Bab 45

1.1K 29 2
                                    

Menggenggam tangan dengan air mata, Hans bahkan memukul-mukul dadanya mengurangi rasa sesak yang dia rasakan. Dia sadar akan perlakuannya pada sang istri. Mungkin kekecewaan Alexsa membuat dirinya jadi seorang yang memang harus disalahkan. Dia juga tidak meminta Alexsa mengasihinya. Karna menurut Hans dia pantas mendapatkan seperti yang Alexsa inginkan.

Mungkin pria itu akan menuruti keinginan sang istri, tapi kembali lagi, dia tidak akan sanggup jika harus kehilangan Alexsa. Hans harus cari cara agar sang istri luluh kembali kepadanya.

Tak ingin mendengar lebih jauh lagi percakapan dua orang itu, Hans memilih pergi. Dengan langkah gontai pria itu  meninggalkan tempat persembunyiannya.

Tanpa sengaja Salena melihat sosok sang ayah saat ini akan beranjak sembari menyeka air mata, sementara Alexsa masih saja menatap kosong kedepan dengan fikiran kacau.

"Papa..." Lirih Salena sepelan mungkin, nyaris terdengar oleh Alexsa. Salena bisa merasakan kesedihan sang ayah saat ini. Dia kenal betul.siapa ayahnya. Selalu jujur dalam bersikap, ketika dia marah yang murka, ketika dia sedih ya menangis. Dia bukanlah tipe pria yang bisa menyembunyikan  emosinya

Karna bercerita, Alexsa baru sadar Salena baru saja datang dari jauh, tentu gadis itu pasti lapar. Segera menyeka airmata yang masih membasahi pipi. Kemudian menghadap sang sahabat.

"Maaf Salenaa.. gegara curhat. Gue lupa nawarin luu sarapan.. hehehe.. ntar yaa gue buatin dulu.." Alexsa pun bergegas kedapur dan meninggalkan Alexsa diatas sofa yang mereka duduki tadi.

Sementara Salena memilih memasuki kamar dengan menyeret koper bersamanya. Meletakan benda itu dipojokan kemudian hendak beralih keluar.

Ketika Salena berbalik badan, dia dikagetkan dengan kehadiran sang ayah.

"Pa'paa?" Gadis itu menekan lembut dadanya yang sedikit terkejut.

Hans masih diam dengan raut wajah galau.

"Apa yang papa lakukan disini?" Tanya gadis itu penasaran.

"Mau ngambil koper bunda." Jawabnya tanpa beban.

"Untuk a'paa?" Tentu Salena bingung dong.

Hans mengusap lembut puncak kepala sang anak sambil tersenyum. Salena hanya memasang wajah manja ketika itu.

"Ya mau bawa kekamar papa dong sayang, masa iya kalian tinggal.dikamar yang sempit ini berduaa?" Hans pun melangkah dimana koper sang istri berada. Mengambil benda itu dan hendak keluar.

"Apa Pa'paa.. yakin? Bunda mau tinggal satu kamar dengan papa?" Tanya Salena spontan menghentikan langkah Hans.

Pria itu terdiam kaku, tanyanya pun melonggar dan terlepas dari pegangngannya, hingga koper itu terlepas dari tangannya.

"Apapun yang terjadi, bunda harus tinggal satu kamar dengan papa!" Tegas Hans dingin. Masih membelakangi Salena.

"Setelah apa yang papa lakukan? Apakah papa yakin bunda akan setuju? Dia adalah wanita pah.. ketika dirinya merasa benar-benar tersakiti maka dia akan membenci semua orang, termaksud dengan orang..
Yang paling dia cintai!" Ucap Salena tajam setajam silet.

Tertegun sambil memejamkan mata. "Papa sadar, papa telah banyak melakukan kesalahan untuk bundaa.. tapi berilah papa waktu untuk memperbaiki semuanya."

Salena yang mendengar itu langsung melangkah dan berdiri didepan sang ayah.

"Papa tau? seperti apa kecewanya bunda saat ini sama papa?" Tanya Salena seperti cambuk oleh Hans.

"Dan ngapain Papa bawa Tante Anita juga kesini?? Dengar pah, Salena setuju papa membawa bunda.. karna papa ingin berlibur dengannya! Tidak ada Tante Anita didalamnyaa pahh. Andai Salena tauu.. kejadiannya seperti inii, pasti Salena tidak akan mendukung papa mengajak bunda kesini!" Ucap Salena penuh penekanan. Walau bagaimanapun dia tidak rela jika sang sahabat tersakiti.

Hans masih saja terdiam. "Mungkin saja yang dikatakan bunda ada benarnya. Perlakuan papa selama ini padanya, sebagai bentuk balas dendam. Karna Papa tidak terima dijebak dan menikah dengannya!! Iya kann!?" Tanya dengan sedikit berteriak.

