Ajian Menahan Bumi Memutar Langit membawa Lintang dan Empu Bhumantara ke hutan wilayah padepokan Kembang Dewa, tepatnya ke tempat di mana dahulunya Lintang dan Dhanu berlatih silat.
"Ayah, bertahanlah!" Lintang begitu kalut melihat wajah sang ayah memucat kebiruan pertanda telah dirayapi racun dahsyat.
Lintang bersiap ingin menyalurkan tenaga dalam untuk mencegah luka sang ayah semakin parah, namun tangan lemah Empu Bhumantara menahan tangannya. Lelaki tua itu mencekal tangan Lintang.
"Tabahkan hatimu, Ngger! Perpisahan kita tak dapat ditunda lagi, ibumu telah datang menjemputku.""Ibuku?" Lintang terkejut, dia memandangi sekitar, tak ada siapa-siapa.
Empu Bhumantara justru menatap hangat ke arah belakang Lintang sambil tersenyum.
"Hita, kau datang menjemputku, bukan? Tunggu sebentar, tidakkah kau ingin melihat anak kita? Dia telah tumbuh menjadi pemuda tampan dan gagah."Lintang rasakan hatinya terenyuh, dia pun menangis tersedu-sedu. Dia memeluk dan menciumi ubun-ubun sang ayah.
"Lintang, maaf ayah harus pergi. Jadilah anak yang baik! Jangan ulangi kesalahan yang sama, ya." Ucap Empu Bhumantara dengan nafas menyengal, dengan tenaga tersisa dia ulurkan sabuk kelabu senjatanya ke wajah sang anak, bermaksud ingin mengusap air mata Lintang, namun separuh jalan tangan tua itu jatuh terkulai, nafas Empu Bhumantara telah lepas.
"Ayahhhhh!" Teriakan Lintang itu menggaung membahana, burung-burung dan binatang hutan terkejut dan berhamburan.
Hutan itu sejenak dilanda keheningan, hanya ada sesengguk tangis seorang pemuda.
Teriakan Lintang barusan ternyata didengar oleh tiga orang yang kebetulan berada di hutan itu. Ketiganya adalah Giri Prawara, Hanggara dan Ratu Kameswari.
"Kalian dengar teriakan itu?" Tanya Ratu Kameswari.
Giri mengangguk, "Raungan seorang lelaki yang dilanda kesedihan."
"Ayo kita lihat! Siapa tahu ada yang butuh pertolongan." Hanggara telah bergerak mendahului.
Ketiga orang itu melesat menuju asal teriakan barusan.
Mereka tiba di satu tanah datar tak jauh dari sebuah sungai yang mengalir. Ketiganya tercekat saat mendapati seorang pemuda sedang menangis pilu memeluki jasad seorang tua yang terbujur kaku.Sri Kameswari terkejut saat tahu lelaki itu adalah Lintang sedangkan jasad itu adalah Empu Bhumantara.
"Lintang, Empu! Dewata Agung, apa yang telah terjadi?" Sri Kameswari lekas menghampiri dan bersimpuh di sebelah mayat Empu Bhumantara. Dia memeriksa luka di jasad itu.
"Racun ular, jangan-jangan!"
"Ratu, Dewi Ular telah membunuh ayahku, aku bersumpah akan membunuhnya!" Ucap Lintang kalap, dia lekas bangkit, amarah mendorong nafsunya untuk balas dendam saat itu juga. Dia bersiap pergi dengan jurus bergerak secepat kilat miliknya. Namun sebelum hal itu terjadi, Ratu Kameswari lekas mencegah dan menahan tangannya.
"Lintang, jangan konyol! Dewi Ular bukan tandinganmu!"
"Lepaskan, Ratu. Saya tidak peduli! Aku siap mati, toh di dunia ini aku tak punya siapa-siapa lagi."
"Jangan bodoh, Lintang! Balas dendam itu memang wajib. Tapi ada hal yang lebih penting yang harus kita lakukan sekarang, mengurus jenazah ayahmu dengan layak."
"Itu benar, selain itu jika nekat memaksakan diri menyambangi Dewi Ular sekarang sama saja mengantar nyawa. Perempuan itu punya sekutu Iblis Naga dan juga Yudhayaksa. Sulit buat ditumpas. Dari pengelihatan batinku agaknya ayahmu sengaja membawamu kabur kemari karena ingin menyelamatkanmu. Jangan sia-siakan pengorbanan beliau!" Hanggara yang belum mengenal dan tak pernah bertemu dengan Lintang turut memberi masukan berharga.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAWAR DARAH & HALILINTAR BIRU
Fantasy"Hridaya pravahita anugraha" Cinta adalah anugerah yang mengalir dari hati. Lintang Arganata seorang murid cekatan dari padepokan Linggabuana mendapatkan tugas memberikan undangan adu tanding Kanuragan ke Padepokan Kembang Dewa. Di sana Lintang Arg...