Kelopak 57 - Muslihat Para Iblis (1)

295 21 8
                                    

"Jadi namamu Hanggara? Nama yang bagus." Puji Giri pada Hanggara, keduanya mencoba untuk saling mengenal lebih dalam. Mereka sedang duduk sembari menikmati wedang hangat. Prajurit-prajurit peri lainnya juga melakukan hal yang sama, saling bercengkrama. Untuk mencegah kemungkinan buruk gerbang pintu masuk mereka tutup.

"Terima kasih, namamu juga bagus." Hanggara gantian memuji.

"Benarkah?"

"Benar, namamu tak hanya bagus, tetapi juga agung. Mengandung wibawa dan juga kharisma yang kuat," puji Hanggara tulus.

Giri tersenyum kecil, dan itu membuat wajahnya semakin tampan, dan entah mengapa Hanggara suka melihat senyum itu.
"Kau memujiku sudah seperti seorang gadis perawan."

"Aku yakin tak hanya gadis yang mengagumimu, tetapi juga lelaki. Setiap lelaki pasti iri padamu karena wibawa yang kau miliki," cetus Hanggara hingga membuat Giri meliriknya.

Hanggara menjadi gugup karena lirikan itu. Saat mata Giri telah beralih, maka gantian pula Hanggara yang melirik. Giri sedang meneguk wedang yang berwarna hitam karena sejenis bubuk ramuan yang membuat hangat. Bubuk hitam itu lengket di sekitar bibir atas Giri hingga membuatnya seperti memiliki barisan kumis. Hanggara tersenyum geli melihat kumis gadungan itu.

"Kenapa kau tersenyum, ada yang lucu?" Heran Giri.

"Kumismu lucu sekali," ledek Hanggara. Giri merasa malu, namun karena dia pintar jaim rasa malu itu tak ketara. Giri mengusap bibirnya buat menghalau kumis-kumis palsu yang nakal itu, namun tidak sepenuhnya terhapus.

"Masih ada, sini aku bantu!" Tanpa tunggu persetujuan Hanggara sudah gerakkan tangan, mengusap sudut kiri atas bibir Giri. Giri tergagap, sedangkan Hanggara berdebar. Ini sentuhan yang terlalu jauh namun sangat berkesan.

Giri dan Hanggara duduk sambil memandang api unggun untuk mengusir rasa canggung.

"Lalu, Hanggara, apa yang membuatmu bisa sampai menjaga makam kuno ini?" Tanya Giri untuk mengusir kecanggungan.

Hanggara menghembuskan nafas panjang, matanya pun menerawang ke arah api unggun, mengingat-ingat masa lalunya yang kelam dan tragis.
"Panjang ceritanya? Aku akan mulai dari riwayat hidupku."

"Silahkan, aku akan mendengarkanmu dengan seksama," ujar Giri.

"Aku terlahir sebagai anak kepala suku pemburu di sebuah kampung di tepi hutan. Sejak kecil aku sudah dilatih untuk berburu, melempar pisau adalah keahlianku. Suatu hari, kampung kami yang damai diserang oleh Dewa Iblis. Seluruh penduduk dibantai termasuk orang tuaku, aku sendiri kena ringkus dan diculik. Dewa Iblis tertarik akan keterampilanku melempar pisau. Kemudian otakku dicuci dan dijadikan pengikutnya dan diberi julukan Iblis Kabut. Masa laluku kelam, pekerjaanku hanya membunuh dan membunuh dibawah perintah dan hasutan Dewa Iblis." Hanggara hentikan sejenak ceritanya buat menenangkan perasaannya yang bergejolak mengenang saat-saat terburuk dalam hidupnya itu.

"Dewa Iblis? Seganas apakah dia?" Tanya Giri yang memang lupa akan masa lalu saat masih setengah siluman

"Ganas, bahkan teramat ganas! Dia penjahat yang luar biasa kejam, membunuh orang tuanya, sanak saudara, bahkan memperkosa adik ipar sendiri. Begitu kejamnya sampai Dewata mengutuknya akan mati di tangan anaknya sendiri." Jawab Hanggara dengan heran, dia penasaran mengapa Giri bisa tidak mengenal Dewa Iblis yang sudah menggegerkan segala lapis kehidupam dunia, baik alam nyata maupun apam ghaib.

"Terus, dia benar-benar mati dibunuh anaknya?"

"Ya, anaknya bernama Wisnu Dhanapala, Dewa Iblis mati di ujung pedang sang anak."

"Benar-benar tragis, oh iya bagaimana dengan dirimu sendiri?" Giri kembali meminta Hanggara buat bercerita tentang dirinya.

"Aku sendiri tewas saat disuruh membunuh Wisnu Dhanapala. Lalu Dewata yang tahu bahwa selama ini aku jahat karena dicekok ilmu hitam memberikan kesempatan padaku untuk bertobat. Aku diminta melakukan satu kebaikan yakni menjaga makam kuno ini sampai batas waktu tertentu sampai nanti arwahku dilahirkan kembali," beber Hanggara.

MAWAR DARAH & HALILINTAR BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang