**
"Lo beneran buka kafe di depan sini?"
Aku melepas kacamata yang sejak tadi bertengger di pangkal hidung. Memijat pelan area di tengah-tengah kedua mata, lalu mengamati Sebby di hadapanku.
Cowok itu membawa kabar bahwa ia tidak akan langsung kembali ke London. Ia akan membuka usaha di sini. Tidak mau jauh-jauh denganku. Perkara jadi investor perusahaan sudah rampung dan itu juga menjadi alasan ia ingin menetap lebih lama.
"Iya, lo boleh sering mampir. Ajak Sarah juga."
"Lo yakin gak mau balik ke London? Usaha lo yang di sana gimana?"
Sebby adalah contoh nyata anak tunggal kaya raya yang jadi penerus usaha keluarga. Sejak umur 17 tahun, ia sudah memiliki satu restoran atas namanya sendiri.
Seperti yang aku bilang tadi, usaha Sebby di London adalah sebuah restoran dengan konsep bar yang kerap dikunjungi kaum muda.
"Yakin. Jio ada di sana yang bakal ngurusin semuanya. Kenapa sih lo kayak gak suka banget gue ada di sini?"
Keningnya terlipat. Lalu dengan kedua tangan di dada, Sebby menatapku curiga.
Aku berdecak pelan. Beranjak dari kursi dan melangkah menuju dinding kaca.
Lalu lalang kendaraan tampak ramai, satu dua orang terlihat sedang menyebrang, sementara beberapa yang lain sedang berjalan di trotoar.
Dilihat dari lantai 20 tempat ku sekarang, semuanya tampak sangat kecil, bak mainan yang pernah kulihat pada miniatur kota, tempo hari.
"Bukan gitu. Gue suka kok deket sama temen-temen gue. Tapi ...."
"Tapi?" beonya.
Tahu-tahu Sebby sudah berada di sebelahku.
"Tapi, kayaknya kita harus jaga jarak."
"Jaga jarak gimana?"
Sebby menipiskan jarak. Refleks aku melangkah mundur.
Sialnya, aku malah terhantuk kaki sendiri, hingga aku hampir hilang keseimbangan dan jatuh secara tidak elit di lantai.
Namun, hal itu tidak terjadi sebab Sebby dengan sigap menahan tubuhku.
Tiba-tiba semuanya hening.
Suara pengharum ruangan dan mesin ac yang biasanya ada, kini sama sekali tidak terdengar.
Lengang.
Lantas, pekik nyaring dari arah pintu menginterupsi semuanya.
Seperti komando, membawa kembali suara-suara yang harusnya aku dengar.
"Astaga! Mata gue!"
Sebby menarik tubuhku hingga menabrak dadanya.
Aku langsung melepaskan diri dan merapikan rambut.
Di depan pintu, Sarah berkacak pinggang dengan mata nyalang.
Tatapannya seperti seorang ibu yang baru saja memergoki anak perempuannya hendak berbuat mesum dengan sang kekasih.
"Ngaku! Kalian mau enak-enak kan di sini?" tuduhnya tak berdasar.
"Enak-enak apaan!"
"Isi otak lo bokep semua ya Sar?" balas Sebby.
"Terus kenapa kalian peluk-pelukan begitu?"
"Gue tadi hampir jatoh. Ditangkap Seb, jadinya gitu, bikin lo salah paham."
Sarah malah menahan senyum yang tampak menyebalkan.
Ia melangkah mendekat dan menaruh beberapa dokumen ke atas meja.
"Kalo beneran mau enak-enak juga gak papa. Toh, gue gak bisa larang kan. Asal jangan di kantor deh, ada CCTV. Malu sama orang keamanan."
Aku melirik ke arah CCTV yang ada di sudut ruangan, seketika wajahku memanas.
"Terus, lo harus inget Seb! Hana udah punya pacar. Lo gak bisa sesantai itu meluk atau cium pipinya lagi kayak yang biasa lo lakuin."
Kalimat Sarah seolah mewakili apa yang sebenarnya ingin aku sampaikan pada Sebby. Benar sekali, aku sudah punya pacar dan pacarku tidak suka melihat aku terlalu dekat dengan Sebby.
Sastra itu possessif.
Aku menatap Sarah penuh haru yang dibalas anggukan pelan.
"Jadi, lo beneran pacaran sama artis lo sendiri?"
**
Date : 15 Juni 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost You Again! (REVISI)
RomanceLagi revisi ya! Completed! (Fiction about S.Coups) Menjadi korban taruhan memang tidak enak. Aku terpaksa bekerja sebagai manajer grup tujuhbelas demi membuang lintah darat di perusahaan. Namun, aku malah jatuh hati dengan Sastra yang dengan tulus...