**
"Akhir-akhir ini banyak kasus pembunuhan turis wanita di sini."
"Oh ya?"
"Iya. Jasad mereka gak utuh, dimutilasi."
Aku bergidik ngeri. Cerita Kevan memang mengerikan, meski hal itu tak membuat nafsu makanku terganggu.
Aku tetap melahap habis mie seafood yang dijual di pinggir jalan masih di area pantai Miami.
Cowok gondrong dengan kemeja pantai yang tak dikancing tadi adalah Kevan. Ia teman sekelasku dulu sewaktu SMA. Dia juga teman dekatnya Sebby. Dia memang asli Miami. Katanya sepulang dari toko peralatan surving miliknya yang berlokasi tak jauh dari lokasi aku menangis tadi, ia melihat aku dan datang menghampiriku.
Kevan sontak panik karena wajahku yang basah dengan air mata.
Aku sempat hendak meninjunya, aku kira ia lelaki bejat. Namun, ketika ia menyebut nama lengkapku, aku kontan menahan kepalan tangan.
Dulu rambut Kevan selalu cepak, makanya wajah cowok itu tampak agak berbeda karena rambut gondrong yang sekarang.
Ia mengajakku untuk makan malam di salah satu tempat makan di dekat area pantai. Dari sanalah obrolan kami dimulai. Kevan bercerita tentang awal mula ia membuka toko peralatan surving sendiri, hingga berita kriminal tentang turis wanita yang dibunuh.
Kevan adalah orang yang menyenangkan. Ia masih sama seperti dulu. Gampang bergaul dan pandai membuat orang lain nyaman dengan kehadirannya.
"Lo tadi ngapain nangis sendirian? Untung gue samperin. Gimana coba kalau orang jahat yang nyamperin lo?"
"Tinggal gue tinju aja. Gue jago loh soal tinju!" kelakarku sembari menunjukkan kepalan tangan pada Kevan.
Kontan, Kevan tergelak karenanya. Tawa yang menenangkan. Seketika benang kusut di kepalaku terurai dengan sendirinya.
"Makasih Kevan."
"Loh, tiba-tiba banget?"
"Iya. Makasih banget lo nyamperin gue tadi dan ngajak ngobrol gue."
Kevan menarik ujung-ujung bibirnya, membentuk seulas senyum. Senyum yang menawan. Persis sama dengan yang ada diingatanku.
"Apapun yang jadi alasan lo nangis, gue selalu berharap lo dikelilingi orang baik Hana."
Angin malam berhembus membuat rambutku jadi kusut. Area pantai makin ramai kendati langit makin gelap.
Kevan mengantarku ke penginapan. Setelahnya cowok itu pun pamit pulang.
Aku berselisih jalan dengan Fay dan Lingga di gerbang penginapan. Mereka sedang menunggu Sastra, Dino, Yuma dan Vernon yang hendak makan malam di luar. Tiga penjaga keamanan sudah bersiap pergi dengan mereka.
Fay mengajakku ikut serta yang aku tolak segera.
"Gue tadi udah makan di luar, have fun ya," ucapku sambil lalu.
Aku sengaja berbelok menuju tangga di samping penginapan. Aku enggan bertemu Sastra.
Namun, yang aku hindari malah langsung muncul di hadapanku.
"Kalian mau keluar ya?" sapaku lebih dulu. Aku berusaha keras menghindari tatapan Sastra.
"Iya, lo abis dari luar ya?" tanya Dino balik.
Aku mengangguk sebagai tanggapan, kemudian segera berlalu cepat dari sana.
"Kalian duluan aja, ada yang mau gue omongin sama Kala," ucap Sastra yang membuat langkahku makin cepat.
Tapi, aku kalah gesit dari Sastra yang tiba-tiba sudah melingkarkan tangannya di pinggangku.
"Gue gak tau kenapa gue rasa lo ngehindarin gue dari kemaren. Abis gue dari luar, kita harus ngomong berdua. Jangan sekali-kali lo kabur," ujarnya setengah mengancam.
Ia menyempatkan diri mengecup pipiku sebelum pergi.
Aku berbalik, menatap kepergiannya. Beberapa langkah di depan, tepatnya setelah ia menuruni anak tangga yang membedakan lantai teras depan penginapan dengan loby, Sastra tiba-tiba berbalik.
Ia mengedipkan matanya padaku dengan senyum tercipta dan kedua lesung pipinya yang dalam terlihat jelas.
**
Date : 18 Agustus 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost You Again! (REVISI)
RomantizmLagi revisi ya! Completed! (Fiction about S.Coups) Menjadi korban taruhan memang tidak enak. Aku terpaksa bekerja sebagai manajer grup tujuhbelas demi membuang lintah darat di perusahaan. Namun, aku malah jatuh hati dengan Sastra yang dengan tulus...