63. Worst Week

22 5 0
                                    

Hessen, Germany.

Tak terasa, sudah seminggu berjalan setelah Queen keluar dari rumah sakit dan pulang dari Volusia County. Seminggu ini pula, ia berada di rumah keluarganya di Hessen, karena Anitta dan Tina khawatir dengan kondisi Queen apabila Queen sedang sendirian.

Tapi, walaupun sudah seminggu berjalan, tidak ada yang berubah. Queen masih sama sejak ia di rumah sakit terakhir kali kemarin.

Queen tidak pernah beranjak dari kasurnya. Ia sulit untuk diajak makan atau untuk tidur dengan baik. Ia hanya duduk di ranjangnya dan menatap ke jendela besar kamar di samping ranjangnya dengan tatapan kosong. Ia tidak bisa diajak bicara dan hanya terus saja berkata, "Aku kehilangan anakku."

Semuanya sadar kalau hal yang terjadi dua tahun yang lalu, kini kembali lagi. Tapi, ini semakin buruk, karena mereka tidak bisa berbuat banyak untuk membantu. Jadi, Astryd pun meminta dr. Irmina untuk datang dan memeriksa keadaan Queen yang semakin hari tidak ada kemajuan.

Tepat pada pukul 10.10 AM, dr. Irmina datang ke kediaman keluarga Queen. Astryd pun langsung membicarakan apa yang terjadi pada Queen saat sedang berada di Volusia County, termasuk pemberitahuan tentang Queen yang keguguran. Setelah itu, dr. Irmina langsung masuk ke kamar Queen untuk menengoknya.

Sesaat setelah dr. Irmina masuk ke kamar Queen, hatinya sakit melihat kondisi Queen yang seperti mayat hidup. Ia ingin menangis melihatnya, tapi ia menahannya.

Perlahan, dr. Irmina berjalan ke hadapan Queen dan duduk di kursi kecil tepat di depannya. Namun, Queen benar-benar tak menggerakkan bola matanya atau kepalanya untuk menengok dr. Irmina.

Walaupun sedih, dr. Irmina tetap memaksakan diri untuk tersenyum menatap Queen. "Selamat pagi, Paula?" sapanya, tapi Queen tak menjawab dan masih tetap berada di tempatnya.

"Maaf, aku baru bisa datang sekarang," ujar dr. Irmina dengan tulus yang tidak bisa menahan air matanya untuk jatuh. Cepat-cepat, ia pun langsung menyeka air matanya dan kembali tersenyum pada Queen yang masih belum membalasnya.

"Paula, aku datang kemari untuk menemuimu. Kita bisa bicara dengan bebas disini, kau dan aku. Tidak akan ada yang menghakimimu. Jadi, bisakah kau katakan satu kalimat saja padaku?" pinta dr. Irmina membujuk Queen. Ia benar-benar berharap Queen dapat membalas perkataannya.

Tapi, Queen masih sama. Ia tidak bergerak atau menjawab dr. Irmina sama sekali.

"Paula, aku tidak akan memaksamu untuk selalu terbuka padaku. Tapi, biarkan aku tahu kalau sekarang kau mendengarku dan jawablah pertanyaanku. Bisakah itu?" pinta dr. Irmina lagi membujuk dengan halus sembari mendekatkan dirinya pada Queen.

Tidak ada jawaban selama beberapa saat. Hingga kemudian, dengan suara yang lirih, Queen berkata, "Aku kehilangan anakku."

Mendengarnya, hati dr. Irmina langsung teriris mendengarnya. Ia adalah seorang ibu dan mendengar Queen yang seharusnya memiliki anak, namun justru kehilangan di usia yang masih sangat muda, itu membuatnya tak bisa menahan air matanya lagi.

Melihat Queen yang mengatakannya dengan tatapan kosong ke arah jendela membuat miris dr. Irmina. Ia sangat ingin membantu Queen untuk keluar dari masa terpuruknya sekarang. Tapi, seolah-olah Queen seperti hanya ingin berada di dunianya sendiri.

"Aku turut sedih mendengarnya, Paula. Sungguh," ujar dr. Irmina dengan tulus. "Tapi, aku mohon, izinkan aku membantumu. Kalau kau keberatan aku membantumu sebagai seorang psikolog, aku akan membantumu sebagai seorang ibu dan seorang teman."

"Aku kehilangan anakku." Lagi-lagi hanya kalimat itu yang keluar dari mulutnya lagi dengan tatapan kosongnya. Tapi, kali ini air mata keluar dari matanya.

Partner for Life - HBS #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang