50. Dua Kali Mimpi Buruk

154 18 0
                                    

**

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

**

"Stop Kala! Pergi, jauhin gue!"

Suara serak itu, suara yang sangat aku kenal.

Tepat ketika aku membuka mata, hiruk pikuk sorakan terdengar. Ramai. Terasa bising.

Aku tak bisa mendengar suaranya lagi.

Mencoba mencari, menoleh ke kanan dan kiri, tetapi nihil.

Lalu, sekelebat cahaya terang muncul.

Menyilaukan dan tiba-tiba saja aku rasanya seperti ditarik paksa lalu dihempaskan.

Aku terbangun dengan napas sesak. Refleks terduduk menekan dada. Terengah seolah baru saja lari marathon. Merasakan jejak basah di kedua pipiku.

Aku masih berada di kamar, di apartemenku, bersama Sastra yang terlelap di sebelahku.

Ia menggeliat. Agaknya gerakan tiba-tibaku membuat tidurnya terganggu.

Aku menggeser duduk ke arahnya. Agak menunduk lalu mengecup pelipisnya.

"Maaf," bisikku.

Kemudian, aku turun menuju kamar mandi. Membasuh wajah di wastafel. Lantas menatap pantulan diri pada cermin.

Mimpi buruk sialan! Rutukku.

Rasanya sangat nyata, seolah memang dia menyuruhku untuk pergi.

"Kala?"

Aku tersentak. Sastra sepertinya sudah bangun.

Benar saja, saat aku kembali ke kamar, ruangan itu sudah terang benderang.

Sastra berdiri di sisi tempat tidur. Menatapku bingung dengan wajah mengantuk.

Masa sih?

Tidak mungkin kan dia menyuruhku pergi?

"Kenapa? Abis mimpi buruk ya?" tanyanya begitu perhatian.

Ia merentangkan tangan, seolah menungguku masuk ke dalam pelukannya.

Aku ingin segera menghambur ke dalam pelukannya. Namun, kedua kakiku terasa berat.

Lantas, dalam sekejap semuanya tiba-tiba gelap.

Dadaku semakin sesak. Dalam kegelapan yang mencekik, aku memanggil namanya. Menyerukan bak orang putus asa. Ah, iya. Aku memang seputus asa itu jika menyangkut dengan Sastra.

"Kak! Kak Sastra!"

"Kala?"

"Kak?"

Seperti tadi. Aku merasa ditarik. Lalu, kedua mataku terbuka.

Langit-langit kamar yang remang menjadi pemandanganku.

Kemudian, sepasang mata Sastra yang menatapku bingung.

Aku langsung menariknya. Memeluknya. Merasakan sosoknya berada di dalam dekapanku.

Aku tergugu.

"Sayang kenapa?"

"Aku ... mimpi buruk. Kamu nyuruh aku pergi. Kamu jahat." Isakku berlanjut.

Sastra mendudukkanku, lalu kembali merangkulku erat.

Aku meremas bagian depan baju Sastra, membiarkan air mataku membasahinya.

Tangannya yang besar mengusap belakang kepalaku. Menenangkanku. Rengkuhannya hangat dan nyaman.

"Udah, jangan nangis lagi ya. Itu semua cuma mimpi?"

"Kalau beneran, gimana?"

Sastra perlahan meregangkan pelukannya. Kemudian menangkup wajahku dengan kedua tangannya yang besar. Ibu jarinya mengusap permukaan kulitku pelan. Begitu lembut. Aku terbuai.

"Gak akan Kala. Gue gak akan nyuruh lo pergi. Gue sayang lo. Sayang banget. Please, jangan nangis lagi ya. Itu semua cuma mimpi. Gak akan terjadi."

Setelah mengucapkan kalimat bak mantra itu, Sastra meninggalkan kecupan di kening, kedua pipiku, ujung hidung dan berakhir mengecup lama di bibir.

Aku mengerjap ketika ia menjauhkan wajahnya.

Ah, aku menginginkannya lagi.

Matanya yang bulat dan besar itu menatapku sayu.

Tanpa sadar, aku menyentuh alisnya yang lebat, mengusap dahinya dan mencubit pipinya.

"Wah, pipi kamu chubby banget. Gemes deh, pengen gigit." Sastra cemberut. Memajukan bibirnya bak anak kecil yang ngambek.

"Ga mau digigit, maunya di cium."

Aku tergelak. Oke kalau begitu.

Aku beringsut mendekat. Merapatkan tubuh yang kelewat dekat padahal aku tak perlu melakukan hal itu.

Entah kenapa rasanya di bawah cahaya remang kamarku, tubuhku merespon untuk selalu menempel pada Sastra.

Lantas, tiba-tiba saja aku sudah berada di atas pahanya.

Mencari posisi yang nyaman dan mendengar ia menggeram di ceruk leherku.

Aku mengigit pipi bagian dalam, merasa kalau tingkahku sudah kelewatan.

Namun, aku sudah terlanjur basah. Tangan Sastra telah ada di sana. Mencengkram pinggangku.

Yasudah, kalau begitu.

Aku mengalungkan tangan di lehernya, mengecup gemas pipinya yang gemuk. Lalu mengigitnya dengan mengapitkan bibirku.

Aku tertawa sendiri setelahnya.

"Nakal ya," bisik Sastra di telingaku.

Nafasnya terdengar berat. Seolah ia sedang menahan sesuatu.

Tubuhku refleks menegang.

"Lo yang mulai duluan Kala," ucap Sastra lagi terdengar seperti ancaman.

Lalu, tiba-tiba saja aku dibanting ke atas kasur, terbaring pasrah dengan kedua tangan di atas kepala.

**

**

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Date : 2 Agustus 2023

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Date : 2 Agustus 2023

Lost You Again! (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang