tujuh satu

88 9 1
                                        

Bara dengan perlahan mulai menghentikan laju kendaraannya saat tempat tujuan sudah ia temukan. Walaupun waktu terakhir kalinya berkunjung sudah cukup lama, tetapi ia masih ingat dengan betul bagaimana lekuk dan bentuknya.

Ia memasuki ruang kosong yang tersisa di ujung lapangan untuk memarkirkan motor. Teman-temannya yang juga baru sampai memutuskan untuk menunggu Bara terlebih dahulu— karena sosok itu berada di akhir barisan. Wajah mereka terlihat keruh disertai dengan lebam yang mulai berubah warna menjadi ungu.

Tetapi rasa syukur masih mereka genggam, setidaknya kulit mereka tak terkoyak begitu dalam.

Kecuali untuk Ello.

"El, ayo kita ke rumah sakit sekarang. Gue gak yakin luka lo bisa disembuhin pake obat P3K."

Asep menarik ujung lengan pakaian Ello yang masih sedikit lembab karena ulah semburan alkohol milik Satria.

Ello menghela nafasnya lemah. Setelah turun dari motor Wildan, ia mendaratkan tubuhnya terlebih dahulu di atas pijakkan sebelum kembali melanjutkan langkahnya.

Beberapa bagian dari permukaan dagingnya memang sobek. Rasa perih pun tak terelakan untuk ia abaikan.

Tetapi keadaannya saat ini masih jauh lebih baik daripada keadaannya beberapa bulan yang lalu, saat para rombongan penuh kebencian itu menghadangnya untuk yang pertama kali. Kala itu ia sampai harus mendapatkan beberapa jahitan.

Beruntung kali ini kondisinya tak begitu parah. Luka yang ia dapatkan hanya diakibatkan oleh tinjuan dan seretan saja. Setidaknya mereka tak menggunakan benda tumpul, apalagi tajam.

"Gue gak apa-apa, Sep. Kalau emang sesakit itu, gue pasti bakalan jujur sama kalian."

Wildan yang ikut mendengarkan hanya bisa menganggukkan kepalanya, mencoba memberi kepercayaan.
"Beneran ya, El. Kalau nanti udah diobatin tapi masih sakit, lo cepet-cepet kasih tau sama kita."

Ello mengiyakan perintah itu dengan pasrah.

Lagi pula ia tak bisa jatuh sakit saat ini. Ia tak ingin membuat kondisi ibunya menjadi semakin terpuruk.

Kana menuruni motor itu terlebih dahulu sebelum pemiliknya melakukan hal yang sama. Baru saja kakinya menginjak daratan, Wulan dengan tiba-tiba sudah menariknya dari arah belakang.

"Pst! Na, ini sebenernya ada apa, sih?... Kita dimana lagi?"

Wulan berbicara tepat di daun telinga Kana dengan sangat berhati-hati. Ia tak ingin para rombongan laki-laki itu mendengarnya.
Suasana yang kini menyelimuti udara terasa begitu menegangkan.
Ia tak berani bertanya kepada siapapun.

Ditambah, wajah dengan memar dari separuh anggota komunitas itu sama sekali tak membantu.

"Gue juga gak tau, Lan..."
Kana mengendikkan bahunya samar dengan raut yang sama kebingungannya.
Pandangannya mengedar untuk sesaat, mengamati tempat yang tentunya akan jauh lebih asing bagi dirinya yang belum hafal seluk beluk kota Jakarta.

Mereka tengah berada di lapangan kecil dari area perumahan sederhana.

Ada beberapa tiang kayu di kedua ujungnya, sepertinya ulah anak-anak sekitar yang sebelumnya sempat bermain bola.

"Tapi lo tadi liat gak, orang-orang yang ngejar mereka?"

Kana mengangguk. Bagaimana bisa ia tak melihat mereka? Teriakan dan makian yang mendengung disertai dengan aura yang memerah murka sudah lebih dari cukup untuk mengundang atensinya.

Wulan bergerak memunggungi posisi para laki-laki itu.
"... Kayanya, mereka itu yang gue ceritain. Street Snake."

Kana mengerjapkan matanya.
"Street Snake?..."

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang