**
Hari ini pekerjaan banyak tanpa henti membuat aku harus meringkuk diam di atas meja kerja.
Panggilan telepon, pertemuan penting, rapat, koordinasi, mendengar keluhan ini itu dan banyak hal lain yang tak ada habisnya.
Aku menyelesaikan semuanya tanpa semangat. Tak ada sesi pelukan hangat di penghujung malam.
Sastra memilih pergi, enggan menemuiku.
Aku kehilangan sosoknya lagi. Untuk yang kedua kali.
Sialan!
Pintu ruanganku diketuk dari luar.
Fay masuk membawa laporan dari penata gaya bahwa persoalan baju untuk konser sudah selesai.
Aku menghela napas lega.
"Oke, berarti tinggal persiapan H-5 sebelum berangkat ke ... Jepang dulu jadinya?" tanyaku untuk memastikan.
Fay mengangguk. Tetap diam di tempatnya berdiri.
"Kenapa? Ada lagi yang belum selesai?"
Ia menggeleng.
"Engga. Cuma, gue harus bilang ini sama lo Kala."
Aku melepas perhatian dari layar laptop dan memberi sepenuhnya atensi untuk Fay.
Ekspresinya tampak gelisah.
"Ada apa Fay?"
"Soal lo, Kak Sastra sama Kak Sebastian."
"Kak Sebastian, maksud lo Sebby?"
"Iya itu ...."
Aku mengerjap, teringat sesuatu. Apa jangan-jangan Sebby ....
"Kemaren pas lo gak di kantor, ..."
"Stop!" Aku menyela. Agak berseru yang membuat Fay terhenyak.
"Tahan dulu, jangan bilang sekarang. Karena gue gak akan bisa selesein ini semua kalau tau penyebab Kak Sastra jauhin gue."
"Oke ...." Fay menggeleng tak melanjutkan kalimatnya. Ia lalu pamit undur diri setelah menatapku sekali lagi.
**
Pekerjaanku usai lebih cepat dari perkiraan. Tepat di pukul delapan malam, aku akhirnya melihat layar laptopku mati.
Hal ini terjadi karena pertemuan online yang jadwalnya sore ini diundur jadi besok. Makanya, aku bisa santai lebih awal.
Aku meregangkan badan, menggeser kursi dengan kaki menuju dinding kaca.
Aku termenung sambil menatap jalanan yang ramai di bawah sana.
Tiba-tiba pintu ruanganku diketuk dari luar.
Lingga masuk bersama dua pria.
"Hana, mereka polisi mau nyari lo," ujar Lingga memberitahu.
"Polisi?"
Aku melangkah mendekat, menerima jabatan tangan mereka dan berkenalan.
Ternyata mereka polisi di daerah dekat restoran yang menjadi lahan sengketa itu.
Mereka datang untuk mengumpulkan informasi terkait penyerangan tersebut dari sejumlah korban yang tercatat.
Mereka datang menemuiku karena aku tidak bisa dihubungi melalui telepon. Ponselku sedang diperbaiki dan baru besok bisa diambil.
Aku memberikan informasi yang mereka butuhkan. Mereka lantas pamit setelahnya.
Aku dan Lingga mengantar mereka sampai ke lift. Sesaat pintu lift menutup, Lingga langsung meraih kedua tanganku.
"Lumayan juga lecetnya," ujarnya.
"Namanya juga keinjek, kena kaca pula," balasku.
"Keinjek? Kena kaca?" sahut Dino yang tiba-tiba datang.
Cowok itu menyerobot, meraih tanganku dan melihat luka lecet di punggung tanganku itu.
"Astaga Kala, lo gak papa kan?" tanyanya khawatir setelah aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Gak papa. Nih buktinya gue bisa berdiri di sebelah lo." Aku mengulurkan latte pesanan Dino dan mengambil pesananku sendiri.
Kami memutuskan duduk di sofa lobby lantai satu sebelah kafe sambil melihat tayangan berita nasional di televisi.
Pas sekali, mereka sedang memberitakan restoran tempat penyerangan kemarin.
Aku tak perlu menjelaskan lebih detail lagi pada Dino.
Omong-omong soal member tujuhbelas yang menatapku dingin kemarin, Dino tidak ada di antara mereka.
Makanya, aku bisa bicara dengan nyaman bersama cowok itu.
Jujur saja, hatiku terluka karena sorot mata mereka kemarin padahal aku tidak tahu menahu soal apa yang sebenarnya sudah terjadi.
Terlebih lagi Sastra, ia sama sekali tidak menanyakan apa-apa dan malah memintaku untuk menjauhinya.
Padahal kemarin punggung tanganku rasanya perih sekali.
**
Date : 6 Juli 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost You Again! (REVISI)
RomanceLagi revisi ya! Completed! (Fiction about S.Coups) Menjadi korban taruhan memang tidak enak. Aku terpaksa bekerja sebagai manajer grup tujuhbelas demi membuang lintah darat di perusahaan. Namun, aku malah jatuh hati dengan Sastra yang dengan tulus...