"Salenaa!!" Bentak Hans hingga gadis itu terperanjat kaget, seketika mulutnya terkunci. Seluruh tubuh bergetar. Seumur-umur ininkai pertamanya Hans membentak.sang anak.

Kembali Hans tersadar, menatap anaknya dengan kasih sayang. "Maafin papa nak.. papa tidak bermaksud memarahi kamu sayang"

Meraih kepala sang anak dan mendekapnya.

" Jangan katakan apapun.. karna belum tentu itu benar. Papa memang marah sama Bunda, karna malam penjebakan itu.. tapi papa tidak dendam sayang..." Pengakuan Hans penuh kelembutan.

Salena tidak menjawab gadis itu hanya diam membisu dalam dekapan sang Ayah.

Airmatanya pun luruh. "Salena tidak ingin kehilangan sosok ibu sekali lagi pahh.. sungguh perkataan bunda tadi sangat menyeramkan untuk didengar.." lirihnya dengan Isakan tangis.

Menarik nafas sambil mengelus lembut rambut sang anak. "Semua akan baik-baik saja sayang.. Papa janji, tidak akan membiarkan itu terjadi.."

Salena hanya mengangguk perlahan. Berharap ucapan sang ayah sebagai bentuk penenangan hati baginya.

Tak lama berselang, Alexsa pun datang. Ketika itu Hans melerai pelukannya.

"Apa yang terjadi? Kenapa kamu menangis Sall?" Tanya Alexsa dengan nada kuatir.

Gadis itu tersenyum menatap sang sahabat. "Ngak ada Bun, tadi Papa.. hanya bercerita tentang masa kecil Kuu yang mengharukan... Makanya nagis." Menyeka airmata sambil tersenyum.

"Oo.. yaudahh, ayo sarapan.. aku udah buatin nasi goreng buat ka'muu.." ajak Alexsa meraih satu tangan sang sahabat hingga mau tak mau Salena pun berdiri.

Kemudian Alexsa menggandeng tangan Salena keluar dari kamar tanpa menoleh dan menyapa Hans, ketika dia beradu pandang tanpa sengaja. Hans mengukir senyum tebaik untuk nya. Sedangkan Alexsa menatapnya dingin. Sungguh tatapan yang tidak pernah ditemui Hans sebelumnya.

Hans masih saja menatap punggung dua wanita yang dicintainya itu menghilang dari pandangannya. Kemudian mengurut dada, dia sadar Alexsa sangat kecewa padanya sehingga menatapnya pun dia enggan.

"Sabar Hans.. dia hanya marah, kamu harus berusaha meluluhkan hatinya kembali.." pria tampan itu mengurut dada sambil berrucap.

Hans mengekori dua wanita itu keruang makan setelah meletakan koper milik Alexsa kekamarnya. Memilih duduk berhadapan dengan sang istri dan menatapnya tanpa berkedip. Tentu saja Alexsa merasa aneh ditatap seperti itu. Andai Hans melalukan nya ketika Alexsa tidak dalam keadaan ini. Sudah pasti gadis itu telah salah tingkah.

"Alexsaa.. bisa buatkan saya kopi hitam?" Pinta nya memulai suara.

Menoleh sejenak dengan tatapan membunuh. Kemudian beralih arah menatap sang sahabat dengan sebuah senyuman terbaik nya.

"Sebentar ya Sal, aku mau bikin kopi hitam dulu buat Om Hans.." tanpa menunggu jawaban dari sanga sahabat, Alexsa pun bergegas kedapur.

Tengah asih menyeduh kopi didalam gelas, dia dikagetkan dengan kehadiran Hans di belakangnya dengan tangan yang telah melingkar diperut dan kepala yang di letaknya di leher. Satu kecupan dia lakukan disana, sungguh berhasil membuat Alexsa merinding. 

Sejenak Alexsa terpaku, dia tidak bisa membohongi diri sendiri, sentuhan sang suami sangatlah seolah bisa merubuhkan pertahannya. Dimana setiap sentuhan Hans selalu membuat dirinya terhanyut. Seketika mata gadis itu terpejam.

"Maafkan akuu.." ucap Hans lirih dengan hembusan nafas yang hangat tepat di dekat telinga Alexsa.

Seketika Alexsa membuka matanya "Tidak perlu meminta maaf, aku juga tidak peduli!!" Tegasnya seringkas mungkin.

Menarik tangan suami hingga terlepas dari perutnya. Kemudian beranjak setelah kopi hitam yang diminta Hans telah jadi. Hans memasang wajah kecewa tangan masih mengambang diudara.

"Kopinya telah jadi, om bisa bawa sendiri!!"  Alexsa pun meninggalkannya disana, kembali menuju sang sahabat dan duduk disampingnya.

Terpaku melihat perubahan sang istri. Ini bukanlah Alexsa yang dia kenal, dimana dia s lalu memaafkan keslahan Hans, bahkan tanpa dia tau slahanya dimana dia yang meminta maaf.

I'm crazy about you, Uncle DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang