1. Kartu Debit Nomor 20

392 33 0
                                    

**

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

**

"Kala, seperti biasa ke kafe di sebrang ya," ujar ketua manajer kepadaku sembari memberikan kartu debit.

Aku menerimanya lantas menjalankan perintah seperti biasa.

Aku sedang dalam misi sebagai manajer grup idol bernama tujuhbelas. Misi ini aku laksanakan selama tiga bulan. Ini sudah dua setengah bulan berjalan, tinggal setengah bulan lagi.

Tujuan misiku adalah mencari borok dari tangan-tangan kotor orang yang menggunakan uang bukan hak mereka untuk kepentingan diri sendiri.

Istilah kerennya adalah aku mata-mata di sini.

Namaku di sini sebagai Kala, mahasiswi tingkat akhir yang harus cuti untuk mencari uang demi menyelesaikan kuliahku.

Dengan resume dan latar belakang ceritaku yang memantik rasa iba ketua manajer grup tujuhbelas, aku diterima bekerja.

Ada lima manajer termasuk diriku. Ketua manajer adalah manajer yang paling senior dan ia yang berhubungan langsung dengan Ketua Manajemen SDM hingga CEO Agensi.

"Kala! Kala!" seruan itu membuat langkahku terhenti.

Aku berbalik dan mendapati ketua manajer berlari ke arahku.

"Kenapa Kak? Ada yang perlu aku beli lagi ya?"

"Bukan, bukan itu." Suaranya putus-putus, napasnya tidak beraturan.

Agaknya dia berlari sekencang mungkin mengejarku dari lantai tiga ke lobi tempat aku berada sekarang.

"Kartu yang gue kasih ke lo tadi mana," pintanya seraya menengadahkan tangan.

Aku memberikan kartu debit yang sejak tadi aku genggam.

"Nah bener kan dugaan gue, ini yang nomor 20," gumamnya pelan, namun masih bisa aku dengar.

Jadi, itu nomor 20 ya.

Ia merogoh saku belakangnya, mengeluarkan dompet tebal lalu melirik sekilas padaku.

Aku pura-pura mengalihkan tatap ke arah lain.

Namun, aku masih bisa melihat lewat sudut mata, ia sedang memilih satu kartu dari banyak kartu yang ada di dalam dompetnya.

Kemudian, ia mengambil salah satu kartu yang tidak bernomor dan memberikannya kepadaku.

"Nah, pakai yang ini ya sekalian beli es krim buat lo," ujarnya sembari berlalu.

*

Aku membuka buku catatan kecil yang selalu aku bawa kemana-mana. Aku melihat minuman yang dipesan para member grup tujuhbelas yang hampir sama seperti hari-hari sebelumnya.

Selera mereka tidak berubah.

Ada lima orang yang mengantri di depanku. Aku memutuskan mencatat kartu debit nomor 20 itu dicatatanku.

Kartu itu sepertinya penting sampai tidak ingin digunakan untuk membeli minuman.

Seakan jejak penggunaan kartu itu tidak boleh sampai diketahui.

Ah, sayang sekali. Padahal kalau itu terhendus, bukti-bukti yang sudah aku kumpulkan akan semakin lengkap.

Tiga belas minuman untuk semua member grup tujuhbelas sudah siap.

Tanganku penuh menenteng minuman saat salah satu manajer lain datang dan mengaitkan tali tasnya di leherku.

"Ah, makasih ya Kala. Bahu gue pegal abis semalaman main game di warnet."

Ia meregangkan tangan, terdengar bunyi keretak sendi setiap ia melakukan peregangan.

"Bang jangan kayak gini dong, kasian Kala nanti malah jadi lebih pendek," sahut Sastra mendekat dan mengambil alih tas yang tersangkut di leherku.

Ia menyerahkan tas itu ke pemiliknya.

Tanpa sadar, aku mengigit bibir menahan senyum. Perlakuan Sastra tadi membuat aku berdebar. Dia memang baik, sangat baik.

"Lo gak beli minuman buat lo juga," tanya Sastra seraya mengambil alih minuman yang aku bawa dan menaruhnya di atas meja.

Aku menggeleng lalu mengeluarkan botol tumblr dari tasku.

Sastra tersenyum. "Sekali-kali minum minuman yang begini gak papa kan."

"Gak ah, sayang duitnya. Aku kan harus nabung."

Ia berdecak sebagai tanggapan. Lalu menggeser minuman ice americanonya ke hadapanku.

"Kenapa? Aku salah beli ya?" Aku menoleh.

"Enggak. Minum aja punya gue, gue lagi gak pengen minum yang dingin-dingin."

"Loh tumben?"

Bukannya menjawab rasa penasaranku, Sastra merebut botol minum tumblrku.

"Hari ini gue lagi pengen minum air putih aja," ujarnya sembari berlalu pergi.

"Hadeh Bang Sastra sok banget," sahut Dino dengan tawanya yang khas.

Aku nyengir. "Kalau didenger Kak Sastra, dia pasti ngamuk."

"Jangan sampai kedengeranlah," kekehnya kemudian.

Aku menyusun semua minuman ke atas meja, lalu merapikan cemilan yang baru saja diantar.

"Kala, lo udah makan siang?" Aku melirik Dino yang ternyata masih berdiri di sebelahku.

"Belum."

"Makan bareng yuk!" ajaknya bersemangat.

"Emang boleh?"

"Boleh dong!"

Aku menghela napas pelan. Kadang, Dino terlalu polos dalam mencerna situasi.

"Lain kali aja ya, hari ini gue bawa bekal."

"Yah." Ia cemberut.

"Gak usah sok imut gitu. Katanya gak mau dipanggil bayi lagi."

"Oh iya!" serunya sembari menepuk mulutnya sendiri.

**

**

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cerita ini bakal update tiga hari sekali ya^^

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cerita ini bakal update tiga hari sekali ya^^

Date : 7 April 2023

Lost You Again! (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang