Bagian 55 (Season 2)

744 223 14
                                    

Sangat disayangkan kasus itu menemui jalan buntu setelah Diki menghilang.

Sampai hari ini tidak ada yang mengetahui di mana anak itu berada dan Kei serta orang-orangnya masih bergerak untuk mencaritahu siapa dalang dibalik keracunan Aldrean.

Aldrean sendiri sama sekali tidak peduli. Begitu menyelesaikan ujian sekolah, Aldrean merasa menjadi lebih santai dan dia hanya menikmati hari-harinya dengan santai.

Seperti saat ini pemuda itu yang terlihat begitu santai dan tenang menikmati segelas teh dengan ditemani makanan ringan. Walau ada Mary di depannya, Aldrean seperti tidak benar-benar melihat kehadirannya dan hanya terlihat menikmati waktunya seorang diri.

Terkadang Mary merasa jika Aldrean terlalu tenang untuk remaja seusianya. Tapi, saat mengingat jiwa seperti apa yang berada ditubuh remaja itu, Mary jadi tidak merasa aneh atau perlu bertanya-tanya.

"Ze,"

"Hm?" Kali ini bukan hanya berdehem, Aldrean juga menoleh, mengangkat pandangan matanya untuk menatap Mary.

Setelah Aldrean mengatakan kebenarannya pada Louis, pria itu juga mengatakan semuanya pada Kei dan Mary. Sejak saat itu setiap berinteraksi dengan mereka, Aldrean jadi mengetahui kebiasaan mereka yang baru. Di waktu-waktu biasa mereka akan tetap memanggilnya Aldrean tapi saat mereka akan memulai pembicaraan yang serius mereka akan mulai memanggilnya Zero.

"Bagaimana keadaan tubuhmu?" Mary meletakkan cangkir tehnya dengan anggun di atas meja. Dia menatap Aldrean dengan wajahnya yang tenang tapi serius.

Aldrean tersenyum. "Untuk saat ini tidak ada masalah."

"Untuk saat ini?" Mary menekankan kalimatnya. Tatapannya yang dalam itu seperti berusaha mengolek seluruh isi tubuh Aldrean.

Aldrean meraih kue kering yang disiapkan sebagai camilan, menunjukkannya pada Mary dengan senyuman manis di wajahnya. "Kue ini enak, kak." Ujarnya. Dia menelan kuenya, mengunyahnya dan sepenuhnya mengabaikan pembahasan Mary.

"Aku melihat tangan kirimu gemetar sebelumnya." Tidak mempedulikan Aldrean yang berusaha mengalihkan pembicaraan, Mary kembali pada topik yang ingin dia ketahui.

Mendengar pernyataan itu membuat Aldrean sontak melirik tangan kirinya yang untungnya saat ini berada dalam kondisi normal.

"Kamu tidak bisa selalu menahannya sendiri, Ze. Jika kamu merasa sakit kamu harus mengatakannya. Entah itu padaku, pada Kak Kei, atau pada Papa."

Jantung Aldrean berdebar. Aneh sekali karena dia merasa tertekan karena mendengar perkataan Mary. Dia juga tidak bisa menyalahkan Mary karena gadis itu tidak salah.

Sampai hari ini, sudah hampir tiga minggu sejak Aldrean keracunan. Keluarga Bagaskara telah meneliti sisa racunnya dan menemukan jika racun itu berisi kandungan obat halusinogen yang sangat kuat. Sangat kuat sampai bisa menghancurkan fungsi otak. Hanya ada dua akhir bagi peminum racun itu seharusnya, antara mati atau menjadi gila.

Setengah dosis obat seharusnya cukup untuk membuat seseorang kehilangan kewarasan mereka, kondisi itu juga seharusnya menimpa Aldrean jika saja tubuhnya tidak memiliki kekuatan yang berusaha menolak dan menahan racun itu agar tidak menyebar.

Penolakan racun yang terjadi dalam tubuhnya membuat kondisi tubuhnya tidak seimbang dan menciptakan rasa sakit yang tidak bisa ditahan, itulah sebabnya hari itu Aldrean lama kehilangan kesadaran.

Setelah berhari-hari berlalu, Keluarga Bagaskara masih belum bisa menemukan penawarnya dan tubuhnya juga sudah hampir berada diambang menahan rasa sakitnya.

Saat rasa sakit mulai tidak terkendali, tubuhnya akan gemetar tanpa bisa dikontrol.

Jika sampai dia telah mencapai batas tapi penawarnya belum bisa ditemukan, Aldrean hanya bisa pasrah menghadapi kematian.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 8 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ZEROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang