Bagian 4

13.7K 1K 4
                                    

Setelah Deon tenang dia mengajak Aldrean untuk makan bersama. Dia ingat sebelumnya di kantin Aldrean belum makan banyak.

Kebetulan makanan yang dipesannya dari luar pun sudah tiba.

Merasa perutnya memang lapar Aldrean pun menikmati makanannya tanpa sungkan.

Keduanya makan dengan di temani keheningan.

Setelah makan Aldrean kembali ke kamar yang ditempatinya sebelumnya, dia mandi dan mengganti baju seragamnya dengan pakaian rumah.

Semua baju-baju dalam lemari di kamar itu semuanya adalah ukurannya. Aldrean terkejut karena tampaknya Deon menyediakan semua keperluannya dengan baik.

Aldrean kemudian berbaring kembali di atas kasur.

Ada ingatan baru yang muncul dikepalanya, berkat itu kepalanya jadi terasa sakit sekarang.

Dia ingin tidur tapi matanya sulit terpejam karena rasa sakit yang dia rasakan.

Matahari tampak akan segera terbenam, sosok anak laki-laki dengan seragam sekolahnya tampak memunggungi bayangannya sendiri.

Dia berdiri di atas jembatan, angin menyapu rambutnya dan wajahnya yang kusut itu menyisakan jejak air mata.

"Mending kamu mundur deh, kalo jatuh gimana?"

Deon menoleh, dia tidak merespons tapi wajahnya dipenuhi dengan keterkejutan.

Sepertinya dia tidak menyangka akan ada orang lain yang berani mendekatinya dan bahkan berbicara dengannya.

Biasanya orang-orang selalu sungkan terhadapnya.

Pemilik suara itu adalah anak laki-laki yang tampaknya seumuran atau bahkan di bawahnya, tubuhnya terlihat lebih kecil dari Deon.

Deon melengos, dia tidak peduli dengan anak laki-laki yang mengganggu ketenangannya itu. Dia memang berniat untuk terjun sebelumnya, rasanya berenang di bawah sungai itu akan menyenangkan.

Tidak. Sebenarnya, Deon hanya putus asa.

Dia ingin mati.

Deon hanya anak berusia 10 tahun tapi kenapa orang-orang di sekitarnya begitu menuntutnya untuk mengerti segalanya.

Deon tidak mengerti.

Hatinya masih sakit karena kepergian Oma seminggu yang lalu tapi orang tuanya tidak ada yang berniat menghiburnya, malah memintanya untuk pergi ke luar negeri dan melanjutkan pendidikan di sana.

Deon benci hidupnya.

"Aku benci..." berujar lirih, Deon menyaksikan matahari yang semula bersinar terang itu perlahan-lahan tenggelam.

Seperti hidupnya yang saat ini hanya menyisakan kegelapan.

Cahayanya, sang Oma, telah tiada.

"Benci apa?" Anak laki-laki itu ternyata belum pergi. Dia mendengar lirihan Deon dan saat ini dia bahkan sudah berdiri di samping Deon.

Deon menatap anak laki-laki di sampingnya dan kemudian melengos sekali lagi.

"Kayaknya kita seumuran deh, nama kamu siapa? Nama aku Aldrean. Al tinggal di dekat sini."

Anak laki-laki yang ternyata Aldrean itu tersenyum manis. Saat itu tubuhnya memang masih kecil dan pendek tapi wajahnya tidak berubah sama sekali.

Terutama sepasang mata cokelatnya yang bersinar cerah.

Deon yang terhipnotis dengan pemandangan itu tanpa sadar membuka mulutnya. "De-on..."

ZEROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang