Hujan salju tampak cantik malam ini. Titik-titik putih terhampar di seluruh kawasan Adelaide Hills, Australia Selatan. Hana tampak menikmati pemandangan indah hujan salju di musim dingin yang hanya terjadi dalam kurun waktu dua bulan, yakni Juni hingga Agustus di benua kangguru itu.
Di pinggir balkon, dia menumpukan setengah tubuhnya sembari melipat tangan di dada. Pintu geser di belakangnya tiba-tiba terbuka, seorang pria mendekat dengan selimut wol yang disampirkannya di bahu Hana.
"Kamu gak kedinginan? Apa di Korea hujan saljunya lebih cantik dari ini?" Serobot tanya dilontarkan pria itu.
Dia Rey. Anak sulung Kevin, tangan kanan Daddynya Hana.
Hana menoleh dan tersenyum sekilas pada Kevin yang balas menatap sendu dirinya.
"Hujan salju selalu cantik bagi aku Kak. Mau di mana pun itu," sahut Hana datar seperti biasa.
Terakhir kali Rey bertemu Hana adalah di waktu-waktu gadis itu terpuruk luar biasa. Ekspresinya sedatar marmer, sedingin porselen kendati sorot matanya tampak kosong. Seperti tidak ada kehidupan.
Kini, Rey kembali bertemu dengan Hana. Lebih tepatnya, ia menerima kabar kalau gadis itu kembali bersedih dari Ayahnya. Lantas, tanpa pikir panjang, ia meminta Ayahnya untuk menyampaikan kepada Hana kalau resort yang ia kelola sendiri di kawasan Adelaide Hills memiliki kamar kosong.
Hana menerimanya lantas dua hari kemudian, Rey menjemput gadis itu di Bandara Internasional Adelaide. Setelah pelukan hangat dan kecupan rindu di kedua pipinya yang bersemu merah, Hana meminta Rey memusnahkan ponselnya.
"Terserah mau Kakak bakar, mau kakak buang di laut atau ceburin ke sumur, aku gak mau liat hp itu lagi," pinta Hana waktu itu.
Namun, sampai sekarang ponsel tersebut masih aman berada di kotak penyimpanan di kamar Rey. Ponsel itu pasti memiliki banyak kenangan untuk Hana, tidak boleh asal dibuang begitu saja. Kendati Rey mengiyakan permintaan Hana untuk memusnahkan ponselnya.
"Mau coklat panas gak?" tawar Rey setelah hening beberapa saat.
"Mau, tapi aku juga mau roti bakar," balas Hana menampilkan cengiran di wajahnya.
Nah, inilah perbedaan Hana yang dulu dan sekarang. Meski sama-sama sedang bersedih, tetapi gadis itu sekarang tampak lebih tegar. Lebih dewasa dan tentunya lebih kuat.
Ungkapan waktu akan mendewasakan segalanya itu memang benar, meski Rey ragu apakah Hana hanya menahan gelegak perasaannya dan berpura-pura atau memang berusaha tegar.
Mau opsi yang mana yang benar, yang terpenting adalah Hana ada di sini. Berada di jangkauannya. Gadis kecil nakal dengan pipi memerah dan bekas luka di tangan itu sudah tumbuh dewasa dan cantik luar biasa.
Bagaimana bisa Rey tidak kembali jatuh cinta?
**
Dering panjang telepon terdengar di lobby resort. Hana dengan celemek dapur tergopoh berlari mendekat dan lantas menempelkan gagang telepon di telinga.
"Halo, dengan Warm and Cold Resort Adelaide di sini, ada yang bisa saya bantu?" sapa Hana dengan kalimat sapaan klise yang sudah ia hapal.
"Halo ini Kak Hana?"
"Hgh, iya, ini aku Hana, sebentar ... kamu Jiha?"
Pekik kecil di ujung sambungan telepon terdengar girang. Hana mengerjap pelan, tiba-tiba dadanya terasa sesak tanpa sebab.
