**
Aku perlu waktu lebih lama untuk mandi. Kira-kira satu jam lebih aku berada di kamar mandi untuk membasuh diri. Jari-jari tanganku jadi keriput.
Setelah memakai piyama dan mengeringkan rambut, akhirnya aku bisa santai menselonjorkan kaki di atas kasur.
Namun, tiba-tiba saja kunci pintu apartemenku berbunyi. Ada yang menekan sederet password.
Aku coba mengingat-ingat, kira-kira siapa saja yang memiliki password apartemenku.
Namun, belum selesai otakku bekerja, pintu apartemen sudah terbuka.
Posisiku yang berada di kamar dengan pintu terbuka, bisa langsung melihat seseorang yang telah membuka pintu apartemenku.
Aku tertegun tak menyangka dengan apa yang sudah kulihat di sana.
Dia ada di sana, tampak kerepotan dengan banyak bungkusan di kedua tangannya.
Seketika mataku memanas dan ingin berteriak sekencang-kencangnya.
Mengeluarkan gelitik euforia di dada.
"KAK SASTRA!"
Ia terperanjat. Seketika ia berdiri kaku menatap ke arahku. Ekspresinya tampak gelisah. Aku menarik kesimpulan kalau ia tidak menyadari kalau aku ada di apartemen.
Aku susah payah untuk turun dari kasur. Setengah berlari ke arahnya. Tanpa sadar mataku basah.
"Kakak, aku ... aku kangen ...."
Aku memeluknya dengan satu tangan.
Sastra diam saja, tidak membalas pelukannku. Aku mendongak untuk menatap matanya namun ia buru-buru memalingkan wajah.
"Aku kangen Kakak," ulangku tak sadar suaraku tercekat.
Aku melepaskan pelukan, tetapi menggenggam erat ujung jaket Sastra.
Aku menariknya ke dalam apartemen. Membiarkan ia tetap bungkam sembari menaruh dua bungkusan besar di atas meja makan.
Ternyata isi bungkusan itu adalah makanan ringan, cemilan yang aku suka, berbagai macam merek susu rasa coklat serta satu pack kain kasa.
Aku jadi menangis betulan. Sesegukan sendiri. Hingga Sastra akhirnya bicara.
"Jangan nangis," ujarnya.
"Gimana gak nangis coba? Aku kangen banget sama Kakak tau, sekalinya ketemu aku gak bisa ngapa-ngapain karna tau Kakak gak pengen ketemu sama aku."
Aku mengusap kasar kedua pipiku yang basah, memutus aliran sungai air mata.
"Wanza sialan!" umpat Sastra pelan.
"Apa Kak Wanza yang bilang kalau aku gak di apart ya?" Aku jadi kepo.
Sastra menghela napas pendek, lalu mengangguk.
"Terus Kakak beli ini semua buat aku dan taro di apart aku, biar gak usah ketemu langsung sama aku ya?"
Sastra diam. Tak menanggapi apa pun.
Kalau begitu, aku yang menarik kesimpulan sendiri.
"Segitu gak pengennya ya Kakak ketemu aku?" Aku menatapnya sendu, mataku kembali berair. Dadaku kembali sesak. Aku sekuat tenaga menahan tangis dan lanjut bicara.
"Padahal aku pengen peluk Kakak lama-lama terus cium Kakak."
Aku mengalihkan tatap ke bungkusan berisi susu coklat beragam merek.
Setidaknya aku harus berterimakasih untuk semua hadiah ini bukan?
Aku kembali menatap matanya. Setengah mati berusaha untuk tidak menjatuhkan air mata.
"Makasih ya Kak, buat semua yang udah Kakak beli, aku bakal rajin minum susunya biar tanganku cepet pulih."
Setelahnya, aku langsung menunduk, menatap ujung jari kaki sendiri.
"Sekarang, Kakak boleh pergi," usirku.
Namun, tak ada pergerakan.
Sastra masih stagnan di tempatnya.
Apa dia merasa canggung untuk pergi setelah kepergok olehku?
Kalau begitu, lebih baik aku kembali ke kamar saja, tetapi baru dua langkah aku berbalik tiba-tiba tangan besar Sastra melingkar di perutku.
Hela napasnya yang hangat terasa di leherku.
"Gue juga kangen lo Kala," ucapnya dengan nada serak nan dalam.
**
Date : 13 Juli 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost You Again! (REVISI)
RomanceLagi revisi ya! Completed! (Fiction about S.Coups) Menjadi korban taruhan memang tidak enak. Aku terpaksa bekerja sebagai manajer grup tujuhbelas demi membuang lintah darat di perusahaan. Namun, aku malah jatuh hati dengan Sastra yang dengan tulus...