tujuh puluh

73 7 2
                                        

Kana berjalan dengan sedikit membungkuk untuk menuruni angkot yang sedang ia tumpangi. Wulan dan Izal mengikuti langkah Kana setelah memastikan sosok itu turun terlebih dahulu. Setelah memberikan ongkos hasil patungan—yang diwakili oleh Izal, mobil itu kembali menancapkan gas dan mulai perlahan lenyap dari hadapan mata.

Kana mengedarkan pandangannya kesana kemari, ia cukup dibuat terkesima dengan pemandangan sudut kota Jakarta pada malam hari.
Toko-toko dengan arsitektur yang unik berjejeran menghiasi pinggiran jalanan itu. Restaurant kecil dengan aroma daging yang kuat, lampu berbentuk huruf yang menyala dari papan nama bar, dan senandung samar yang masih dapat terdengar dari dalam karaoke.

Jarang sekali Kana melihat kenampakan dunia luar saat matahari sudah terlelap.

Asap kusam, cahaya hijau kekuningan, aspal yang retak, gelap langit malam, bising suara tetapi kosong makna.

Lonely people in neon city.

Kana merasa berada di film Wong Kar Wai.

Izal berlari kecil menuju area parkiran milik bar bernama 'late club' dan mulai melambaikan tangannya kepada Kana dan Wulan.

"Ayo guys, kita glek-glek dulu."
Ucapnya dengan ekspresi yang dibuat-buat dan tangan yang dibentuk seperti gelas.

Wulan yang mendengar itu mendecih malas, lalu menendang kakinya ke udara.
"Sok iye banget lu, gue bilangin sama Tante Aya, ya!"

Kana hanya bisa tertawa menyaksikan tingkah laku sepasang sahabat itu.

Beberapa hari yang lalu, ketika rapat para pengurus Osis kembali diadakan. Kana telah membagikan ide tema yang ia buat untuk dijadikan bahan diskusi. Lomba yang ia usulkan ternyata diterima baik oleh anggota yang lain. Galih sebagai ketua osis memastikan semua suara terdengar. Semua hasil pemikiran anggota digabungkan menjadi satu, sehingga terbentuklah proposal acara peringatan hari kemerdekaan yang telah mereka serahkan kepada kepala sekolah.

Kana, Heni, Zoya, dan Lisa kebetulan mendapatkan tugas untuk mengurus pernak-pernik hiasan dan penampilan visual.
Mereka bersama-sama berdiskusi mengenai jenis peralatan yang diperlukan untuk mempercantik lingkungan sekolah.
Setelah daftar akhir sudah selesai, Kana mulai mencari-cari tempat perbelanjaan yang menjajakannya.

Ia bertanya kepada teman-temannya, siapa tahu saja mereka memiliki rekomendasi yang sesuai dengan kebutuhannya.
Dan ternyata Wulan dengan bangganya mengacungkan tangan.

Wulan sudah sering menjadi panitia acara lomba kemerdekaan di sekitar rumahnya, ia telah menjadi pelanggan tetap dari sebuah toko penjual aneka ragam hiasan sejak lama.
Barang yang mereka tawarkan memiliki kualitas yang bagus dengan harga yang masih terjangkau.
ia pula sudah cukup akrab dengan sang pedagang.

Setelah mendapatkan usulan dari perempuan berambut panjang itu, Kana pada akhirnya setuju untuk menggunakan barang mereka.

Tetapi sebelum itu Wulan berkata, bahwa barang yang mereka sediakan harus dipesan terlebih dahulu beberapa hari sebelumnya. Setelah berkomunikasi melewati Wulan, sang pedagang akhirnya mengabarkan bahwa pesanan Kana akan siap untuk diambil pada hari sabtu.

Lisa, Zoya, dan Heni sudah berniat untuk ikut bergabung dan menemani Kana pergi menuju toko itu. Tetapi ia dengan ramah menolak tawaran mereka. Kana rasa, ia masih sanggup untuk melakukannya seorang diri.

Leni, Dafa, dan Lintang pun tak ada bedanya. Mereka hendak melakukan hal yang sama, tetapi Kana dengan cepat menggelengkan kepala.
Mereka masih memiliki tugas yang harus dikerjakan, ia tak ingin menambah beban.

Ketika mendengar Kana akan pergi seorang diri saja, Wulan dengan sukarela menawarkan dirinya untuk ikut berkontribusi. Pada akhirnya Wulan yang lebih tahu lokasi dimana toko itu berada, akan jauh lebih efisien jika ia ikut mengantarkan Kana kesana, ditambah, ia sedang tak memiliki kesibukan saat ini.
Kana pada awalnya merasa tak enak hati, jika ia menerima bantuan dari Wulan. Tetapi karena perempuan itu kian berkata ia tak keberatan, pada akhirnya Kana menerima itikad baiknya.

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang