Semua orang di YSH sedang sibuk membicarakan pesta ulang tahun yang akan digelar oleh tuan muda dari keluarga Liu.
Siapa yang tidak mengenal keluarga besar yang bisnisnya ada di mana-mana itu di Negara N?
Setiap orang yang menerima undangan pesta menjadi sangat bahagia karena itulah saat bagi mereka untuk memperluas koneksi. Bisa bersekolah di sekolah elit seperti Yudika High School adalah langkah pertama untuk masa depan yang cerah, tentu saja langkah kedua mereka adalah membuat berbagai koneksi dan jaringan, jika bisa berkenalan dengan orang-orang kaya berpangkat tinggi maka masa depan yang cerah pun akan tercapai dengan lebih mudah.
Diki Andrean. Pemuda itu merupakan siswa dari kalangan menengah, ayahnya seorang pemilik pabrik makanan di Kota B, sementara ibunya seorang ibu rumah tangga biasa.
Dia anak satu-satunya.
Untuk bisa diterima di YHS yang berada di Ibukota, Diki berusaha sangat keras. Dia belajar mati-matian, pagi-siang-sore bahkan hingga larut malam dan bahkan membujuk keras kedua orang tuanya agar dapat mengizinkannya.
Setelah berhasil diterima awalnya Diki merasa sangat bahagia tapi, semua kebahagiaannya hilang sejak hari pertama menginjakkan kakinya di sekolah.
Sejak hari pertama masuk, tidak ada satu orang pun yang ingin berteman dengannya. Diki, dia dari kota kecil, penampilan tubuhnya biasa saja dan dia juga memakai kaca mata yang melekatkan kesan kutu buku pada dirinya, orang-orang seakan menghindarinya.
Sampai hari ini, Diki tidak memiliki satu teman pun di sisinya.
Hari-hari sekolahnya pun bagai neraka karena dia kerap mendapatkan buli dari kakak kelasnya.
Dia tidak berani mengadu pada orang tuanya, dia takut orang tuanya akan datang dan menyeretnya pulang.
Bahkan saat ini, di saat semua orang tampaknya senang karena mendapat undangan dari Deon, Diki hanya bisa menunduk di atas mejanya. Kenapa dia tidak diundang? Seharusnya Deon juga mengundangnya karena mereka teman sekelas.
Tapi, Diki tidak menerima undangan apa pun.
Jika bukan karena semua orang di sekolah tengah membicarakannya, Diki tidak akan pernah tahu jika Deon akan mengadakan pesta ulang tahun dua hari lagi.
Diam-diam tangan yang bersembunyi di bawah meja itu terkepal. Sorot mata yang menunduk di bawah kaca matanya itu bersinar dengan kebencian.
Yah, itu semua karena orang itu.
Aldrean.
Jika bukan karena Aldrean, tidak mungkin dia menjadi tidak terlihat seperti ini.
Padahal Aldrean bukan siapa-siapa, pemuda itu hanya anak beasiswa, miskin dan yatim piatu, dibandingkan dengannya dia jelas lebih baik.
Seharusnya orang yang berteman dengan tiga pangeran adalah dia, bukan Aldrean.
Ya, seharusnya seperti itu.
___
Bel tanda pembelajaran berakhir telah berbunyi. Setelah membereskan buku-bukunya kembali ke dalam tas, Deon bersiap untuk pulang.
Deon menggendong tas hitam dengan merek yang berharga jutaan, wajah pemuda itu datar bahkan terkesan dingin. Dia berjalan keluar kelas dengan langkahnya yang lebar.
Tepat saat akan berbelok dikoridor Deon hampir saja jatuh terjerembab ke depan karena lantai yang dilewatinya basah dan licin. Beruntung ada seseorang yang menariknya agar tidak jauh.
Deon berbalik dan menatap siswa berkacamata yang masih memegang tangannya.
Siswa berkacamata itu, Diki, tampak gugup saat Deon melihatnya dengan tatapan menelisik. Padahal Deon hanya heran karena melihat penampilan Diki yang jauh dari kata baik. Seragam dan rambut anak itu terlihat basah, pipinya pun terdapat memar. Diki terlihat sangat berantakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO
Teen FictionDia Zero. Sosok spesial yang akan hadir setelah kematian seseorang. [On Going]