Kelopak 6 - Genggaman Tangan

142 17 0
                                    

"Kalian menginaplah disini, perjalanan kembali ke Lingga Buana cukup jauh" tawar Ki Reksa saat mereka semua mulai akrab. Mereka baru saja selesai makan siang.

"Saya setuju, terima kasih, Ki!" Terima Lintang, tentu saja dengan tujuan agar bisa punya waktu mendekati Anggun.

"Oh iya, hampir lupa, gerangan apa yang membuat kalian berempat menyambangi padepokan ini?" Nyai Jinggan turut ajukan pertanyaan.

"Oh ini, saya diminta ayah untuk menyampaikan undangan" Lintang keluarkan sebuah surat lontar, Ki Reksa membacanya dengan seksama.

"Hemmmm jadi begitu, pangeran Esa Kanaraga ingin mengadakan adu kanuragan di alun-alun istana dan meminta tiap padepokan mengirim utusan" ujar Ki Reksa setelah membaca surat. Nyai Jinggan meminta lontar itu untuk ikut membacanya.

Ki Reksa berpikir sejenak, lalu dia menoleh kepada Anggun dan Wiladi.
"Kalau begitu, Anggun dan Wiladi. Kalian berdua lah yang akan mewakili padepokan kita"

"Kenapa adi Jatayu dan Jelitheng tidak  disertakan, guru?" Tanya Wiladi.

"Jatayu dan Jelitheng belumlah mahir benar, jika ikut dia akan mudah dikalahkan oleh lawan. Mereka perlu berlatih lebih giat, mudah-mudahan tahun depan mereka baru bisa ambil bagian" jawab Ki Reksa. Jelitheng dan Jatayu mengangguk menerima alasan sang guru.

"Saya tidak mau ikut, jika adik Dhanu tidak menemani" sahut Anggun pula.

"Anggun, adikmu itu sakit. Terlalu berbahaya jika membawanya bersamamu" khawatir Ki Reksa,maklum kelainan di wajah Dhanu pasti akan memicu kehebohan di Kotaraja nanti.

"Tapi ayah, Adi Dhanu belum pernah kemana-mana, kasihan dia? Dia juga pasti ingin melihat indahnya Kotaraja, iyakan Dhanu?" Tanya Anggun pada sang adik.

Tampak bibir Dhanu bergerak pertanda sedang tersenyum mengiyakan.

"Biarlah kang, Dhanu juga perlu pengalaman melihat dunia luar. Lagipula kita harus mendampingi mereka kang, sudah lama kita tidak menyambangi istana dan bertemu dengan Gusti Prabu Arya Dygta" usul Nyai Jinggan.

"Ya sudah kalau begitu, oh iya untuk nanti malam kalian tidurlah di sini. Puspita di kamar tamu, sedangkan Lintang, Dharmaji dan Gunadi bisa tidur bersama murid-murid yang lain"

Murid-murid padepokan mengangguk patuh.
"Baiklah, ayo bersiap kembali. Guru akan lanjutkan melatih jurus Tangan Dewa Memetik Bunga tingkat ketiga"
***

Malam merayap, beberapa pria sudah mulai tertidur. Jatayu, Jelitheng dan Prayetno memilih pindah berkongsi ranjang, agar ranjang mereka bisa di tempati tamu-tamu kurang ajar itu.

"Bagus, memang seperti itu harusnya kepada tamu! Sudah dibersihkan kan?" Lintang menepuk-nepuk bantal untuk memastikan bantal itu tidak berdebu.

Jatayu jengkel sekali melihat kepongahan Lintang, beruntung Prayetno menghalangi.
"Sabarlah Jatayu, orang sombong kalau makin diladeni semakin gila. Bisa-bisa malah mengaku sehebat dewa" bisik Prayetno.

Lintang langsung rebahkan tubuh diikuti oleh Dharmaji,
"Hei kemana Gunadi? Tak kelihatan sedari tadi?" Tanya Lintang kepada Dharmaji.

Dharmaji mengangkat bahu pertanda tidak tahu.
"Kau seperti tidak tahu saja dengan anak itu, pemikirannya berbeda dengan kita. Susah buat diatur"

"Kau tidurlah duluan, aku akan mencari anak itu terlebih dahulu" perintah Lintang. Lelaki tampan namun usil ini bergegas keluar dari ruang tidur murid-murid padepokan itu.

Selagi berkeliling mencari-cari dia malah melihat Anggun duduk santai di tepi sebuah kolam hias yang dipenuhi tanaman bunga aneka warna. Anggun sedang menatap rembulan yang bersinar penuh, cahaya jingganya singgah di wajah cantik gadis itu, hingga kecantikannya bertambah berkali lipat.

MAWAR DARAH & HALILINTAR BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang