Tiga Belas

360 38 1
                                    

Wajah pias Arion menatap gundukan rumput hijau cukup menggambarkan perasaan di hatinya. Tak bisa sering berkunjung ke makam sang ibu yang sudah melahirkan nya, sedikit membuat hati nya tercubit. Pelajaran akan tetap mendoakan dan menjadi anak baik untuk Ibu Sella yang selalu Maya ajarkan membekas di hatinya. Arion bahkan tak peduli dengan keimanan Sella yang berbeda dengannya, lelaki itu tetap mendoakan ibunya itu meskipun ia tak punya kenangan apapun dengan Sella, Arion hanya punya cerita tentang bagaimana Sella selama hidupnya.

"Sekarang pikir deh Bang, kenapa Daddy sama Papi saat itu bisa menyukai perempuan yang sama? Ibu mu orang baik, dia perempuan yang bisa membuat kami takjub dengan sikapnya" Kata Azwin mengingat masa lalu nya dulu saat jatuh hati pada mendiang ibu Arion.

Kening Arion menumpuk mendengar penjelasan Azwin tersebut. Ia memang tak pernah menyinggung Sella apabila sedang berdua dengan Adit, bukan karena tak ingin mencari tahu bagaimana ibunya, hanya saja ia paham sang ayah harus menjaga perasaan perempuan yang merawatnya selama ini yaitu Maya.

"Takjub?" Tanya Arion penasaran.

"Hemm... Ibumu itu hatinya lembut. Banyak orang yang sudah di tolong nya secara spontan tanpa memikirkan dirinya sendiri"

"Berarti Papi juga seperti itu Dad?"

"Mungkin, coba tanya aja"

"Aku gak bisa Dad"

"Kenapa?"

"Mami..."

Azwin hanya tersenyum lalu menepuk bahu Arion yang sudah tubuh kuat itu "yang paling banyak tahu tentang ibu pasti Papi mu"

Belum ada sepatah pun yang keluar dari mulut Arion sejak satu jam yang lalu ia sudah duduk di pinggir makam Sella. Tangannya hanya bergerak beberapa kali mengelus pahatan marmer yang bertuliskan nama lengkap sang ibu.

"Baik yang seperti apa Bu yang harusnya Abang pilih?" Monolog nya sendiri diakhiri dengan helaan pilu.

"Sekalinya Abang berani melangkah dan yakin pada satu wanita, ternyata takdir gak merestui"

"Padahal Mami selalu bilang, nanti akan ada masa, hanya dengan sekali saja melihat perempuan itu, Abang bisa mengatakan itu jodoh Abang..."

"Tapi kayaknya ucapan Mami belum selesai ya Bu? Harusnya Mami menambahkan, tapi semesta merestui. Hahaha"

Baru pertama melewati batas yang ia buat sendiri membuat Arion cukup kalut, meskipun selama empat bulan ini rasa kalut nya harus ia tutupi karena keadaan Hawa yang membutuhkan dukungannya. Namun saat sendiri begini, ia tak lagi bisa berpura-pura. Sebagai manusia biasa terlebih ini pengalaman pertama nya, tentu akan membuat Arion tak baik-baik saja.

"Sepertinya Abang harus mulai membangun tembok tinggi lagi Bu. Gak papa kan Bu, kalau sampai nanti Abang sendirian?" Tak ada balasan apapun yang terdengar. Hanya ada suara alam akibat gesekan ranting daun yang mendominasi. Angin yang mulai berhembus dan langit mulai menggelap membuat Arion harus segera menutup sesi curhatnya pada sang ibu.

Dengan langkah gontai, lelaki gagah itu masuk ke dalam mobil yang sudah di siapkan oleh supir Azwin.
Tadi saat pesawat nya sudah mendarat mulus di ibukota, ia sempat berkomunikasi dengan istri Azwin dan meminta supir keluarga mereka membawakan mobil untuknya sendiri.

Hari ini Arion memilih untuk mengendarai kendaraan roda empat itu sendiri tanpa adanya supir yang mengantarnya dan mengabaikan letih pada tubuhnya. Arion ingin menjelajahi setiap sudut ibu kota sebelum besok sore ia kembali harus terbang ke kota haram untuk beribadah dan mengadukan semuanya pada Tuhan pemilik hidup.

Hampir pukul sebelas malam, mobil yang Arion kendarai baru masuk ke pelataran rumah Azwin. Rumah itu mulai temaram, suasana begitu sepi, hanya ada satpam yang berjaga di depan.

Arion mengira bahwa semua penghuni rumah tersebut sudah terlelap, namun saat kakinya mulai masuk ke dalam, pemandangan pertama yang laki-laki itu lihat sungguh membuatnya menyesal. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat Bunda Aisyah sedang tertidur dipangkuan Azwin yang sedang sibuk dengan MacBook miliknya.

Suara pintu terbuka itu membuat Azwin mengangkat kepala ke arah pintu utama. Disana berdiri Arion dengan penampilan tak semestinya, kemeja hitam anak laki-laki itu sudah acak-acak, bahkan lengannya sudah tergulung dengan dua kancing kemeja terbuka, dan jangan lupa rambutnya yang tak tersisir serta wajah yang tak bisa menutupi kelelahannya.

"Darimana?" Tanya Azwin pelan agar tak membangunkan sang istri.

Mendengar pertanyaan itu, hati kecil Arion menyesal karena sudah pulang terlalu larut. Ia lupa bahwa sebanyak apapun usianya, bagi Adit, Maya, Azwin dan Bunda Aisyah, ia tetap anak kecil yang harus di awasi.

"Bunda..." Belum sampai Arion menyelesaikan ucapannya, Azwin sudah memberikannya kode untuk tak melanjutkan ucapannya karena ia merasakan pergerakan sang istri pada pangkuannya walaupun tak juga membuka mata.

"Daddy bawa Bunda masuk dulu, bersihkan tubuh mu, kita bicara di halaman belakang" Titah Azwin pada Arion. Detik berikutnya laki-laki yang menjadi ayah kedua Arion itu sudah menggendong tubuh sang istri untuk masuk ke dalam kamar pribadi mereka.

Lagi, lagi, Arion hanya mampu menghela nafasnya dalam. Ia paham setelah ini mau tidak mau ia harus bercerita pada Azwin apa yang terjadi padanya. Karena tak ingin nantinya membuat Azwin menunggu, Arion segera bergegas masuk ke dalam kamarnya yang memang sejak awal sudah ia miliki di rumah itu.

Tak butuh waktu lama bagi Arion membersihkan tubuhnya, sesegera mungkin ia menghampiri Azwin yang sudah menunggunya di halaman belakang. Dilihatnya Azwin duduk sendiri masih dengan MacBook nya dan dua cangkir coklat panas di hadapannya.

"Usia mu sekarang berapa Bang?" Tanya Azwin begitu Arion membuang bobot tubuhnya di kursi di samping Azwin.

Pertanyaan pembuka yang sudah membuat Arion ketar-ketir. Daddy nya itu memang tidak sekeras Adit dalam mendidiknya, namun bukan berarti Azwin tak bisa marah. Bahkan bisa dikatakan Azwin lebih sadis daripada Adit apabila sedang dikuasai amarah. Untuk itu Arion sudah mulai harus bersiap, terlebih pertanyaan sapaan Azwin tak seperti biasanya.

"29 tahun tahun depan" Ucap Arion mencoba sesantai mungkin walaupun jantungnya berdetak kencang.

Azwin mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mulai menutup MacBook di tangannya. Menyesap pelan coklat panas yang masih terlihat asapnya sesekali, kemudian dengan pelan meletakkan kembali cangkirnya bersisihan dengan cangkir Arion yang belum tersentuh.

"Daddy usai segitu ngapain ya Bang? Kayaknya sih udah ambil spesialis deh" Kata Azwin.
Tak selang berapa lama, suara Azwin kembali terdengar "Papi mu usia segitu kayaknya sudah punya perusahaan sendiri" Imbuhnya.

Kening Arion otomatis berkerut dengan amarah yang mulai menguasai. Arion jelas menciut, merasa dibandingkan dengan ucapan Azwin tersebut. Seakan kontribusi nya terhadap hotel sang ayah tak terlihat apapun dimata suami bundanya tersebut.

"Maksud Daddy selama ini aku gak ngapa-ngapain gitu?" Bantah Arion mulai memerah.

"Emang kamu ngapain? Sebutin coba? Kerjaan mu cuma galau, galau gak jelas begitu"

"Apa sih maksud Daddy?! Aku lagi gak mau berdebat ya Dad, aku lelah mau tidur" Mulai beranjak.

"Sekarang Daddy tau kenapa Amanda nolak kamu. Ya, karena kamu emang gak layak. Baru di tolak begitu udah kek orang sakit keras aja" Cemooh Azwin membuat Arion menghentikan langkahnya. Tanpa memutar tubuhnya Arion berkata "kalau Daddy gak ngerti, gak usah ikut campur"

"Kamu kira cuma kamu yang jatuh cinta terus patah hati? Di dunia ini banyak yang kayak gitu. Daddy sama Papi mu pun pernah, tapi bukan berarti kit larut dalam rasa sakit Bang. Banyak hal yang bisa dilakuin, selain bikin orang lain khawatir, paham?"

"-- inget Bang, Allah tidak akan merubah suatu kaum kalau bukan kaum itu sendiri yang mau berubah. Jangan terpaku dengan rasa sakit mu. Kita gak tau di depan ada apa, bisa jadi Allah sudah menyiapkan jodoh yang lebih baik dari Manda buat kamu"

"Manda sudah lebih dari baik, Dad"

.
.
.

21012024

Borahe 💙

KARUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang