Bagian 44 (Season 2)

3.2K 415 22
                                    

Mobil berwarna hitam itu melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan kediaman Hendrawan. Tidak ada percakapan yang terjadi di dalam mobil karena kedua penghuninya memilih untuk menutup rapat mulut masing-masing.

Setelah perjalanan yang memakan waktu lebih dari setengah jam, mobil itu akhirnya berhenti di parkiran rumah sakit.

"Bang, lo pulang aja gue bisa sendiri." Sebelum keluar dari mobil Aldrean mengatakan itu. Dia tidak ingin merepotkan Adam lebih jauh.

"Gue temenin." Masalahnya Adam telah mendapat pesan dari Alan jika dia harus menemani Aldrean sampai selesai.

Aldrean tidak berkata apa-apa lagi karena dia tahu Adam tidak akan mendengarkannya.

Melangkah memasuki rumah sakit, keduanya langsung menuju ruang pemeriksaan, tidak perlu menunggu karena sebelumnya Alan telah membuat reservasi pada dokter di rumah sakit.

Dokter yang menangani Aldrean adalah seorang pria paruh baya dengan kaca mata yang membingkai wajahnya. Aldrean pernah bertemu dokter itu sebelumnya di kediaman Wijaya, dokter itu tampaknya memang bekerja secara khusus untuk keluarga Wijaya.

Itu adalah hal biasa untuk sebuah keluarga kaya untuk memiliki dokter pribadi yang bisa mereka panggil 24 jam.

Saat dokter mulai membuka perbannya, Aldrean tidak tahan untuk meringis. Sebisa mungkin dia menahan suaranya bahkan sampai menggigit bibirnya tapi luka itu memang sakit terutama saat disentuh.

"Saya akan perlahan." Dokter itu berucap.

Aldrean tidak seratus persen mendengarkan, pikirannya saat ini masih belum pulih sepenuhnya. Jika bukan untuk rasa sakit yang saat ini Aldrean rasakan diperutnya, Aldrean tidak tahu lagi perasaan apa yang tengah dia rasakan.

Pikirannya terasa penuh tapi dia tidak tahu apa yang tengah dia pikirkan.

Di luar ruangan, Adam menunggu sambil memainkan ponselnya. Tiba-tiba dia mendapat panggilan.

"Halo?"

"..."

"Otw."

___

"Lukanya masih belum boleh terkena air. Anda sudah tahu kan?" Selesai mengganti perban, Rudi, pria paruh baya yang memakai jas dokter itu memperingatkan Aldrean. "Saya juga akan meresepkan obat. Jangan lupa diminum secara teratur tiga kali sehari setelah makan." Tambahnya.

Selagi menuliskan resep, Rudi melirik pemuda di depannya yang hanya diam. Entah pemuda itu mendengarkan perkataannya atau tidak.

"Tiga hari lagi jangan lupa untuk datang lagi."

Menerima resep obat yang disodorkan, Aldrean hanya mengangguk dan kemudian bangkit dari bangkunya. "Terima kasih." Dia menunduk sekilas sebelum pergi begitu saja tanpa melihat wajah seperti apa yang dibuat dokter untuknya.

"Hahh... sulitnya bertemu pasien pendiam." Rudi hanya bisa memijat pelipisnya yang tiba-tiba sakit karena melihat salah satu pasiennya itu sangat pendiam.

Selain mendengar suaranya saat meringis kesakitan sebelumnya saat dia membuka perban dan membersihkan kembali lukanya, Rudi sama sekali tidak mendengar suara Aldrean, bahkan satu kata pun.

Kecualikan kalimat 'terima kasih' sebelumnya.

___

Keluar dari ruang pemeriksaan, Aldrean tidak bisa menemukan sosok Adam yang sebelumnya berkata akam menunggunya di luar.

Tidak terlalu peduli, Aldrean memilih untuk melanjutkan langkahnya.

Begitu sampai di lobi rumah sakit, Aldrean tidak bisa menahan kerutan di wajahnya saat melihat langit yang telah berubah gelap. Pemeriksaan yang dia lakukan rupanya memang memakan waktu lama.

ZEROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang