Key.
Key langsung buru-buru memelototi Terence. Alcides bisa saja salah paham dan mengira jika Terence marah karena ekspresi wajahnya itu.
"Maksud paman... tidak apa-apa jika Alcides masih belum mau dekat dengan paman. Paman akan menunggu. Jadi, silakan ambil waktu sebanyak mungkin." Terence mengusap rambut Alcides. Lantas, melangkah pergi.
Alcides tersentak kaget ketika merasakan tangan Terence mengusap kepalanya dengan lembut. Bocah kecil itu lantas menatap punggung Terence yang semakin menjauh.
Key tersenyum. Sepertinya Alcides menyadari sesuatu yang penting.
Seorang pelayan berjalan menghampiri Key, "Para bangsawan telah hadir, Yang Mulia Ratu." katanya takzim.
"Baik! Minta mereka untuk menunggu sebentar. Aku akan datang 15 menit lagi."
Pelayan itu mengangguk. Dia kembali melangkah pergi.
"Alci pergi dulu, Kak Vivi! Semangat, ya!"
Key tersenyum. Mengusap kepala Alcides lembut. Bocah itu kemudian melangkah pergi. Key memperhatikan Alcides tanpa mata yang berkedip. Memastikan tidak ada lagi manusia yang berani menyuliknya. Setelah melihat dua orang pelayan menghampiri Alcides, Key langsung kembali ke kamarnya. Berganti pakaian. Ada tamu yang harus dia sambut.
Sementara itu, Terence kembali ke ruang kerjanya. Pikirannya kembali dipenuhi oleh Key.
"Sialan! Apa yang salah denganku!"
Terence memukul meja kerjanya kencang. Pikirannya benar-benar kacau. Tidak ada satupun pekerjaan yang berhasil dia selesaikan hari itu.
Terence kemudian memutuskan untuk jalan-jalan. Tidak! Bukan untuk bertemu dengan Key. Terence hanya ingin mencari udara segar.
Benar! Udara segar!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Light Princess✔
Fantasy[Bukan Novel Terjemahan - END] Putri Cahaya, begitulah mereka memanggil Key. Key mati karena terbentur dinding ketika mengejar kucingnya yang bertengkar. Parahnya, Key bukan pergi ke alam baka. Melainkan, masuk ke tubuh putri baron miskin dalam nove...