Jurang itu membentang lebar antara daratan Kerajaan Ular Putih dengan Kerajaan Naga Danau. Tebing Hantu terletak di tengah jurang yang menjadi perbatasan kedua negeri. Byakta, Dewi Ular, dan Dharmaji tiba di tepi jurang setelah melewati lebatnya hutan belantara.
"Seberapa dalam jurang ini?" Tanya Dharmaji sambil menatap ke arah jurang di mana ada sebuah jembatan tali yang membentang dan ternyta telah putus.
"Kau lihat saja sendiri ke bawah! Sial, jembatannya putus! Bagaimana caranya kita bisa ke seberang sana?" Keluh Dewi Ular.
Byakta merenung sesaat, dia sedang memikirkan cara sambil pegangi dagu, ada pun Dharmaji melangkah semakin ke tepi jurang guna melihat ke dasar ternyata tak terlihat, selain memang jurang itu dalam sekali namun juga di tutupi kabut tebal.
"Dewi, apa ilmu Lorong Arwah tidak bisa dipakai ke seberang sana?" Tanya Byakta.
Dewi Ular menggeleng, "Ilmu warisan Dewa Iblis itu memiliki kelemahan kita baru bisa berpindah tempat jika bersama kita ada benda yang berasal atau berhubungan dengan tempat yang kita tuju."
"Setahuku Tebing Hantu dijaga oleh sekelompok Peri, kita bisa menggunakan kunci mustika gerbang Tebing Hantu sebagai perantara. Bagaimana pun juga kunci ini berhubungan dan berasal dari dunia peri." Ujar Byakta.
"Tetap tidak bisa, sayang! Ilmu Lorong Arwah tidak bisa dipakai buat menyebrang jurang." Jawab Dewi Ular.
Byakta terdiam, dia kembali memikirkan cara. Dharmaji yang penasaran dengan dasar jurang mencoba mengukur dengan lemparkan sebuah batu sebesar anak kambing. Kejut Dharmaji bukan olah-olah ketika batu dilempar dari dasar jurang menyembur angin kencang yang mementalkan batu ke atas dan mengubahnya menjadi debu.
Dewi Ular juga terkejut, sebenarnya dia punya rencana cara menuju ke seberang sana, tetapi melihat batu tadi hancur dia agak ragu, "Tapi tak ada salahnya buat dicoba," gumam Dewi Ular.
Dewi Ular hantamkan kedua tangannya lurus ke depan, satu sinar hijau berbentuk bundar dan pipih menebar. Dari dalam sinar hijau itu bermelesatan keluar ular-ular hijau besar yang begitu banyaknya, ular-ular hijau itu saling belit sambung menyambung membentuk jembatan panjang menuju ke seberang jurang, namun belum sempat jembatan ular itu terpasang setengah jarak dari dalam dasar jurang menyambar angin topan. Ular-ular hijau itu terpental menghambur di udara dalam keadaan terpotong-potong, tak ada satu pun yang bertahan hidup.
Dewi Ular menjerit, tubuhnya terjajar tiga langkah dengan gontai, wajahnya pucat pasi dengan dada mendenyut.
"Gila! Kalau topan itu seganas ini, bagaimana cara kita menyebrang?"Byakta tertawa mengekeh, "Percuma Dewi. Ular-ular jejadianmu tak akan sanggup menembus jurang. Sebelumnya ada jembatan di sini, tapi siapa sangka jembatan itu sudah putus."
Dharmaji ingin memberi usul namun tak jadi karena tiba-tiba dari segala arah terdengar suara katak yang begitu riuh.
"Kodok-kodok dari mana ini yang riuh meminta hujan?" Murka Dewi Ular karena tak tahan dengan suara nyanyian kodok.
Bau amis menebar disertai asap lima warna, yakni hijau, hitam, kuning, biru dan merah.
"Hati-hati! Asap ini beracun!" Byakta memberi ingat.
Dharmaji lekas tutup hidung takut terhirup asap. Byakta pukulkan tangan kanan ke udara, satu sinar ungu melesat keluar dari telapak tangan lelaki itu, di udara sinar ungu itu berputar-putar dan mengeluarkan daya hisap. Asap lima warna yang beracun itu tersedot ke dalam pusaran cahaya ungu.
Dewi Ular menyeringai remeh, "Mau adu racun denganku? Baik, aku ladeni. Biar kalian rasakan racun ularku yang mematikan!"
Dewi Ular hentakkan kaki ke tanah, tanah terbelah sepanjang dua tombak, dari dalam belahan tanah berkeluaran ular-ular hitam belang merah dengan taring-taring runcing yang melelahkan cairan bisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAWAR DARAH & HALILINTAR BIRU
Fantasy"Hridaya pravahita anugraha" Cinta adalah anugerah yang mengalir dari hati. Lintang Arganata seorang murid cekatan dari padepokan Linggabuana mendapatkan tugas memberikan undangan adu tanding Kanuragan ke Padepokan Kembang Dewa. Di sana Lintang Arg...