Padahal dia sendiri yang meninggalkan nomor telepon resort Rey di Adelaide dalam sepucuk surat untuk Jiha. Dia Kim Jiha, gadis barista di kafe lobby gedung agensi grup tujuhbelas.
Entah apa yang Hana pikiran saat itu, meninggalkan sederet angka nomor telepon dan meminta Jiha untuk menelponnya saat situasi kantor sudah membaik.
Meski Hana sangsi, apakah hal itu akan terjadi setelah kepergiannya yang mendadak. Siapa yang akan menggantikan posisinya sebagai Ketua Manajemen SDM? Sudah pasti beban kerja Sarah jadi lebih banyak.
"Terima kasih untuk hadiahnya Kak, aku suka. Sangat suka. Maka dari itu, aku ingin menuruti permintaanmu untuk menelpon ke nomor yang kau tinggalkan di surat, setelah situasi kantor membaik."
"Hah? Hghh, jadi apa kantor baik-baik saja? Eh, tapi kau tidak memberitahu siapa pun bukan soal nomor telepon ini?"
"Tentu tidak!" serunya cepat. "Aku sudah berjanji kepada diri sendiri kalau aku tidak akan berkhianat darimu."
"Wow, kepercayaan dirimu itu patut dihargai. Terima kasih ya. Jadi bagaimana soal kantor?"
"Kantor baik-baik saja, meski aku sering melihat wajah kusut Kak Sarah."
Hana meringis pelan, sedikit merasa bersalah. Agaknya hadiah sepaket make up limited edition tidak akan bisa menghapus lelah Sarah dari beban kerja yang bertambah.
"Lalu?"
"Kak Sastra. Dia terpaksa pulang dari konsernya di Indonesia. Kondisinya sedang tidak baik-baik saja Kak."
**
"Berdoa saja yang terbaik untuknya. Itu yang bisa kamu lakuin sekarang Hana. Jangan asal mengambil keputusan di saat-saat seperti ini." Rey memberikan saran ketika menyajikan makan malam di dapur resort.
Para penghuni resort yang datang tadi pagi sudah kembali ke kamar masing-masing. Kini tinggal Hana dan Rey berdua saja.
Ekspresi Hana yang ceria sudah luntur digantikan sendu dan terlihat hampir menangis sambil curhat pada Rey.
Setelah mendapat kabar itu dari Kim Jiha, Hana lantas mencari informasi tentang Sastra dari artikel di lini masa internet.
Sastra hiatus dari semua jadwal grup tujuhbelas. Kondisinya sedang tidak baik-baik saja. Hana menangis sesegukan sambil bercerita pada Rey.
Lantas, saran yang terdengar klasik itu Rey berikan.
Hana hanya mengangguk dan menyantap jatah makan malamnya sampai tak bersisa.
**
Hai hai, gimana sama epilognya?
Hehe ....Boleh dong kasih saran dan kritiknya di sini.
Maaf ya kalau ending Lost You Again! Bukan termasuk ending yang happy. Karena dari awal nulis ini aku udah rancang ending kayak gini sesuai sama judulnya.
Terimakasih sudah mau menyempatkan waktu untuk membaca, vote dan komen cerita aku❤️😭🫶
Untuk beberapa bulan ke depan aku gak akan publish long story dulu. Aku mau rehat sejenak. Mungkin bakal ada beberapa cerpen di project Campfire.
Be happy better than today!
Hope you all healthy❤️🙏See you again!
cravesan, copyright © 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost You Again! (REVISI)
RomanceLagi revisi ya! Completed! (Fiction about S.Coups) Menjadi korban taruhan memang tidak enak. Aku terpaksa bekerja sebagai manajer grup tujuhbelas demi membuang lintah darat di perusahaan. Namun, aku malah jatuh hati dengan Sastra yang dengan tulus...