Nevan memasuki rumahnya dengan langkah lunglai. Dia baru saja selesai melakukan latihan basket rutin dan membuatnya kelelahan.
Tetap saja walau itu melelahkan basket adalah satu-satunya hal yang Nevan gemari dan dia tidak ingin menyerah untuk cita-citanya.
"Van, kamu sudah pulang?" Hana sang Mama langsung menghampiri Nevan yang dari pada langsung ke kamar malah memilih untuk merebahkan diri di sofa ruang tengah. "Gimana, ketemu sama Al?" Tanya Hana lagi.
Pagi tadi sebelum Nevan akan berangkat ke sekolah Hana memang berpesan pada anaknya itu untuk memberitahu Aldrean agar anak itu datang ke rumah. Sebenarnya Hana sudah mencoba menghubungi Aldrean sendiri tapi dari kemarin nomor keponakannya itu selalu tidak bisa dihubungi.
Hana mencemaskan keadaan Aldrean karena itu dia ingin keponakan yang sudah dia nggap anaknya sendiri itu datang sendiri ke rumah. Hana juga sudah lama tidak melihat anak itu.
"Anak itu ga ada disekolah." Nevan yang semula baringan pun bangkit untuk duduk, dia menatap malas Mamanya yang selalu saja membicarakan soal Aldrean. Mamanya terkesan selalu lebih peduli pada Aldrean dalam hal apa pun dari pada dia yang anaknya sendiri.
"Maksud kamu Al ga ada di sekolah?" Hana bertanya tak percaya.
"Bolos kali." Jawab Nevan acuh. Dia kira Mamanya akan marah jika mendengar Aldrean membolos kenyataannya dia malah melihat ekspresi cemas dari wanita yang telah melahirkannya itu. "Mama ga usah cemas gitu deh, anak itu kan udah gede. Dia sendiri yang bilang mau nyoba hidup mandiri, biarin aja dia Mah."
Sungguh, Nevan tidak suka saat Mamanya terlihat begitu mencemaskan Aldrean.
Alasan yang sama yang membuat Nevan membenci pemuda itu. Nevan merasa jika Aldrean telah merebut sebagian perhatian Mamanya yang seharusnya hanya ditujukan untuknya.
Hana yang mendengar penuturan putranya menggeleng tidak habis pikir. "Kenapa kamu bisa ngomong gitu Van? Al itu adik kamu loh. Kamu ga khawatir sama dia?"
"Kenapa Nevan harus khawatir? Nevan ga pernah punya adik." Kesal, Nevan berdiri dan melangkah pergi begitu saja meninggalkan Hana yang tampak terpukul mendengar perkataannya.
"Van..." Hana benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa. Dia ingin menyalahkan sikap putranya tapi dia juga merasa tak pantas untuk melakukannya.
Hana, dia adalah ibu yang buruk.
Hana bukannya tidak tahu jika selama ini putra bungsunya itu selalu merasa iri pada sepupunya sendiri karena dia dan sang suami yang terkadang lebih memperhatikan tentang Aldrean dari pada sang putra. Tapi jujur, Hana tidak bermaksud membeda-bedakan keduanya.
Prioritasnya yang terlihat seperti mementingkan Aldrean itu juga tidak benar. Kenyataannya, Hana menyayangi Nevan lebih dari apa pun. Bagaimana pun dialah yang telah melahirkan anak itu.
Melihat Nevan yang iri pada sepupunya sendiri, Hana sudah merasa gagal sebagai seorang ibu yang baik.
Aldrean adalah anak yang masih membutuhkan dukungan orang tua tapi anak itu harus kehilangan keduanya di usia yang masih sangat muda. Hana tidak ingin anak itu merasa jika tidak ada lagi orang yang peduli padanya.
Selama ini, Hana hanya berusaha mengisi kekosongan tempat orang tua di sisi Aldrean dan menjaga perasaan anak itu agar tidak merasa kesepian.
Terlebih Aldrean benar-benar memiliki rupa yang nyaris selaras dengan mendiang adiknya-- Hera, menjaga Aldrean dengan baik Hana jadikan sebagai permintaan maafnya karena dia tidak bisa menjadi seorang kakak yang baik bagi adiknya.
Setidaknya untuk Aldrean, Hana ingin menjadi sosok yang pantas. Hana tidak ingin mengecewakan anak itu seperti dulu dia membuat mendiang ibu dari anak itu kecewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO
Teen FictionDia Zero. Sosok spesial yang akan hadir setelah kematian seseorang. [On Going]