**
Langit tampak gelap ketika aku dan Fay menjejakkan kaki di bandara.
Aku menunggu supir taksi mengeluarkan koperku dan Fay. Barulah kami masuk ke bandara dengan menyeret koper masing-masing.
Kami langsung check in dan menunggu di dekat gerbang keberangkatan.
Fay mengeluarkan bekal yang ia buat. "Makan dulu yuk, gue sengaja bikin banyak buat lo juga," ujar Fay sambil mengulurkan sendok untukku.
Aku mencoba sesuap. "Masih sempet aja lo masak."
"Bang Lingga dari pagi ngomel-ngomel ngingetin gue buat makan, dia juga yang nyiapin semua bahannya, jadi gue tinggal masak doang."
"Lo serumah sama Bang Lingga?"
"Iy ... eh!"
Mata Fay melotot. Agaknya aku sudah membongkar suatu rahasia besar.
Fay akhirnya berkata jujur, kalau ia memang menyewa satu apartemen yang sama dengan Lingga untuk menghemat biaya hidup.
Mereka sudah tinggal bersama sejak tiga bulan yang lalu.
"Gimana rasanya tinggal berdua sama cowok?"
Fay mengulum bibir, rona merah muncul di kedua pipinya.
"Ada enaknya, ada juga gak enaknya." Setelah berkata seperti itu ia terkikik sendiri. "Lo mau coba tinggal bareng cowok juga, sama Kak Sastra?"
Aku pernah memikirkan hal itu, tapi membayangkannya saja membuat perutku geli.
Seketika aku teringat kejadian semalam, saat Sastra ke apartemenku membawa dua bungkusan besar.
"Gue juga kangen lo Hana." Suaranya yang serak dan berat itu sukses membuat kakiku lemas.
Untungnya, Sastra menahan pinggangku dengan kedua tangannya yang besar. Lantas, entah siapa yang lebih dulu memulai atau memang karena situasi yang mendukung, kami saling mencecap bibir masing-masing.
Melumat dengan gairah memuncak. Aku meremas rambut belakangnya dengan satu tangan dan menahan tengkuknya agar tetap mencumbuku. Hingga oksigen di paru-paru menipis. Aku kalah, mendorong dadanya menjauh dan meraup udara sebanyak-banyaknya, terengah-engah seperti orang sehabis marathon.
"Manis banget," ucap Sastra lagi malam itu, ia melanjutkan dengan mengecup seluruh wajahku. Lalu turun ke leher dan meninggalkan dua jejak merah di sana.
Sekarang, aku refleks menyentuh bekas cupang itu di area tulang selangkaku.
"Kala, Kal! Kala!" panggil Fay, menarikku kembali ke dunia nyata.
"Apa?" Aku agak tersentak dan buru-buru memalingkan wajah ketika mendapati sorot mata jahil Fay.
"Lo pasti mikir yang engga-engga ya?" tuduhnya.
"Enggak!" sahutku kelewat cepat. Membuat Fay makin curiga.
Namun, panggilan dari petugas bandara bahwa gerbang keberangkatan ke Kanada sudah dibuka memutus kalimat Fay yang bersiap ingin memuntahkan kecurigaan lain.
Aku bergegas bangkit, menyeret koper dan mengantri untuk masuk ke dalam pesawat.
**
Akan selalu ada hambatan di antara lancarnya sebuah rencana.
Aku dan Fay salah menaiki taksi yang sialnya disupiri oleh salah satu berandalan.
Fay jadi pucat pasi ketika si supir mengeluarkan pistol dari laci mobil.
Taksi itu berkendara ugal-ugalan, berhenti tiba-tiba ditepi jalan untuk memberi tumpangan pada kawannya.
Aku menahan mual saat kawannya si supir masuk. Bau alkohol tercium kuat bercampur dengan sinar matahari.
Sudah berapa lama dia tidak mandi?
Aku agak kepayahan mengambil ponsel di saku celana bagian kanan. Untungnya, aku selalu ingat untuk menyimpan ponsel di saku baju atau celana setiap keluar dari bandara.
Setelah mendapat ponselku, aku langsung menekan angka satu dan panggilan langsung terhubung.
Meskipun ini bukan yang pertama terjadi, tapi tetap saja rasa takut bercokol di dada.
Menunggu panggilan tersebut diangkat saja rasanya hampir satu abad.
Layar ponsel langsung berubah putih, bunyi gemerisik terdengar jelas, aku langsung berseru kencang.
"I WANNA EAT PIZZA RIGHT NOW!"
**
Date : 15 Juli 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost You Again! (REVISI)
RomanceLagi revisi ya! Completed! (Fiction about S.Coups) Menjadi korban taruhan memang tidak enak. Aku terpaksa bekerja sebagai manajer grup tujuhbelas demi membuang lintah darat di perusahaan. Namun, aku malah jatuh hati dengan Sastra yang dengan tulus...