"...bagaimana?"
Awalnya sosok yang berdiri di depannya itu hanya menampilkan wajah samar dalam kegelapan. Tapi, begitu awan menyingkir dan sinar bulan jatuh ke bawah, Deon bisa melihat wajah itu dengan jelas.
Angin malam menerbangkan helaian rambut yang tampak seputih salju, sepasang bola matanya yang berwarna merah hampir menyerupai dua buah batu ruby yang baru diukir. Sinar bulan yang temaram mampu memantulkan semua keindahan itu.
Beberapa jam sebelumnya...
Aldrean terbangun karena suara ketukan di pintu kamar. Jam masih menunjukkan pukul 8.00 malam, itu berarti Aldrean hanya baru terlelap selama beberapa menit.
Kamarnya kosong, hanya ada dirinya seorang diri. Aldrean tidak perlu memikirkan ke mana teman-temannya pergi karena kemungkinan besar mereka sudah ke kamar masing-masing.
Tok. Tok. Tok.
Lagi, pintu diketuk dari luar. Suaranya seperti menandakan si pengetuk yang tidak sabar.
Berjalan dengan sedikit sempoyongan karena masih mengantuk, Aldrean menghampiri pintu dan langsung membukanya.
"Berani kamu ya buat saya nunggu lama?"
Aldrean sedikit terkejut saat melihat Deni salah satu guru pembimbing ada di depan kamar hotelnya.
"Maaf Pak, saya ketiduran."
Wajah Deni yang tidak enak dilihat sejak awal semakin tidak enak dilihat. "Pak-pak-pak, jangan panggil saya bapak, emang saya bapak kamu? Panggil saya Mister Deni, ngerti kamu?!"
Dengan gaya sombongnya Deni melipat tangan dan menatap Aldrean dengan tatapan merendahkan.
"Iya Pa-- Mister. Ada apa mencari saya?"
"Coba lihat kamar ini," tanpa dipersilahkan Deni sudah menyelonong masuk ke dalam kamar. "Kamar hotel ini bahkan lebih bagus dari pada kamar kami para guru. Tuan muda sepertinya memang memanjakan kamu ya..."
Deni duduk disofa, bersandar dengan nyaman. Melihat Aldrean yang hanya berdiri, Deni mulai berbicara lagi. "Kenapa berdiri di sana? Kamu punya kopi atau teh? Kalau tidak punya cepat pesan sama layanan hotel."
"Benar-benar tidak tahu etika menyuguhi tamu dengan baik. Duh, mentang-mentang yatim piatu."
Suara gumaman Deni itu tidak keras tapi juga tidak pelan. Di dalam kamar hotel di mana hanya ada mereka berdua dan suasana sekeliling yang sepi, Aldrean bisa mendengar jelas semua isi perkataannya.
Meski hanya sekilas, warna darah itu sempat muncul menggantikan lensa cokelat Aldrean.
"Kenapa masih diam? Saya datang ke sini dengan maksud baik ingin memberikan kamu beberapa nasihat, sebagai seorang murid kamu seharusnya menghormati guru terutama guru yang baik seperti saya." Deni jelas tidak bisa merasakan perubahan suasana, dia tetap berbicara dengan santai dan tidak terbebani. "Pesankan americano sama beberapa camilan juga ya."
Tanpa melihat Aldrean, Deni sudah membuka ponselnya dan sibuk dengan benda itu.
"Hahh..." Aldrean hanya bisa menghela napas dan mengusap wajahnya sendiri. Dia harus tenang. Dia tidak boleh terbawa emosi.
Andai saja orang di depannya bukan seorang guru, Aldrean mungkin sudah menyeretnya keluar dari kamarnya jauh-jauh.
Deni menghabiskan waktu cukup lama di kamar Aldrean, Deni berpikir bahwa dia sangat baik dengan memberikan banyak nasihat baik untuk Aldrean tapi, kenyataannya Deni hanya menghabiskan banyak waktu untuk menikmati kopi dan camilan malam di kamar Aldrean.
Saat Deni akhirnya pergi, Aldrean baru merasa tenang, baru saja dia merebahkan diri di kasur, suara ketukan dari luar pintu kamar kembali terdengar.
Jam sudah hampir menunjuk angka sepuluh, Aldrean benar-benar lelah tapi dia seperti tidak diizinkan untuk beristirahat.
![](https://img.wattpad.com/cover/345633113-288-k260736.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO
Teen FictionDia Zero. Sosok spesial yang akan hadir setelah kematian seseorang. [On Going]