**
Namanya Purple Sky Kafe. Kafe milik Sebby di sebrang kantor agensi.
Sore ini, banyak pengunjung yang datang, memenuhi meja baik di lantai dua maupun di lantai satu.
Aku kebagian tempat duduk yang diperuntukkan untuk pengunjung yang datang sendirian. Yaitu meja yang menghadap keluar dinding kaca.
Aku menatap jalanan sembari menunggu pesanananku diantarkan.
Aku memesan cheese cake dan tiramisu cake serta ice latte.
Pegawai Sebby tampak sibuk, sehingga ia tidak mengenaliku. Semoga saja ia tidak mengadu ke bosnya kalau aku datang berkunjung. Sebab, aku hanya ingin menikmati suasana kafe sebelum perang urat saraf dengan Seb nanti.
Meski kemarin aku mengelak ucapan Sarah bahwa aku tidak akan menemui Sebby. Nyatanya aku pergi menemui cowok itu, malam ini.
Tebakan Sarah benar, potret lawas antara aku dan Sebby benar-benar mengganggu pikiranku.
Kenapa si sialan itu masih menyimpannya?
Padahal aku sudah membakar semua tentangnya dan memulai hidup baru.
Member tujuhbelas sudah berangkat ke New York, bersama Sarah dan segenap staff yang membantu kelangsungan world tour.
Aku harus tinggal, mengurus trainee baru yang bermasalah.
Lagi pula, pikiranku masih tidak tenang karena Sebby. Ah, foto lawas telah menghancurkan segalanya.
Pesananku diantarkan. Aku mengucapkan terimakasih dan tersenyum menatap pelayan baru itu.
Kalau dilihat-lihat, ada tiga pegawai baru di kafe Sebby.
Itu artinya bisnisnya berjalan lancar.
Duduk menghadap dinding kaca dengan pemandangan jalanan kota membuat aku bisa melihat kendaraan yang keluar masuk.
Tampak dua mobil box masuk dan parkir di samping kafe.
Seseorang keluar menemui mereka yang ku tebak adalah Sebby.
Pintu belakang mobil box dibuka, barang-barang dipindahkan ke dalam kafe.
Aku tidak tahu itu apa, tetapi sepertinya barang-barang tersebut adalah kebutuhan kafe.
Sebby turut membantu. Aku terperangah sesaat melihatnya ikut bersusah payah.
Wah, ini bukan Sebby yang kukenal.
Sebby yang kukenal adalah cowok sombong yang hanya tahu terima beres saja.
Aku menghitung agaknya ia sepuluh kali bolak balik dari dalam kafe ke belakang mobil box.
Wow, ternyata dia tahu caranya bekerja. Aku salut.
Tiba-tiba pandangan kami bertemu. Dibatasi jarak dan dinding kaca, aku refleks mengacungkan ibu jari padanya.
**
"Kenapa gak bilang-bilang pergi ke kafe?" tanya Seb sembari membukakan pintu apartemennya.
Setelah menghabiskan dua kue dan es latte, aku pergi bersama Seb ke apartemennya.
"Kenapa harus bilang-bilang coba, kalau ...."
Kalimatku terhenti saat mendapati lukisan wajahku dipajang di ruang tamu apartemen Seb.
Astaga, itu sudah lama sekali.
Aku ingat ketika kelas dua SMA, di kelas seni lukis, kami diberi model di tengah-tengah kelas. Namun, Seb malah menggambar wajahku.
Ia tidak dapat nilai apa-apa tetapi ia dipuji karena lukisannya yang bagus.
Aku ternganga. Tak menyangka akan melihat lukisan tersebut.
Bahkan Sarah yang mengantar Sebby tempo hari saja tak memberitahuku soal lukisan ini.
"Kenapa lo masih nyimpen ini?"
"Ini karya gue yang paling bagus. Tentunya harus gue simpen."
Aku berdecak pelan. Mendekati lukisan itu dan sesaat hanyut dalam kenangan.
"Apa tunangan lo gak marah liat lukisan ini?"
"Dia gak punya hak buat marah," jawab Seb.
Aku lengah. Tiba-tiba saja Seb sudah memelukku dari belakang.
"Lo gak boleh ngomong gitu. Dia tunangan lo. Lo sendiri yang bikin skenario hidup lo berakhir sama dia."
Aku memegang tangan Seb yang melingkar di perutku.
"Engga. Lo salah. Kita masih bisa ubah itu semua. Gue cuma mau lo Hana."
**
Date : 4 Agustus 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost You Again! (REVISI)
RomanceLagi revisi ya! Completed! (Fiction about S.Coups) Menjadi korban taruhan memang tidak enak. Aku terpaksa bekerja sebagai manajer grup tujuhbelas demi membuang lintah darat di perusahaan. Namun, aku malah jatuh hati dengan Sastra yang dengan tulus...